Kedua: Koreksi peran kedua tangan

Di antaranya:

Dalam sifat (cara) mengangkatnya[1]: Telah disebutkan pada bab terdahulu sifat (cara) mengangkat kedua tangan yang dibenarkan syari`at. Orang yang memperhatikan keadaan dan sikap orang-orang yang berdo`a akan melihat bentuk keanehan berkaitan dengan cara mengangkat kedua tangan ini, di antaranya:

1. Mengangkat kedua tangan sangat rendah dalam keadaan renggang atau saling bertautan sampai di bawah pusar atau setinggi pusar.

2. Mengangkat kedua tangan dalam keadaan renggang, dengan ujung jari-jari menghadap ke arah kiblat, sedang kedua ibu jari menghadap ke arah langit.

3. Membolak-balik kedua tangan menghadap ke berbagai arah sewaktu berdo`a.

4. Menggoyang-goyangkan kedua tangan serta menggerak-gerakannya.

5. Mengusap muka dengan kedua tangan sehabis mengangkatnya di waktu qunut witir atau qunut nazilah di dalam shalat.

6. Mengusap dada dan kedua pundak dengan kedua tangan setelah selesai berdo`a[2], atau setelah menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bershalawat kepadanya, dan ditambah lagi dengan mengusap seluruh badan khususnya setelah bacaan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diberi nama dengan‘Shalawat al-Kamaliyah’ (Allâhumma shalli shalâtan kâmilatan).

7. Mempertautkan kedua telapak tangan (baca: saling menutupi), atau mengusapkan salah satu tangan ke tangan lainnya setelah selesai berdo`a.

8. Mengecup kedua ibu jari dan meletakkannya ke mata sewaktu menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu adzan dan yang lainnya.[3]

9. Khatib dan makmum mengangkat tangan pada hari Jum’at sewaktu berdo`a di dalam khutbah.

Terdapat hadîts yang menyatakan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan sewaktu berdo`a memohon hujan (istisqa) di dalam khutbah Jum’at, dan hal itu diikuti oleh para sahabat, lalu setelah itu beliau tidak mengulanginya. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan bagi khatib dan makmum untuk mengangkat kedua tangan pada keadaan ini saja. Adapun seandainya khatib berdo`a di dalam khutbah Jum’at bukan untuk memohon hujan (istisqa), maka dimakruhkan baginya dan bagi makmum untuk mengangkat tangan sewaktu berdo`a. Maka dari itu, perhatikanlah ini baik-baik!

10. Mengangkat tangan untuk berdo`a di antara iqamat dan takbiratul-ihram[4]: Di antara bid’ah yang dimunculkan adalah bahwa imam berdo`a di antara iqamat dan takbiratul-ihram, sedang makmum mengamini do`anya sambil mengangkat tangan sewaktu berdo`a. Yang demikian ini adalah bid’ah.

Adapun seseorang yang berdo`a pada waktu antara adzan dan iqamat itu memang dianjurkan dan tempat terkabulnya do`a, sebagaimana terdapat hadîts yang menjelaskan hal itu. Dan imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah telah mengangkat kedua tangannya dan berdo`a, namun saya tidak tahu sandaran beliau dalam mengangkat tangan ini, maka sebaiknya diteliti kebenarannya[5].

11. Mengangkat kedua tangan untuk berdo`a secara berjamaah atau masing-masing dengan dirinya sendiri setelah shalat fardhu. Cara semacam ini sudah banyak mengundang perdebatan yang panjang dan menyimpulkan, bahwa orang yang berpendapat disyariatkan-nya mengangkat kedua tangan pada saat berdo`a sesudah shalat, dia tidak mempunyai dalil. Maka, nyatalah bahwasanya perbuatan ini hukumnya bid’ah. Akan tetapi, penjelasan mengenai meng-angkat kedua tangan di dalam dzikir dan do`a setelah shalat ini akan dibicarakan nanti.

12. Mengangkat tangan setelah sujud tilawah[6]:
Mengangkat kedua tangan untuk berdo`a setelah bangkit (bangun) dari sujud tilawah dan berdo`a merupakan amalan baru yang dimunculkan dan tidak mempunyai dasar, dan merupakan bentuk bid’ah.

