Pada masa jahiliyah terjadi perang panjang selama empat puluh tahun antara suku Abs dan Dzubyan, perang berkepanjangan ini menghancurkan harta dan nyawa dalam jumlah besar. Perang berhenti ketika ada dua orang Al-Harits bin Auf dan Harim bin Sinan mendamaikan kedua suku dengan cara memikul beban kerugian perang, keduanya bersedia membayar diyat korban yang terbunuh dalam perang tersebut.

Usaha besar mendamaikan dua suku yang berperang panjang ini berawal dari kecerdikan seorang wanita yang merupakan istri al-Harits bin Auf, dialah yang mendorong suaminya untuk melakukan usaha luhur yang akhirnya berhasil menghentikan perang mendamaikan dua pihak yang bertikai.

Suatu hari al-Harits bin Auf berkata kepada Kharijah bin Sinan al-Murri, “Menurutmu bila aku melamar seseorang, dia menolakku?” Kharijah menjawab, “Ya, ada.” Al-Harits bertanya, “Siapa kira-kira?” Kharijah menjawab, “Aus bin Haritsah ath-Thai. Maka al-Harits berkata kepada pelayannya, “Kita pergi.” Keduanya berkendara sehingga mereka tiba di rumah Aus bin Haritsah. Aus menyambut al-Harits, “Selamat datang untukmu wahai Harits.” Harits menjawab, “Terima kasih.” Aus bertanya, “Apa hajatmu?” Harits menjawab, “Aku datang untuk melamar.” Aus menjawab, “Aku tidak menerima.”

Lalu Aus meninggalkannya dan masuk ke rumah dengan jengkel, istrinya menyambutnya dan bertanya, “Ada apa dengan dirimu? Siapa tamu yang berbicara sesaat denganmu lalu kamu meninggalkannya?” Aus menjawab, “Seorang tokoh Arab, Harits bin Auf.” Istrinya bertanya, “Mengapa tidak dipersilakan masuk?” Aus menjawab, “Dia melakukan sesuatu yang bodoh.” Istrinya bertanya, “Maksudmu?” Aus menjawab, “Dia datang tiba-tiba dan melamar.” Istrinya bertanya, “Apakah engkau tidak ingin menikahkan putrimu?” Aus menjawab, “Ya ingin.” Istrinya berkata, “Bila tidak dengan tokoh Arab, lalu dengan siapa?” Aus menjawab, “Sudah terlanjur, aku menolaknya.” Istrinya berkata, “Masih ada kesempatan bila engkau mau.” Aus bertanya, “Bagaimana caranya?” Istrinya menjawab, “Susul dia, dan katakan kepadanya, ‘Engkau datang di saat yang tidak tepat, maka engkau mendengar jawabanku yang tidak engkau harapkan. Tolong kembalilah ke rumah dan engkau akan mendapatkan apa yang engkau harapkan.”

Kharijah berkata, kamu kembali ke rumah Aus, kami dipersilahkan masuk. Saat kamu duduk, Aus memanggil, “Fulanah.” Dia memanggil anak tertuanya. Dia berkata, “Putriku, dia ini adalah Harits bin Auf, seorang tokoh Arab, dia datang untuk melamar. Bagaimana dirimu, bersediakah?” Putrinya menjawab, “Tidak, karena aku bukan wanita cantik, akhlakku tidak baik, aku juga bukan sepupunya sehingga dia menjaga hubungan kekerabatan, dia bukan tetangga yang merasa perlu malu kepadamu, aku tidak menjamin suatu saat dia akan mentalakku, hal itu sangat menyedihkanku.”

Aus berkata, “Masuklah. Fulanah.” Dia memanggil anak perempuannya yang kedua. Dia berkata seperti yang dia katakan kepada putrinya yang pertama. Maka putrinya yang kedua menjawab, “Aku anak perempuan yang tidak bisa apa-apa, aku tidak menjamin suatu saat dia akan mentalakku, hal itu sangat menyedihkanku, aku juga bukan sepupunya sehingga dia menjaga hubungan kekerabatan, dia bukan tetangga yang merasa perlu malu kepadamu.”

