Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Kita memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Kita memohon ampunan dan petunjuk kepada-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan diri-diri kita dan keburukan-keburukan amal-amal kita. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan, barang siapa yang disesatkan-Nya, niscaya tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, telah menyampaikan risalah, telah menunaikan amanah, telah memberikan nasehat kepada umat, telah berjihad di jalan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan sebenar-benar jihad. Semoga shalawat dan salam Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- sampaikan kepada nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang berjalan di atas manhajnya dan menapaki jejaknya sampai hari Pembalasan.

Saudara-saudaraku, kaum Muslimin.

Berikut ini merupakan kejadian dalam sebuah kisah nyata yang disebarkan di salah satu media lokal, di mana peristiwa ini terjadi di dua buah kota, yaitu, Makkah dan Jeddah. Di dalam kisah ini terdapat nasehat dan pelajaran.

Salah seorang petugas pencatat data statistik kependudukan di tempat layanan masyarakat, mengatakan, ‘Pada suatu hari, datang kepada kami dua kabar dalam satu waktu tentang keberadaan dua anak hilang yang dimasukkan ke panti asuhan. Satunya di Makkah, satunya lagi di Jeddah. Oleh karena panti asuhan yang ada di Makkah penuh, sementara panti asuhan yang berada di Jeddah masih tersedia tempat untuk menampung anak asuh, maka aku meminta agar anak yang tadinya akan dimasukkan ke panti asuhan yang ada di Makkah untuk dipindahkan ke Jeddah. Aku pun menyertai kepindahan anak tersebut ke panti asuhan yang di Jeddah. Ketika aku sampai di Jeddah, dan akupun masuk ke panti asuhan, ternyata aku melihat seorang anak yang mirip dengan anak yang tengah bersamaku. Terbetiklah dalam hatiku bahwa kedua anak ini kedua orang tuanya satu. Maka, aku pun meminta bukti penguat dari rumah sakit karena gelang keduanya masih ada. Aku dapati bahwa pihak rumah sakit mengemukakan bahwa anak ini dan anak itu ibunya adalah fulanah dan ayahnya adalah fulan, kedua anak tersebut terlahir di waktu anu, dan keluar dari rumah sakit pada hari anu. Lalu, aku pun meminta kepada pihak rumah sakit untuk mengecek kedua anak ini pada sidik jari ibu jari kaki kedua anak ini. Maka, didapati bahwa keduanya mirip, kembali kepada satu orang ibu dan satu orang ayah. Kemudian, kami meminta pihak rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan DNA kedua anak ini. Kami pun mendapati kemiripannya juga. Kesemua itu dilakukan agar kami mengetahui apakah kedua anak ini berasal dari satu ibu dan satu ayah, bagaimana menjadi yang satunya berada di Makkah dan yang satunya lagi di Jeddah.

Petugas itu mengatakan, ‘Kemudian kami ingin mencari ibu kedua anak ini. Kami pun mencarinya dan menemukannya di Makkah. Ternyata, ia adalah seorang anak tunggal dari seorang ibu yang lumpuh, di mana wanita inilah yang merawat ibunya. Kami pun menghubunginya dan kami pun mengatakan kepadanya, ‘Apakah engkau mempunyai anak? Ia pun menjawab, ‘Iya’ (saya mempunyai anak). Kami pun bertanya lagi kepadanya, ‘Siapakah kedua anakmu itu?’ Wanita itu mengatakan, ‘Belum lama aku melahirkan dua bayi. Lalu, ayahnya datang mengambilnya dan membawanya untuk dikhitan. Namun kemudian ternyata ia menutup telponnya, dan meninggalkan kami sementara kami tidak mengetahui dimanakah dia berada.’

Sang petugas mengatakan, ‘Lantas aku membawa masuk kedua anak tersebut dan menunjukkan keduanya kepada wanita tersebut. Ketika wanita itu melihat kedua anak itu, tiba-tiba  wanita itu berteriak dengan cukup keras seraya berujar, ‘Anak-anakku…anak-anakku!’

