Besarnya keutamaan syukur dan tingginya kedudukannya merupakan perkara yang tidak diragukan. Bersyukur  kepada Allah  -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- atas nikmat-nikmatNya yang terus datang silih berganti dan pemberianNya yang datang secara berkesinambungan, sungguh hal tersebut telah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- perintahkan di dalam kitabNya, dan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pun melarang sebaliknya (yakni, melarang dari mengingkari nikmat-nikmatNya dan pemberian-pemberianNya).

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga memberikan sanjungan terhadap pelakunya, menyifati makhluk-makhlukNya yang sangat istimewa dengannya (yakni, sebagai hamba-hambaNya yang bersyukur kepadaNya).

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga menjadikan kesyukuran itu sebagai tujuan penciptaanNya dan perintahNya, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjanjikan kepada orang-orang yang pandai bersyukur itu bahwa mereka akan memperoleh sebaik-baik balasan dariNya.

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjanjikan “syukur” sebagai sebab untuk memperoleh tambahan karunia dan pemberianNya, menjadikannya pula sebagai penjaga nikmat-nikmatNya.

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga mengkabarkan bahwa orang-orang yang pandai bersyukur itu merekalah orang-orang yang benar-benar dapat mengambil manfaat dari ayat-ayatNya.

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga menyebutkan beragam tanda dan bukti kebenaran kesyukuran seorang hamba di banyak tempat di dalam kitabNya.  Di banyak ayat di dalam al-Qur’an yang mulia, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memerintahkan kepada para hambaNya untuk bersyukur kepadaNya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepadaNya” (an-Nahl: 114)

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu ingkar kepadaKu.” (al-Baqarah: 152)

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Maka mintalah rezeki dari Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepadaNya. Hanya kepadaNya kamu akan dikembalikan.” (al-Ankabut: 17).

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga menghubungkan syukur dengan iman dan mengkabarkan pula bahwasanya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak akan menyiksa hambaNya bila mana mereka bersyukur dan beriman kepadaNya, seraya berfirman,

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

“Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.” (an-Nisa: 147).

Yakni, jika kalian menunaikan apa yang menjadi maksud kalian diciptakan, yaitu, bersyukur dan beriman, niscaya Aku tidak akan menyiksa kalian.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga mengkabarkan bahwa orang-orang yang pandai bersyukur, merekalah orang-orang yang beruntung dengan memperoleh anugerahNya, seraya berfirman,

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

“Demikianlah, Kami telah menguji sebagian mereka (orang yang kaya) dengan sebagian yang lain (orang yang miskin), agar mereka (orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?’ (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang mereka yang bersyukur (kepadaNya)’.” (al-An’am: 53).

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga menggantungkan adanya ‘tambahan karuniaNya’ dengan kesyukuran (seorang hamba kepadaNya), sementara tambahan kenikmatan tersebut dariNya tidak ada ujungnya sebagaimana halnya tidak ada ujungnya untuk mensyukuriNya, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azabKu sangat berat’.” (Ibrahim: 7).

Maka, kesyukuran itu senantiasa bersama dengan “tambahan kenikmatan” selamanya. Karena itu, dikatakan, “Maka kapan saja engkau belum melihat keadaanmu berada di dalam tambahan kenikmatan, maka segeralah engkau bersyukur.”

 

Dua Model Manusia

Sesungguhnya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- membagi model manusia di dalam al-Qur’an menjadi dua dan menjadikan mereka dua kelompok; kelompok pertama adalah orang-orang yang pandai bersyukur dan kelompok kedua adalah orang-orang yang ingkar. Sementara, hal yang paling dibenciNya adalah kekufuran dan pelakunya, dan yang paling dicintaiNya adalah kesyukuran dan pelakunya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman menjelaskan keadaan manusia,

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Sungguh, Kami telah menunjukkan kepada jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (al-Insan: 3).

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ

“Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridhai kekafiran hamba-hambaNya. Jika kamu bersyukur, Dia meridhai kesyukuranmu itu.” (Az-Zumar: 7).

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.” (Luqman: 12).

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia.” (an-Naml : 40).