Aus berkata, “Masuklah. Buhaisah.” Aus memanggil anak perempuannya yang ketiga. Dia berkata kepadanya seperti yang dia katakan kepada dua anaknya sebelumnya, maka Buhaisah menjawab, “Baik, saya menerima.” Aus bertanya, “Tetapi dua saudarimu menolak.” Buhaisah menjawab, “Aku adalah wanita dengan wajah yang cantik, bisa melakukan, berakhlak luhur dan berbapak mulia, bila dia nanti metalakku maka dia tidak akan menemukan penggantiku yang baik.”

Akhirnya Aus menikahkan Buhaisah putrinya dengan Harits, selepas akad, sebuah rumah sudah disiapkan untuk mereka, Buhaisah ada di dalam rumah itu. Kharijah berkata, manakala Harits masuk, tiba-tiba dia keluar lagi. Aku bertanya kepadanya, “Sudah selesai?” Harits menjawab, “Belum.” Aku bertanya, “Bagaimana?” Harits menjawab, “Manakala aku datang kepadanya, dia berkata kepadaku, ‘Jangan, aku memohon kepadamu, kurang patut kamu melakukan di tengah-tengah saudara-saudaraku dan bapak ibuku.”

Kharijah berkata, kami pulang, Harits membawa serta istrinya Buhaisah, di tengah perjalanan, kami singgah istriharat, Harits dan istrinya mengambil tempat tersendiri, selang beberapa saat, dia menemuiku, aku bertanya, “Sudah?” Dia menjawab, “Belum, saat aku mendatanginya dan menginginkannya, dia berkata, ‘Tidak, jangan memperlakukanku seperti budak yang dijualbelikan atau wanita tawanan. Nanti saja saat tiba di rumahmu, saat itu engkau menyembeli domba-domba dan unta-unta, engkau mengundang orang-orang.” Harits berkata, “Wahai Kharijah, aku melihatnya sebagai wanita teguh dan berakal.”

Kharijah berkata, kami tiba di kampung halaman kami, lalu Harits mengumpulkan domba-domba dan unta-unta, dia menyembelih semuanya dan mengundang orang-orang, setelah walimah besar digelar, Harits datang kepada istrinya, namun tidak lama dia sudah keluar lagi, aku bertanya kepadanya, “Sudah?” Harits menjawab, “Belum.” Aku bertanya,, “Mengapa?” Harits menjawab, “Saat aku tiba di hadapannya, dia berkata, ‘Engkau sudah melakukan apa yang patut engkau lakukan, namun aku masih belum melihat sesuatu yang diceritakan orang-orang kepadaku tentangmu.’ Aku bertanya, ‘Apa maksudmu?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apakah engkau merasa nyaman bersamaku di sini, sementara di luar sana orang-orang Arab saling bunuh membunuh?’ Harits bertanya, ‘Kamu menyuruhku melakukan apa?’ Dia menjawab, ‘Damaikan mereka, setelah itu kembalilah kepadaku dan engkau akan mendapatkan dariku segala yang engkau inginkan.”

Kharijah berkata, maka Harits berkata kepadaku, “Kita pergi.” Lalu kami mendatangi dua kabilah besar yang sedang bertikai, kamu berusaha mendamaikan mereka dan akhirnya mereka mau damai dengan syarat korban yang terbunuh dibayar dengan ganti rugi diyat, maka Harits dan koleganya bersedia memikul ganti rugi diyat yang berjumlah tiga ribu unta yang dibayar selama tiga tahun.

Itulah perdamian dua kabilah yang berperang Abs dan Dzubyan, berkat inisiatif dari seorang istri, Buhaisah pencipta perdamaian. Wallahu a’lam. Izzuidn.