Sang petugas mengatakan, ‘Maka, menangislah seluruh orang yang hadir di tempat itu. Wanita tersebut terus saja menangis dengan cukup keras pada saat itu. Semua orang yang ada di rumah itu pun dapat mendengar tangisannya.’

Kami pun kemudian bertanya kepada wanita tersebut, ‘Bagaimana kisahmu?’

Wanita itu pun menjawab, ‘Ibuku menikahkan aku dengan seorang lelaki yang setanah air dengan kami, keduanya bukan warga Arab Saudi. Ternyata lelaki ini adalah seorang yang zalim. Ketika aku melahirkan kedua anak ini, ia datang kepadaku dan mengatakan, ‘Kedua anak ini harus dikhitan.’ Maka, aku pun khawatir ia akan mengambil keduanya dan tidak mengembalikan keduanya kepada diriku. Karena, pernah terjadi dirinya bertindak semisal tindakan yang sama dalam kasus yang berbeda sebelumnya. Maka, aku pun berdoa,

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَوْدِعُكَ وَلَدَيَّ هَذَيْنِ فَاحْفَطْ لِي وَدِيْعَتِي يَا رَبِّي

“Ya Allah!, Sesungguhnya aku titipkan kepadamu dua anakku ini, maka jagalah untukku titipanku, wahai Rabbku.”

Wanita itu mengatakan, ‘Kemudian, ia (suamiku tersebut) menghilang dari kami. Kami mencoba menghubunginya, namun kami tidak berhasil menghubunginya. Kami mencoba mencari tempat keberadaannya, kami pun tidak menemukannya.’

Wanita itu mengatakan, ‘Maka kami menduga bahwa ia (suamiku) membawa kedua anak itu ke negara asal kami. Sampai-sampai aku pun memastikan hal ini. Maka, aku terus saja mendekatkan diri dan memohon kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di malam hari, aku memohon perlindungan kepada-Nya seraya aku katakan,

يَا جَامِعَ أُمِّ مُوْسَى بِوَلَدِهَا اِجْمَعْنِي بِأَوْلَادِي

“Wahai Dzat yang telah mengumpulkan kembali Ibu Musa dengan anaknya, kumpulkanlah kembali aku dengan anak-anakku.”

Kami pun mengatakan kepada wanita itu, ‘Sungguh, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah mengumpulkan kembali engkau dengan anak-anakmu dengan cara yang menakjubkan.

Saudaraku…

Lihatlah bagaimana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menentukan takdir-takdir-Nya. Sang ayah ini (yakni, suami wanita ini) yang ingin memisahkan antara kedua anak ini, ia menaruh satunya di Makkah dan satunya lagi di Jeddah, anak yang ini di pantai asuhan, dan anak yang itu di pantai asuhan lainnya, dengan maksud menjauhkan jarak antara kedua anaknya dan agar urusannya tidak dipermasalahkan. Akan tetapi, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Dzat yang dimohon oleh wanita ini, dan wanita ini yang sedemikian membutuhkan-Nya, ia terus saja berdoa kepada-Nya, meminta kepada-Nya agar dikumpulkan kembali dengan kedua anaknya yang hilang, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menakdirkan sesuatu yang berbeda dengan keinginan suaminya yang zalim, ayah dari kedua anaknya ini. Maka, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kumpulkan kembali wanita ini dengan kedua anaknya, dengan pengaturan dari-Nya dan takdir-Nya dimana hal tersebut tidak terbesit sama sekali dalam pikiran seorang pun.

Pelajaran

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini ada beberapa poin, antara lain yaitu,

1. Apabila Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dititipi sesuatu niscaya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjaga dan memeliharanya. Oleh karena itu, bila seorang ingin bepergian jauh, maka kita (dianjurkan untuk) mengatakan kepadanya,

أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanatmu, dan penutup amalmu.”  (HR. Abu Dawud, no. 2602).

Ini termasuk perkara yang hendaknya kita hidupkan di tengah-tengah kehidupan kita. Ini merupakan bagian dari sunah Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Namun disayangkan, hampir-hampir saja sunah Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ini tidak diketahui oleh mayoritas kaum Muslimin.