13. Mengangkat tangan sewaktu melihat bulan sabit[7]: Menghadap ke arah bulan sabit dan mengangkat tangan untuk berdo`a adalah dua bentuk bid’ah. Sebab yang disunnahkan adalah menghadap kiblat sewaktu berdo`a. Sedangkan mengangkat tangan sewaktu melihat bulan sabit tidak mempunyai dasar.

14. Mengangkat tangan atau menggenggamnya dalam bentuk seperti dalam keadaan shalat atau duduk seperti duduk tasyahhud sewaktu memberi salam kepada Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua sahabatnya[8] (Abu Bakar dan Umar) adalah bid’ah.

Ini semua adalah bid`ah-bid`ah, yaitu bid`ah menghadap saat berdo`a, mengangkat tangan, dan duduk untuk berdo`a ke selain arah yang disyariatkan, yaitu kiblatnya shalat, ini merupakan pengabaian terhadap cara memberi salam yang disyariatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta kedua sahabatnya.

15. Meletakkan tangan kanan di atas kepala setelah salam dari shalat, lalu berdo`a. Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah hadîts marfu’ dari Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu yang tidak kuat (tidak shahih).[9]

16. Mengepalkan jari-jari tangan kanan dan menempelkannya pada mata sebelah kanan, dan begitu pula tangan kiri untuk mata sebelah kiri, serta menggerutu sewaktu membaca al-Qur’an dan do`a.[10]

17. Menelunjuk dengan kedua jari telunjuk. Memang terdapat hadîts dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjumpai seseorang yang berdo`a, sedangkan dia menunjuk dengan kedua jari telunjuknya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Satu jari sajalah, satu jari sajalah.” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim, lalu al-Hakim menshahihkannya).[11]

Ketiga: Koreksi cara pelaksanaannya

Pada bagian ini terdapat fenomena dzikir dengan tenggorokan, suara gemuruh dada, dan tanpa mengeluarkan huruf dari makhrajnya. Dan hal ini adalah mu`jizat yang tidak akan diketahui, dalam pengakuan kaum tarekat, kecuali oleh orang yang telah mencapai tingkat ma`rifat. Kami berlindung kepada Allah ta’ala dari bentuk pengaburan (talbis) semacam ini.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]
________________________________________
[1] As-Sunan wa al-Mubtada’at, hal. 62, 64; al-Masjid fi al-Islam, hal. 309; dan al-Fatâwâ, karya al-’Izz bin Abdussalam, hal. 47.

[2] Lihat at-Tahqiq, karya an-Nawawi, hal. 221; Mughni al-Muhtaj, (1/167); al-Fath ar-Rabbani, karya as-Sa’ati, (3/315-316); sebagaimana terdapat di dalam kitabMisku al-Khitam, hal. 121.

[3] As-Sunan wa al-Mubtada’at, hal. 49; Fiqh as-Sunnah, (1/103); Kasyf al-Khafa, (2/206); as-Silsilah adh-Dha’ifah, no. 73; al-Maqashid al-Hasanah, hal. 384; dan al-Majmu’ah, karya asy-Syaukani, hal. 20, dan al-Mu’allimi mempunyai komentar yang sangat penting.

[4] Al-Masjid fi al-Islam, hal. 297.

[5] Syarh al-‘Umdah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 126-127; Kitab ash-Shalat. Lihat: Fath al-Bari, karya Ibnu Rajab, (5/258); dan Tuhfat al-Abrar, karya as-Suyuthi.

[6] Al-Bida’ wa an-Nahyu ‘Anha, hal. 17.

[7] Al-Kalim ath-Thayyib, hal. 91, komentar dari Muhaqqiq; dan al-Ibda’, hal. 303.

[8] Ahkam al-Janaiz, hal. 259.

[9] As-Sunan wa al-Mubtada’at, hal. 71.

[10] Al-Ibda’, hal. 316-317, 320.

[11] Syarh al-Ihya`, (5/34).