Abu Dzar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- meriwayatkan dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang beliau riwayatkan dari Allah – تَبَارَكَ وَتَعَالَىbahwa Dia berfirman,  

يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّى فَتَضُرُّونِى وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِى فَتَنْفَعُونِى

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ

يَا عِبَادِى إِنَّمَا هِىَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh, Aku telah mengharamkan kezaliman bagi diriKu dan Kujadikan ia diharamkan bagi kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi satu sama lain.

Wahai hamba-hambaKu! Masing-masing kalian tersesat kecuali yang Kuberi petunjuk, maka mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku memberi kalian petunjuk.

Wahai hamba-hambaKu, masing-masing kalian lapar kecuali yang Kuberi makan, maka mintalah makan kepadaKu, niscaya Aku memberi kalian makan.

Wahai hamba-hambaKu! Masing-masing kalian telanjang kecuali yang Kuberi pakaian, maka mintalah pakaian kepadaKu, niscaya Aku memberi kalian pakaian.

Wahai hamba-hambaKu!, Sungguh, kalian senantiasa melakukan kesalahan pada malam dan siang hari sedangkan Aku mengampuni semua dosa, maka mohonlah ampunan kepadaKu niscaya Aku memberikan ampunan kepada kalian.

Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh, kalian tidak akan dapat membahayakan-Ku juga tidak dapat memberikan manfaat kepada-Ku.

Wahai hamba-hambaKu!, Sekiranya orang pertama hingga terakhir di antara kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, keadaan hati kalian semua seperti hati orang yang paling bertakwa di antara kalian, niscaya hal itu tidak menambah kerajaanKu sedikitpun.

Wahai hamba-hambaKu!, Sekiranya orang pertama hingga terakhir di antara kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, keadaan hati kalian semua seperti hati orang yang paling durhaka di antara kalian, niscaya hal itu tidak mengurangi kerajaanKu sedikitpun.

Wahai hamba-hambaKu !, Sekiranya orang pertama hingga terakhir di antara kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, berdiri di sebuah bukit, lalu memohon kepadaKu, lalu Kupenuhi semua permohonan mereka, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada padaKu kecuali seperti jarum yang dicelupkan ke laut.  

Wahai hamba-hamba-Ku!, Sungguh, perbuatan kalian akan Kuperhitungkan, kemudian Aku memberi kalian balasannya. Barang siapa mendapat kebaikan hendaklah memuji Allah dan barang siapa mendapat selain itu maka jangan sekali-kali mencela selain dirinya.” (HR. Muslim 2577 dan Tirmidzi 2497).

 

Firman-Nya,

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ

“Wahai hamba-hamba-Ku, masing-masing kalian lapar kecuali yang Kuberi makan, maka mintalah makan kepadaKu, niscaya Aku memberi kalian makan.”

 يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu! Masing-masing kalian telanjang kecuali yang Kuberi pakaian, maka mintalah pakaian kepadaKu, niscaya Aku memberi kalian pakaian.”

 Ini menunjukkan dua prinsip yang agung; Pertama, kewajiban bertawakkal kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dalam urusan rizki, mencakup hal yang mendatangkan manfaat seperti makanan dan mencegah madharat seperti pakaian. Kedua, tidak ada yang memiliki kemampuan mutlak memberi makan dan pakaian selain Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, sedangkan kemampuan yang dimiliki sebagian orang terbatas pada melakukan beberapa sebab untuk mewujudkan hal itu.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian mereka dengan cara yang ma’ruf. (QS. Al-Baqarah: 233).

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ 

“Janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu).(QS. An-Nisa: 5).

Yang diperintahkan di sini adalah yang mampu dilakukan hamba. Begitu pula yang diperintahkan dalam firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-:

أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ . يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ . أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ

“Atau memberi makan pada hari kelaparan. (Kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau orang miskin yang sangat fakir.” (al-Balad: 14-16).

وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَر 

“Berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (al-Hajj: 36).

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِير

“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (al-Hajj: 28).

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ أَطْعَمَهُ   

“Apabila dikatakan kepada mereka,’Infakkan sebagian rizki yang diberikan Allah kepadamu. Orang-orang kafir itu berkata kepada orang-orang beriman, Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan.” (Qs. Yasin: 47).

