Secara tegas dan lugas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada umatnya:

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي

 “Janganlah kalian mencela sahabatku.” (HR. Bukhari no. 3673)]

Bahkan wasiat ini ditegaskan lagi oleh sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمُقَامُ أَحَدِهِمْ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ عَمَلِ أَحَدِكُمْ عُمْرَهُ

“Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad. Berdirinya salah seorang dari mereka sejam saja (dalam shalat –penj) jauh lebih baik daripada amalan salah seorang dari kalian selama hidupnya.” (HR. Ibnu Majah no. 162 dan dihasankan oleh al-Albani).

Berdasarkan hadits di atas, para ulama sepakat bahwa haram hukumnya mencela para sahabat nabi. Namun faktanya, dari masa ke masa, mulai dari masa sahabat sampai sekarang ini, masih banyak yang tak segan-segan melemparkan celaan dan kebencian kepada sebagian sahabat nabi. Dan sangat disayangkan, mereka adalah orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam.

Bahkan sekarang ini, komunitas mereka semakin menjamur. Di antara mereka ada yang dengan lantangnya menuduh kafir atau fasik kepada sahabat mulia, Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum. Ada juga yang menuduh Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat dicintainya, sebagai pezina dan menjustifikasi Ummul mukminin ini sebagai penduduk Neraka. Dan berbagai tuduhan maupun celaan buruk lainnya yang sangat tidak layak disandang oleh mereka para sahabat nabi.

Apa Mau Mereka?

Tidak ada motif di balik tindakan buruk mereka selain karena kedengkian dan kebencian mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Islam. Maka tepat sekali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghukumi mereka sebagai orang-orang munafik. Hati mereka sangatlah kotor dan benci kepada Islam.

Imam Malik berkata, “Sejatinya mereka itu hendak mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun hal itu tidaklah mungkin. Akhirnya mereka mencela para sahabatnya sehingga orang-orang pun akan mengatakan kepada beliau, ‘Dia adalah seorang yang buruk karena memiliki sahabat-sahabat yang buruk. Jika dia seorang yang baik, tentu para sahabatnya adalah orangorang yang baik.’” (Ash-Sharim al-Maslul, Ibnu Taimiyah, hal 581).

Ranah Akidah

Mencintai dan memuliakan sahabat atau sebaliknya adalah perkara besar dalam agama ini, karena ia masuk dalam ranah akidah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kaum Anshar:

الْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ

“ِAnshar; tidaklah seorang itu mencintai mereka melainkan ia seorang mukmin, dan tidaklah seorang itu membenci mereka melainkan ia seorang munafik.” (HR. Muslim no. 3783).

Imam asy-Syaukani berkata, “Di sisi para sahabat nabi adalah perkara yang besar, maka barangsiapa merusak kehormatan sebagian mereka, berarti ia telah terjerumus ke dalam jurang yang tidak akan mungkin keluar darinya dengan selamat.” (Irsyad al-Fuhul, asy-Syaukani, 1/188).

Ath-Thahawi sebagaimana yang dinukil oleh Abu al-‘Izz al-Hanafi berkata, “Mencintai mereka (para sahabat –penj) adalah bagian dari agama, iman dan kebaikan. Dan membenci mereka adalah bentuk kekufuran, kenifakan dan kesesatan.” (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, Abu al-‘Izz al-Hanafi, hal 467).

Berhati-hatilah dengan perkara ini! Karena mencela dan membenci para sahabat, entah hanya sekedar lawakan, senda gurau ataupun sungguhan, hal itu sama saja dengan mencela, membenci dan menentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dimana ancamannya sangatlah keras dari Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Katakanlah, ‘Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).

Pandangan Ulama tentang Masalah Ini

Tuduhan dan celaan terhadap para sahabat nabi tidak lepas dari tiga perkara:

1. Mencela secara terang-terangan bahwa mereka itu kafir atau fasik, atau dengan perkara-perkara yang berkonsekuensi membawa mereka kepada kekufuran atau kefasikan.