 

Target Iblis

Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga mengkabarkan bahwa musuh Allah, yaitu, Iblis, telah memasang targetnya, bahwa ia berupaya dengan keras untuk menghentikan manusia dari bersyukur kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Hal demikian itu diupayakannya kala mengetahui betapa besarnya kedudukan syukur dan bahwa syukur itu termasuk kedudukan yang paling mulia dan paling tinggi.  Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman menjelaskan keadaan Iblis,

ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (al-A’raf: 17).

Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pun mengkabarkan bahwa  orang-orang yang bersyukur (kepadaNya) mereka itulah kelompok yang sedikit jumlahnya di antara hamba-hambaNya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba : 13).

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ

“Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Yusuf : 38).

 

Syukur Tujuan Penciptaan

Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga mengkabarkan bahwa syukur merupakan tujuan dari diciptakannya makhluk (manusia), dan diberikannya beragam bentuk kenikmatan kepada mereka.  Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (an-Nahl: 78).

وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan adalah karena rahmatNya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, agar kamu beristirahat pada malam hari dan agar kamu mencari sebagian karuniaNya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepadaNya.” (al-Qashash: 73).

وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur.” (an-Nahl: 14).

Nash-nash yang semakna dengan ini banyak sekali.

 

Syukur Jalan Para Nabi dan Rasul

Sesungguhnya syukur merupakan jalan para utusan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan para NabiNya, yang merupakan makhluk ciptaanNya yang paling istimewa dan paling dekat (kedudukannya) kepadaNya-semoga shalawat dan salam Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- limpahkan kepada mereka semuanya-. Sungguh, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah menyanjung rasul pertama yang diutusNya ke bumi dengan sifat ‘syukur’, seraya berfirman,

ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا

“(Wahai) keturunan orang yang Kami bawa bersama Nuh. Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (al-Isra’: 3).

Disebutkannya Nabi Nuh -عَلَيْهِ السَّلَامُ- di sini secara khusus dan seruan kepada para hamba bahwasanya mereka adalah keturunannya merupakan isyarat agar kita meneladani beliau -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, karena beliau (Nabi Nuh -عَلَيْهِ السَّلَامُ-) adalah bapak moyang mereka yang kedua, karena sesungguhnya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak menjadikan keturunan untuk manusia –setelah penenggelaman- kecuali berasal dari keturunannya, sebagaimana Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ

“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (ash-Shaafat: 77).

Maka, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- perintahkan anak cucunya agar meniru ayah mereka dalam hal mensyukuri nikmatNya, karena dia (Nabi Nuh -عَلَيْهِ السَّلَامُ-) adalah seorang hamba Allah yang banyak bersyukur.

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyanjung kekasihNya, Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, disebabkan karena kesyukurannya terhadap nikmat-nikmatNya -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, seraya berfirman,

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ . شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan Hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah), dia mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah telah memilihnya dan menunjukinya ke jalan yang lurus.” (an-Nahl: 120-121).

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengkabarkan tentang Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, bahwasanya ia adalah ummah, yakni, qudwah (panutan) yang diteladani dalam kebaikan, dan bahwa ia قَانِتًا لِلَّهِ, qaanit adalah orang yang taat, senantiasa melakukan ketaatan (kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-). Ia adalah حَنِيفًا, orang yang senantiasa menghadapkan diri kepada Allah, berpaling dari selainNya. Kemudian, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menutup sifat-sifatnya ini dengan bahwasanya dia (Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ-) شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ  dia mensyukuri nikmat-nikmatNya. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan ‘syukur’ sebagai puncak sifat kekasihNya, yaitu, Nabiyullah Ibrahim – علَيْهِ السَّلَامُ-.   

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga perintahkan kepada hambaNya, Musa -علَيْهِ السَّلَامُ-untuk menghadapi apa yang Allah berikan kepadanya berupa (nikmat) kenabian, kerasulan, dan (nikmat) berbicara langsung denganNya, dengan kesyukuran kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, seraya berfirman,

قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

(Allah) berfirman, “Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia yang lain (pada masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.” (al-A’raf: 144).

Dan, ayat-ayat yang semakna dengan ini cukup banyak yang menerangkan kesyukuran para Nabi kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan bahwa hal tersebut (yakni, kesyukuran kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) merupakan jalan mereka.