Di sini, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mencela siapa saja yang meninggalkan perintah karena mengandalkan jalannya takdir semata. Dari sini bisa diketahui bahwa sebab-sebab yang diperintahkan atau yang mubah tidak bertentangan dengan kewajiban bertawakal kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- ketika ada sebab. Sebaliknya, kebutuhan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tetap ada sekalipun sebabnya telah dilakukan. Karena tidak ada satu makhluk pun yang bisa menjadi sebab sempurna dalam mewujudkan tujuan. Karena itu, berbagai peristiwa yang terjadi tidak mesti seiring dengan hal yang dijadikan sebagai sebab kecuali dengan kehendak Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Karena apa yang dikehendaki Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pasti tidak terjadi. Barang siapa yang mengandalkan sebab sehingga merasa tidak membutuhkan tawakal, berarti telah meninggalkan apa yang diwajibkan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepadanya yaitu bertawakal, yang berarti ia telah merusak kesempurnaan tauhid.

Karena itu, orang yang mengandalkan sebab semacam itu akan dikecewakan. Siapa saja yang mengharapkan kemenangan dan rizki dari selain Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, niscaya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- akan menjadikannya kecewa.

Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-:

لَا يَرْجُوَنَّ عَبْدٌ إِلَّا رَبَّهُ وَلَا يَخَافَنَّ إِلَّا ذَنْبَهُ

“Janganlah sekali-kali seorang hamba berharap kecuali kepada Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia takut kecuali kepada dosanya.”

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم  

Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya, maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Fathir: 2).

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ

Jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya … (Yunus: 107).

قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Maka terangkan kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan mudharat kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan mudharat itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya? Katakanlah,’Cukuplah Allah bagiku.’ Kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az-Zumar: 38).

Demikian pula, orang yang bertawakal seraya meninggalkan sebab yang diperintahkan, berarti ia bodoh, zalim dan bermaksiat kepada Allah          -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- karena meninggalkan perintah-Nya, sebab melaksanakan perintah merupakan ibadah kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ 

“Maka beribadah dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123).

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5).

قُلْ هُوَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ

Katakanlah, Dia Rabbku, tidak ada ilah (sesembahan yang hak) selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat.” (QS. Ar-Ra’d : 30).

 عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syura: 10).

رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Orang yang melaksanakan perintahNya tapi meninggalkan tawakal yang juga perintahNya, tidak lebih besar dosanya dibandingkan dengan orang yang bertawakal tetapi meninggalkan sebab yang juga diperintahkan kepadanya. Keduanya mengurangi apa yang diwajibkan kepadanya, selain sama dalam hal jenis dosa, bisa jadi salah satunya lebih tercela. Namun, sebenarnya bertawakal juga merupakan salah satu sebab.

Abu Dawud telah meriwayatkan dalam sunannya, “Sesungguhnya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah memutuskan perselisihan yang terjadi antara dua orang, maka orang yang dikalahkan dalam keputusan itu berkata,

حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

“Cukuplah Allah bagiku dan Dia sebaik-baik tempat berserah diri.”

Maka, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَلُومُ عَلَى الْعَجْزِ وَلَكِنْ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ فَإِذَا غَلَبَكَ أَمْرٌ فَقُلْ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Sesungguhnya Allah mencela sikap lemah, tetapi hendaklah engkau menjadi orang cerdas, jika suatu urusan tidak mampu kau upayakan, barulah ucapkan: حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (Cukuplah Allah bagiku dan Dia sebaik-baik tempat berserah diri).”

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Orang mukmin kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin lemah, dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan Allah. Jangan bersikap lemah! Jika suatu musibah menimpamu, janganlah mengatakan, ‘Andaikata dulu aku melakukan begini, tentu terjadi begini’, tetapi katakanlah, ‘Sudah menjadi ketentuan  Allah, apa yang Dia kehendaki niscaya terjadi‘, karena ‘andaikata’ itu membuka pintu setan.”

Dalam sabda beliau – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan Allah. Jangan bersikap lemah!.”

Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan untuk mengupayakan sebab yang diperintahkan, yaitu bersemangat dalam upaya meraih hal yang bermanfaat. Sekalipun demikian, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga memerintahkan bertawakal, yaitu memohon pertolongan Allahسُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Barang siapa mengandalkan salah satu dari keduanya, berarti ia telah bermaksiat dalam salah satu perintah itu. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga melarang bersikap lemah yang merupakan kebalikan dari sikap cerdas. Sebagaimana beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda dalam hadits lain,

إِنَّ اللهَ يَلُوْمُ عَنِ الْعَجْزِ وَلَكِنْ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ

Sesungguhnya Allah mencela sikap lemah, tetapi hendaklah kamu bersikap cerdas.

اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ . وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَ تَمَنَّى عَلَى اللهِ

Orang cerdas adalah yang mengevaluasi dirinya dan berbuat apa yang akan dihadapi sesudah mati, sedangkan orang lemah adalah yang membiarkan dirinya menuruti hawa nafsunya, seraya mengangankan banyak hal kepada Allah.

Jadi ‘ajiz (orang lemah), menurut hadits tersebut, kebalikan dari kayyis (orang cerdas).

Adapun orang yang mengartikan ‘ajiz sebagai kebalikan dari barr (orang berbakti), berarti telah menyimpangkan makna hadits dan tidak memahami maknanya. Di antaranya hadits berikut:

كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزُ وَالْكَيِّسُ

“Segala sesuatu dengan takdir, termasuk sikap lemah maupun sikap cerdas.”

Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya, dari Ibnu Abbas, ia berkata,

“Dulu para penduduk Yaman biasa berhaji tanpa membawa perbekalan. Mereka mengatakan, ‘Kami bertawakal.’ Begitu datang, mereka meminta-minta kepada orang-orang. Maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197).

Barang siapa yang melaksanakan perintah untuk berbekal, menggunakan bekalnya dalam ketaatan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan mendermakan sebagian kepada orang yang membutuhkan, berarti ia telah mentaati Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dalam kedua persoalan ini. Berbeda dengan orang yang meninggalkan perintah itu karena mengharap pemberian dari jama’ah haji yang lain. Jika orang yang berbekal tidak bertawakal kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan tidak membantu orang yang membutuhkan, di mana kedua hal itu merupakan kewajibannya, tindakannya meninggalkan perintah ini bisa jadi sama dengan tindakan orang yang tidak melaksanakan perintah berbekal. Nash-nash ini menjelaskan kesalahan beberapa kelompok.

Ada satu kelompok yang melemahkan masalah mengupayakan sebab yang diperintahkan. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mengurangi atau menyebabkan cacat dalam tauhid dan tawakal, serta beranggapan bahwa meninggalkan sebab merupakan salah satu wujud kesempurnaan tawakal dan tauhid. Mereka keliru dalam memandang persoalan ini. Kadang kekeliruan itu disertai dengan tindakan memperturutkan hawa nafsu sehingga membuat dirinya merasa nyaman dengan pengangguran.

Karena itu, Anda mendapati meyoritas orang yang meninggalkan perintah “pengupayaan sebab” ini menggantungkan diri kepada sebab lain yang lebih rendah dari itu. Mereka mungkin menggantungkan hati kepada orang lain dengan penuh rasa harap dan takut atau sikap berlebihan mereka dalam tawakal membuat mereka meninggalkan amalan-amalan wajib dan sunnah yang lebih bermanfaat, misalnya bertawakal atas kesembuhan penyakit tetapi tidak mengupayakan obat atau tentang perolehan rezeki tanpa bekerja meski terkadang hal itu berhasil diperolehnya.

Tetapi sebenarnya usaha pengobatan dan amal shalih lebih bermanfaat baginya, bahkan bisa jadi lebih wajib daripada mengonsentrasikan diri dalam persoalan kecil yang nilainya hanya satu dirham atau semacamnya ini.

Yang lebih parah dari mereka adalah orang yang menyangka bahwa tawakal dan doa juga hanya berlaku bagi orang istimewa, karena mereka menganggap bahwa orang-orang istimewa adalah yang menerima takdir apa saja yang terjadi padanya. Sedangkan dalam hadits qudsi ini Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ

“Masing-masing kalian lapar kecuali yang Kuberi makan, maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian makan.”

 Dan,

فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ

“Mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku memberi kalian pakaian.”

 

Wallahu A’lam. (Redaksi).

Sumber:

Majmu’ur Rasailil Muniriyah, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Abdulhalim bin Taimiyah, Juz 3, hal.205.