Be_still____by_Qa9ed2000Besarnya nikmat Allah

Dalam setiap helaan nafas, disanalah mengalir beragam kenikmatan dari sisi Allah kepada setiap hamba-Nya. Kenikmatan bukan sebatas pada materi semata, melainkan banyak macamnya, baik yang bersifat materi maupun imateri. Harta benda, kekayaan yang melimpah dan kehadiran anak-anak merupakan contoh kenikmatan dalam bentuk materi, sementara kelapangan hati, ketenangan jiwa, ilmu, kesehatan, kesempatan dan istiqamah dalam beribadah merupakan kenikmatan dalam bentuk imateri.

Kenikmatan itu akan semakin terasa sempurna dikala dua jenis kenikmatan di atas bisa tergabung dalam diri seorang hamba dalam satu waktu.

Namun apabila dua jenis kenikmatan itu tidak tergabung dalam satu waktu, maka seseorang akan lebih condong memilih kenikmatan imateri daripada kenikmatan materi. Karena kenikmatan imateri yang secara umum menyimpul pada ketentraman batin lebih terasa nikmat daripada kegelisahan jiwa meskipun berada dalam gelimangan harta.

Kenikmatan yang Allah berikan begitu banyak sampai tak seorang pun yang mampu untuk menghitungnya. Allah berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34)

Bahkan apabila seluruh lautan terhimpun menjadi satu tinta untuk menuliskan nikmat-nikmat Allah, niscaya air laut itu akan habis sebelum tertuliskannya semua nikmat-nikmat-Nya. Sebagaimana halnya air lautan yang akan habis terlebih dahulu saat dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah, meskipun didatangkan tambahan lautan tinta sebanyak itu. Hal ini sebagaimana firman Allah:

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

“Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109)

Tak selamanya nikmat itu indah

Mayoritas manusia akan berfikir bahwa kenikmatan selamanya adalah keindahan atau kesenangan yang terasa dalam jiwa dan raga. Padahal tidak demikian, kenikmatan bisa saja berupa kesempitan hati maupun keadaan dalam himpitan ekonomi, sebagaimana halnya musibah, bencana atau petaka sangat mungkin terjadi dalam kondisi lapangnya hati dan berlimpahnya kekayaan yang dimiliki.

Kenikmatan bukan semata-mata terjadi di saat lapang, karena setiap keadaan yang ada dalam diri seorang muslim semuanya adalah baik. Dan semua kebaikan ini bagi seorang muslim adalah kenikmatan yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَتْ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَتْ خَيْرًا لَهُ

“Perkara seorang mukmin sungguh menakjubkan, dimana semua perkaranya adalah baik. Dan hal itu tidak ditemukan melainkan dalam diri seorang mukmin. Apabila ia mendapatkan kelapangan ia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa musibah ia bersabar, dan itu baik baginya. (HR. Muslim, no. 2999)

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan tentang hadits ini seraya mengatakan, “Inilah keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya setiap manusia itu berada dalam ketetapan dan takdir Allah yang tidak terlepas dari dua perkara, yaitu kesenangan (kelapangan) dan kesempitan (musibah). Dari dua keadaan ini, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang mukmin dan orang kafir.

Adapun orang mukmin dalam keadaan apa pun maka ia berada dalam keadaan yang baik. Karena apabila ditimpa musibah, ia akan bersabar terhadap takdir Allah dan menanti kelapangan dari-Nya dengan mengharap pahala di sisi Allah. Kondisi ini jelas baik baginya karena ia akan mendapatkan pahala orang-orang yang bersabar.

Dan jika ia mendapatkan kesenangan (kelapangan), baik berupa kenikmatan agama seperti ilmu dan amal shalih, maupun berupa kenikmatan dunia seperti harta kekayaan, anak-anak dan keluarga. Maka ia akan bersyukur kepada Allah dengan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Bersyukur kepada Allah adalah kondisi yang baik pula baginya. Dimana ia akan mendapatkan dua kenikmatan sekaligus, yaitu nikmat agama dan nikmat dunia. Nikmat dunia berupa kelapangan dan kesenangan, adapun nikmat agama berupa rasa syukurnya kepada Allah akan keadaan yang dirasakannya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, Ibnu Utsaimin, 1/32)

Oleh karena itu, di balik kelapangan dan keindahan ada sebuah petaka maupun nikmat. Sebagaimana halnya di balik kesempitan dan keburukan itu terdapat pula sebuah nikmat maupun petaka. Semua keadaan tersebut tergantung dari hati seorang muslim dalam mensikapinya, antara bersyukur atau kufur dan antara bersabar dan marah (geram/menggerutu).

Dua keadaan ini bagi seorang mukmin adalah nikmat, karena masing-masing membawa kebaikan bagi dirinya di dunia dan di akhirat, apabila sikap yang ditunjukkan sebagaimana yang terdapat dalam hadits di atas.

Berbeda dengan orang-orang kafir, dimana mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan kala dua keadaan ini berada di hadapannya. Jika ia adalah sebuah kelapangan/kesenangan, maka ia hanyalah kesenangan semu semata karena tiada rasa syukur kepada Allah. Dan jika ia sebuah kesempitan/musibah, maka musibah itu menjadi petaka yang semakin membuatnya sengsara sebelum kesengsaraan yang sesungguhnya di akhirat kelak.

Jadi, tidak selamanya nikmat itu indah dan berupa kelapangan. Karena di saat kesempitan/musibah menimpa seseorang, bisa jadi ia adalah kenikmatan sejatinya yang disediakan untuknya. Karena di sana tersimpan banyak sekali pahala yang bisa diraupnya. Atau pun di saat kelapangan/kesenangan dirasakannya, bisa jadi ia adalah sebuah musibah/petaka yang sesungguhnya. Karena ia tidak bisa memanfaatkannya di jalan-jalan kebaikan. Melainkan digunakannya untuk keburukan dan kemaksiatan.

Hanya dua sifat yang bisa menjadikan semua keadaan itu menjadi nikmat dan indah, yaitu sifat bersyukur atas kelapangan/kesenangan dan sifat bersabar terhadap kesempitan/musibah.

Surga kenikmatan yang sempurna, Neraka petaka yang sejatinya
Kenikmatan sempurna yang sejatinya adalah kenikmatan yang ada di surga, karena dua unsur nikmat yang berupa materi dan imateri terhimpun dalam satu waktu di dalamnya. Hal ini sebagaimana firman Allah, yang artinya:

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (QS. Yunus: 62-64)

“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 25)

Adapun petaka yang sesunggunya ialah siksaan di dalam api neraka, karena unsur siksaan materi dan imateri terhimpun pula dalam satu waktu yang kekal selama-lamanya. Lihatlah firman Allah berikut ini yang artinya:

“Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 56)

“Sesungguhnya pohon zaqqum itu, makanan bagi orang yang banyak berdosa. (Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang sangat panas. “Peganglah dia kemudian seretlah dia sampai ketengah-tengah Neraka. Kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari) air yang sangat panas. Rasakanlah, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang perkasa lagi mulia” (QS. Ad-Dukhaan: 43-49)

Wallohu a’lam bishowab

Ditulis oleh Saed As-Saedy