Al-Ju’u atau lapar adalah sebuah keadaan di mana lambung seseorang kosong dari makanan, lihat Mu’jamul Wasith. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lapar adalah berasa ingin makan karena perut kosong.

 

TEPIAN ITU BERNAMA LAPAR

Pertanyaan, apa yang akan dimakan ketika tidak ada yang bisa dimakan? Inilah lapar, problem yang dihadapi sebagian orang.

Dalam perspektif alQur’an, kelaparan adalah sebuah penyakit yang diderita oleh penduduk neraka dan juga sebagai cobaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada manusia di dunia. Ini sebagaimana disebutkan dalam surah alGhasyiah ayat 7, surah anNahl ayat 112 dan surat alBaqarah ayat 155. Kesimpulannya kelaparan adalah penderitaan.

Imam alQurtubi membawakan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika mengomentari tentang al-ju’u, beliau mengatakan yang dimaksud adalah kekeringan dan paceklik. Sehingga bisa disimpulkan bahwa masalah lapar juga masalah rezeki.

 

NIKMAT YANG AGUNG

Lebih lanjut, di dalam alQur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala menyandingkan kata Al-Ju’u; lapar, dengan al-khauf; rasa takut. Rasa takut berarti hilangnya nikmat aman dan rasa lapar berarti hilangnya ketersediaan makanan pokok. Kedua nikmat ini; rasa aman dan memiliki cukup makanan, begitu agung yang menjadikan hidup seseorang tenang dan bahagia. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

“Barangsiapa di antara kalian yang memasuki pagi merasa aman di tempat tinggalnya, sehat badannya dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia telah tergenggam menjadi miliknya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2346, hadits hasan).

 

LIMIT ANTARA DUA SISI

Fokus tulisan bukan tentang al-Ju’u, tapi lebih fokus pada dampak negatif hanya garagara isi perut. Lihatlah realita, seorang wanita mau menjual kehormatan hanya garagara isi perut, diancam rasa amannya, atau hanya mengharapkan sedikit dari lembaran rupiah. Lebih parah lagi, seseorang rela menjual agamanya hanya karena kelaparan.

Kefakiran memang berada dalam limit yang tipis, antara keimanan dan kekufuran. Berapa banyak keimanan tergadai, lalu tercebur dalam kekufuran garagara kefakiran yang menghimpit, memaksa perut memelas yang tidak waras. Karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari kefakiran.

Dari Muslim bin Abu Bakarah dari bapaknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran dan azab kubur.” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya no. 20381, dengan sanad yang kuat).

 Menjual agama hanya garagara isi perut, menunjukkan kesalahan dalam beraqidah. Hal ini disinggung langsung dalam alQur’an:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

“Adapun manusia apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinakanku.’” (QS. al-Fajr: 15-16).

“Tuhanku telah menghinakanku” sebuah ungkapan yang dibangun atas dasar kebodohan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, salahnya persepsi dalam menyembahNya; tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala disembah kecuali hanya berdasarkan kesenangan yang datang kepadanya, apabila cobaan datang dan dibatasi rezekinya, ia pun berbalik kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berburuk sangka kepadaNya.

Ketahuilah, tidaklah seseorang ditimpa kesempitan rezeki, berupa kurangnya bahan pangan, melainkan orang tersebut sedang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika ia orang yang beriman, Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menguji dan mengangkat derajatnya, jika bersabar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 157).

Sebaliknya, jika orang yang ditimpa kelaparan adalah orang yang suka bermaksiat, maka ini bentuk azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum azab di akhirat.

 

MENJAUHI TEPIAN

Banyak cara agar kita bisa kembali ke dalam kelapangan. Di antaranya ialah:

1. Muhasabah, instropeksi diri. Menjadi solusi pertama bagi siapa yang ditimpa kesempitan rezeki, berupa kelaparan. Tanyakan dalam lubuk hati yang paling dalam, bagaimana hubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika termasuk orang yang dekat denganNya, maka bersabar dan mengharaplah pahala dariNya. Namun, jika termasuk orang yang lalai dan suka bermaksiat, maka segeralah bertaubat.

2. Husnudzon, berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah solusi kedua. Tidaklah seorang pun dilahirkan di dunia ini melainkan sudah ditentukan rezekinya. Tetaplah berbaik sangka, boleh jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita sedikit dari rezeki untuk kemaslahatan kita sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS. as-Syura: 27).

3. Qona’ah, merasa cukup. Ini adalah solusi yang ketiga, qona’ah dalam artian selalu bersyukur dengan apa yang kita dapatkan dan tidak mengesampingkan usaha. Qona’ah mengajarkan ikhlas menerima hasil akhir di saat semua kekuatan telah dicurahkan dalam mengais rezeki. Dan qona’ah juga mengajarkan kita untuk selalu melihat orang yang lebih menderita daripada kita.

4. Arruju’ Ilallah, kembali pada Allah. Ia adalah pondasi kebahagiaan.

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11).

Ia adalah pelipur kesedihan.

بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

 “Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. al-Baqarah: 112).

Ia adalah sebab datangnya rezeki dari berbagai arah.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raf: 96).

Sedangkan berpaling dariNya adalah sebab keterjepitan hidup.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit.” (QS. Taha: 124). Wallahu A’lam. (Irsun Badrun, S.S.).