 

Cermin Kesyukuran Penutup Para Nabi

Adapun kesyukuran penutup para Nabi dan penghulu anak Adam, Muhammad bin Abdillah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- merupakan pintu yang luas; beliau adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mengenal Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan yang paling takut kepadaNya, paling bersyukur terhadap nikmat-Nya, paling tinggi kedudukannya di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Telah valid di dalam ash-Shahih dari al-Mughirah bin Syu’bah -رضِيَ اللهُ عَنْهُ-  ia berkata,

قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَرَّمَتْ قَدَمَاهُ فَقِيلَ لَهُ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“Nabi –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَberdiri (shalat malam) hingga kedua telapak kakinya bengkak. Maka, dikatakan kepada beliau, ‘Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah lalu dan yang akan datang (mengapa Anda masih saja melakukan hal ini?).’ Beliau menjawab, ‘Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur’.” (HR. Bukhori, no. 4836)

Dan telah valid pula di dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا

Sesunggguhnya orang yang paling bertakwa (kepada Allah) di antara kalian dan paling tahu tentang Allah di antara kalian adalah aku. (HR. al-Bukhari, no. 20).

 

Asas Syukur dan Hakikatnya

Adapun asas syukur dan hakikatnya adalah pengakuan terhadap pemberian Dzat yang telah memberikan kenikmatan dengan penuh ketundukan, kehinaan dan kecintaan.

Maka, barang siapa yang tidak mengetahui kenikmatan, bahkan ia bodoh terhadapnya, maka belumlah ia mensyukuri nikmat.

Barang siapa telah mengetahui kenikmatan, namun ia tidak mengetahui pemberi kenikmatan tersebut, berarti pula ia belum mensyukuri kenikmatan tersebut.

Barang siapa telah mengetahui kenikmatan dan pemberinya, akan tetapi ia menolaknya maka ia telah mengingkari kenikmatan tersebut. Barang siapa mengetahui kenikmatan dan pemberinya dan ia pun mengakuinya dan tidak menolaknya namun ia tidak tunduk kepadaNya, tidak mencintaiNya dan tidak pula ridha kepadaNya, maka ia belum pula mensyukuri nikmatNya.

Barang siapa mengetahui kenikmatan dan mengetahui pula pemberi kenikmatan tersebut, ia pun tunduk kepadaNya, mencintaiNya, ridha terhadapNya, dan menggunakan kenikmatan tersebut dalam hal-hal yang dicintaiNya dan untuk mentaatiNya, maka inilah dia orang yang benar-benar mensyukuri nikmatNya.

 

Lima Pilar Kesyukuran

Dengan ini menjadi jelaslah bahwa syukur itu dibangun di atas lima pilar; (1) ketundukan orang yang bersyukur kepada Dzat yang disyukurinya, (2) kecintaannya kepadaNya, (3) pengakuannya akan nikmatNya, (4) sanjungan dan pujiannya kepadaNya atas kenikmatan yang dikaruniakanNya, dan (5) tidak menggunakan kenikmatan tersebut untuk hal-hal yang dibenciNya. Kelima hal inilah merupakan pondasi syukur dan bangunannya yang berdiri tegak di atasnya. Maka, jika satu saja pondasi tidak ada maka akan melepaskan satu pilar dari pilar-pilar kesyukuran.

 

Kesyukuran dengan Hati, Lisan dan Anggota Badan

Dan kesyukuran itu adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. Kesyukuran dengan hati berupa ketundukan, kepasrahan diri dan kecintaan kepada pemberi kenikmatan, yaitu Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Adapun kesyukuran dengan lisan adalah berupa sanjung, pujian dan pengakuan. Adapun kesyukuran dengan anggota badan adalah berupa tindak ketaatan dan kepatuhan.

 

Contoh Bentuk Kesyukuran Anggota Badan

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan di dalam kitabnya, ‘asy-Syukru’ bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Abu Hazim Salamah bin Dinar -رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى-,

‘Apa bentuk kesyukuran dua mata, wahai Abu Hazim?’

Abu Hazim menjawab, ‘Jika engkau melihat suatu kebaikan dengan kedua mata itu, maka engkau mengumumkan kebaikan tersebut, dan jika engkau melihat suatu keburukan dengan keduanya, maka engkau menutupi keburukan tersebut.’

Lelaki itu kembali bertanya, ‘Apa bentuk kesyukuran dua telinga?’