Orang yang melakukan tuduhan dan celaan semacam ini kepada para sahabat nabi, maka ia dihukumi kafir dan dijatuhi hukuman mati.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “(Celaan ini membuatnya –penj) kafir, karena ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memuji dan meridhai mereka. Bahkan siapa yang meragukan kekafiran semacam ini, maka kekafirannya telah nyata. Karena substansi perkataan ini telah dinukil oleh al-Qur’an dan as-Sunnah bahwa mereka adalah orang-orang kafir atau fasik.” (Syarh Lum’ati al-I’tiqad, Ibnu Utsaimin, hal 51).

Berkata al-Qadhi bin Iyadh, “Barangsiapa mencela salah seorang dari sahabat nabi; (seperti) Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Mu’awiyah atau Amr bin al-Ash. Jika ia berkata, ‘Mereka di atas kesesatan dan kekafiran’ maka ia harus dibunuh. Namun jika mereka mencela dengan selain celaan ini, maka mereka harus dihukum dengan hukuman yang berat.” (Asy-Syifa fii Huquq al-Mushthafa, al-Qadhi bin Iyadh, 2/267).

2. Celaan berupa umpatan, melaknat atau menyebut mereka dengan kata-kata yang buruk.

Sebagian ulama menghukumi kafir dan dijatuhi hukuman mati, dan sebagian yang lain menilainya tidak kafir namun dihukum dengan hukuman yang berat, seperti dicambuk atau dipenjara sampai mati atau bertaubat.

Abu Zar’ah Ar-Razi berkata, “Apabila engkau melihat ada seseorang mencela salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketahuilah bahwa sesungguhnya ia seorang zindiq (kafir). Hal itu karena menurut kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah haq dan al-Qur’an adalah haq. Dan yang telah menyampaikan al-Qur’an dan as-Sunnah ini kepada kami, tidak lain adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Mereka (para pencela sahabat -penj) itu tidak lain hanya ingin mencela persaksian kami agar mereka bisa menolak al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan celaan mereka kepada (para sahabat nabi) lebih utama (untuk menghukumi) mereka sebagai orangorang zindiq (kafir).” (Al-Kifayah, al-Khatib al-Baghdadi, hal 49).

al-Auza’i seorang Tabi’in senior berkata, “Barangsiapa mencela Abu Bakar ash-Shiddiq, maka ia telah murtad dari agamanya dan dibolehkan darahnya (dihukum mati).” (Asy-Syarh wal Ibanah, Ibnu Baththah, hal 161).

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Menurut pendapat bahwa ia tidak kafir, maka ia wajib dihukum cambuk dan dipenjara sampai mati atau sampai ia ruju’ (kembali) dari perkataannya.” (Syarh Lum’ati al-I’tiqad, Ibnu Utsaimin, hal 51).

3. Mencela mereka dengan hal-hal yang tidak menciderai agamanya, seperti menyebutnya sebagai penakut, bakhil atau yang lainnya.

Siapa saja melakukan celaan semacam ini kepada sahabat nabi, para pelakunya tidaklah dihukumi kafir. Akan tetapi ia harus dita’zir; yaitu dihukum dengan hukuman yang kadarnya ditetapkan oleh pemerintah Islam. Bisa berat atau ringan. Bahkan bisa sampai pada tingkat hukuman mati. Kadar hukuman itu sesuai dengan kemashlahatan yang dipandang oleh pemerintah Islam.

Imam Ahmad sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak boleh bagi seorang pun menyebut salah satu keburukan mereka, memfitnah salah seorang mereka dengan aib dan kekurangannya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka pemerintah Islam wajib menghukumnya. Ia tidak boleh dimaaf­kan, tapi harus dihukum dan diminta untuk bertaubat. Jika bertaubat, maka diterima taubatnya. Jika tidak mau bertaubat, diulangi lagi hukumannya. Kemudian dipenjara sampai mati atau ia kembali (bertaubat).” (Ash-Sharim al-Maslul, Ibnu Taimiyah, hal 570). Wallahu a’lam. (Saed As-Saedy, Lc.)

Referensi

1. Ash-Sharim al-Maslul, Ibnu Taimiyah.

2. Syarh Lum’ati al-I’tiqad, Ibnu Utsaimin.

3. Al-Kifayah, al-Khatib al-Baghdadi,dll.