Dan, orang yang hendak bepergian tersebut hendaknya mengatakan kepada kita, orang yang akan ditinggal pergi olehnya,

أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ الَّذِي لَا تَضِيْعُ وَدَائِعُهُ

“Aku titipkan engkau kepada Allah Dzat yang titipan-titipan-Nya tidak akan tersia-siakan.” (HR. Ibnu Majah, no. 2825).

Ini perkara yang hendaknya kita mengerti, mempraktekkannya dan membiasakannya di antara kita. Seorang mendoakan untuk saudaranya agar menjadi ‘titipan’ di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang akan dijaga dan dipelihara-Nya, terkait ‘agamanya, amanatnya, badannya, dan hartanya’, karena sesungguhnya bila Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dititipi sesuatu niscaya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjaga dan memeliharanya. Karena itu,  hendaknya kita berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menitipkan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- anak-anak kita, keluarga kita, saudara-saudara kita, dan siapa saja orang-orang yang berpamitan untuk melakukan perjalan jauh, baik di bandara, stasiun, terminal, dan lain sebagainya.

2. Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengijabah doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang berdoa. Dan, bahwasanya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak menolak permintaan orang yang meminta kepada-Nya dengan penuh kejujuran, rendah hati dan suara yang lirih. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah: 186).

Maka, selayaknya seseorang apabila tertimpa musibah mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada Rabbnya, dengan penuh kerendahan hati, hendaknya memohon kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan penuh keyakinan akan diijabah, berdoa kepada-Nya dengan jujur dan sungguh-sungguh. Setiap kali engkau jujur dan bersungguh-sunggah dalam berdoa yang engkau panjatkan, merendahkan hati, niscaya pengijabahan doa yang engkau panjatkan tersebut semakin dekat. Yang menjadi masalah adalah kita berdoa sementara kita tidak yakin, kita berdoa sementara kita dalam keraguan apakah doa yang kita mohonkan kepada Rabb kita akan diijabah ataukah tidak. Seorang yang berdoa haruslah yakin akan diijabah. Yakin bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mendengar doanya dan akan memberikan pengijabahan kepadanya, Dialah Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Dzat yang mengatur segala urusan dan menentukan dan menetapkan takdir-takdir.

3. Bahwa sebagian manusia memiliki hati yang lebih keras daripada batu. Di dalam hatinya tersebut terdapat kezaliman yang andaikan dibagikan kepada segenap penduduk suatu negeri niscaya mencukupinya. Hal ini-pada umumnya- datang karena kelemahan iman mereka kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan hari Akhir, kecondongan mereka terhadap dunia dan tertipunya mereka dengan kehidupan dunia, sangkaan mereka bahwa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak akan menghisab mereka atas apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang mereka zalimi, dan kelalaian mereka terhadap doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang terzalimi, bahwa orang yang terzalimi itu memiliki doa yang tak akan tertolak, bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengatakan kepada orang yang terzalimi bila ia berdoa,

وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكَ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ

“Demi keperkasaan-Ku, Aku pasti akan menolongmu walau setelah lewat beberapa waktu.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2526).

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan kepada Mu’adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman,

إِنَّكَ تَأْتِى قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ. فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok manusia dari kalangan ahli kitab. Maka, serulah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Lalu, jika mereka menaati(mu) untuk hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka untuk mengerjakan shalat lima waktu dalam sehari semalam.  Lalu, jika mereka menaati(mu) untuk hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka. Lalu, jika mereka telah menaati(mu) untuk hal itu, maka janganlah kalian mengambil (zakat itu dari) harta mereka yang terbaik.(yakni, janganlah engkau mengambil zakat dari harta mereka yang terbaik, tetapi ambillah dari pertengahannya, bukan yang terbaik, bukan pula yang terendah). Dan, takutlah terhadap doa yang dipanjatkan oleh orang yang terzalimi, karena antara doa tersebut dan Allah tidak ada penghalang.” (HR. Muslim, no. 19).

فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ

“Maka janganlah kalian mengambil (zakat itu dari) harta mereka yang terbaik. Dan, takutlah terhadap doa yang dipanjatkan oleh orang yang terzalim.”   