Abu Hazim menjawab, ’Jika kamu mendengar suatu kebaikan dengan kedua telinga itu, maka engkau berusaha memahaminya. Dan jika kamu mendengar suatu keburukan dengan keduanya, maka engkau menolaknya.’

Lelaki itu kembali bertanya, ‘Apa bentuk kesyukuran dua tangan?’

Abu Hazim menjawab, ’Janganlah engkau mengambil (sesuatu) yang bukan hak keduanya, dan janganlah engkau menahan sebuah hak Allah yang ada pada keduanya.’

Lelaki itu kembali bertanya, ‘Apa bentuk kesyukuran perut?’

Hendaknya bagian yang paling bawahnya engkau isi dengan makanan dan minuman yang halal, sedangkan bagian atasnya (yakni, dada) engkau isi dengan ilmu.’

Lelaki itu kembali bertanya, ‘Apa bentuk kesyukuran kemaluan?’

Abu Hazim menjawab,’ Seperti yang Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- firmankan,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ . فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela.” (al-Mukminun: 5-7).

Lelaki itu kembali bertanya, ‘Apa bentuk kesyukuran kaki?’

Apabila engkau melihat orang yang masih hidup (yang sedemikian gemar beramal shaleh), maka engkau gunakan kedua kakimu untuk melakukan (kebaikan) seperti yang dilakukan oleh orang yang engkau lihat itu. Dan, jika engkau melihat orang yang telah meninggal dunia dan engkau tidak menyukainya (karena kebiasaannya berbuat keburukan selama hidupnya sejauh yang engkau ketahui) maka engkau menahan kedua kakimu dari melakukan kebiasaan buruk yang dilakukannya.

Dengan ini, engkau berarti termasuk orang yang telah bersyukur kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Adapun barang siapa bersyukur (kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) dengan lisannya namun tidak bersyukur dengan seluruh anggota tubuhnya, maka perumpamaannya adalah seperti seorang lelaki yang mempunyai pakaian, lalu ia memegang ujung pakaiannya dan ia tidak mengenakannya. Sehingga, hal itu tidak memberikan manfaat kepadanya sedikitpun dari sengatan panas, dinginnya cuaca, dinginnya salju dan hujan.” Selesai perkataan beliau -رَحِمَهُ اللهُ-.

 

Syukur Jalan Melestarikan Kenikmatan

Sesungguhnya syukur kepada Allah  -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- atas segala kenikmatan yang dikaruniakanNya, merupakan kewajiban atas setiap muslim dan mukmin. Dan, syukur merupakan jalan untuk melestarikan kenikmatan-kenikmatan, sebagaimana halnya tidak adanya kesyukuran merupakan sebab hilangnya kenikmatan.

Telah dikatakan, “Setiap kesyukuran sekalipun atas kenikmatan yang sedikit, merupakan harga untuk setiap kenikmatan yang ingin didapatkan sekalipun besar. Maka, bila seseorang tidak bersyukur, ia telah menawarkan kenikmatan itu untuk hilang.”

Dan dikatakan juga,

“Syukur merupakan tali pengikat kenikmatan yang ada dan penangkap kenikmatan yang hilang.”

Dan dikatakan juga,

“Mengingkari kenikmatan merupakan kebinasaan dan hal itu merupakan wasilah kepada pelarian. Dan, dulu, mereka menamakan kesyukuran dengan, al-Hafizh (sang penjaga), karena kesyukuran menjaga kenikmatan-kenikmatan yang ada. Dan, mereka juga menamakan kenikmatan itu dengan al-Jalib (sang penarik), karena kesyukuran itu akan menarik kenikmatan-kenikmatan yang hilang.”

Dan dikatakan juga,

“Kenikmatan itu bila disyukuri menetap, dan bila diingkari lari.”

Akhirnya, kita memohon kepada Allah Dzat Maha Agung dan Maha Tinggi agar membagikan kepada kita, saya dan Anda kesyukuran terhadap nikmat-nikmatNya. Kita juga memohon kepadaNya agar Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- melindungi kita dari pengingkaran terhadap nikmat-nikmatNya. Sesungguhnya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Mendengar, Maha Mengabulkan Permohonan. Amin

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- beserta keluarganya dan para sahabatnya. Wallahu A’lam. (Redaksi)

 

Sumber:

Fadhlu asy-Syukri, Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad-semoga Allah menjaganya. Dengan ringkasan.