Ketika Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– melarang Mu’adz mengambil zakat dari harta mereka yang terbaik, hal tersebut menunjukkan bahwa mengambil zakat dari harta mereka yang terbaik tanpa ada kerelaan dari pemiliknya merupakan kezaliman.

Apa yang dikatakan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– setelah itu?

Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Dan, takutlah terhadap doa yang dipanjatkan oleh orang yang terzalimi, karena antara doa tersebut dan Allah tidak ada penghalang.”

Orang yang terzalimi ini boleh jadi seorang kafir dan diijabah doanya. Lalu, bagaimana halnya bilamana orang yang terzalimi itu adalah seorang Muslim?!’

Sebagian orang, yang terus saja melakukan kezaliman (terhadap orang lain) sementara belum juga mendapatkan hukuman, sama sekali tidak mempedulikan lamanya tindak kezaliman yang dilakukannya selama-lamanya. Ia zalim terhadap istrinya atau terhadap anak-anaknya, atau terhadap karyawannya, atau terhadap orang yang berada di bawah kekuasaannya, ia tidak peduli dengan kezaliman yang dilakukannya terhadap mereka. Dan ia tidak tahu bahwa orang yang dizaliminya tersebut siang-malam mengatakan,

حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

Cukuplah Allah bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.” (HR. Abu Dawud, no. 3629).

Dan inilah dia salah satu rahasia hukuman yang datang secara tiba-tiba, yang akan mematahkan punggung, yang tidak akan menyisakan dan tidak membiarkan. Doa yang dipanjatkan oleh orang yang terzalimi di tengah kegelapan malam yang dilalaikan oleh orang yang berbuat zalim sementara orang yang terzalimi tidak melalaikannya.

Hati-hatilah Anda, wahai hamba Allah! janganlah engkau coba-coba untuk berbuat zalim terhadap orang lain. Periksalah orang-orang yang engkau diberi kekuasaan atas mereka. Apakah engkau menunda-nunda hak-haknya? Apakah engkau menzaliminya dalam suatu hal meski sedikit? Janganlah engkau meremehkan perkara ini, karena Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– ketika berhaji wada’, tidaklah beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– mengulang-ulang suatu pernyataan seperti ucapannya,

اِعْلَمُوْا أَنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا وَكَحُرْمَةِ شَهْرِكُمْ هَذَا وَكَحُرْمَةِ بَلَدِكُمْ هَذَا

“Ketahuilah oleh kalian bahwa darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti keharaman hari kalian ini, seperti keharaman bulan kalian ini, dan seperti keharaman negeri kalian ini…”  (HR. an-Nasai, no. 3988).

اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ

“Ya Allah! Saksikanlah. Ya Allah! Saksikanlah.” (HR. Abu Dawud, no. 1907).

Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– seraya mengacungkan telunjuk jarinya ke langit, lalu beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– mengarahkannya ke bawah.

Karena itu, hati-hatilah Anda wahai hamba-hamba Allah dari tindakan kezaliman terhadap orang lain! Karena sesungguhnya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-mengharamkan tindak kezaliman atas diri-Nya sendiri dan menjadikan kezaliman itu haram dilakukan di antara para hamba-hamba-Nya, maka, janganlah kalian saling menzalimi satu sama lainnya.

Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad beserta keluarganya, sebagaimana Engkau telah mencurahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia. Berkahilah Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia.

Ya, Allah! binasakanlah orang-orang yang zalim lagi kafir, dari kalangan orang-orang yang melampaui batas.

Ya Allah! angkatlah kezaliman dari orang-orang yang dizalimi.

Ya, Allah! Kami titipkan diri-diri kami, keluarga kami, saudara-saudara kami kaum Muslimin kepada-Mu.

Ya Allah! Kami titipkan mereka kepada-Mu, maka jagalah mereka dari setiap kejelekan, bala, keburukan, dan fitnah, wahai Dzat yang Maha Penyayang dari semua penyayang. Amin. Wallahu A’lam. (Redaksi) 

 

Sumber:

Khuthbah Jum’at dengan judul ‘Innallaha Idza Istauda’a Syai-an Hafizhahu’, Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Aziz al-Khudhairi-حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى-.