: Dzikir berjamaah (bersama-sama)

Telah disebutkan terdahulu sebuah riwayat dari Umar radhiyallahu ‘anhu berkaitan dengan dalil-dalil pelurusan, dan untuk diketahui, bahwasanya fenomena semacam ini telah menyusup ke dalam dzikir dan do`a pada kebanyakan tempat-tempat dzikir dan do`a yang ada pada berbagai ibadah yang mutlak, terikat (muqayyad), dan dalam wirid-wirid yang rutin (aurâd râtibah), juga di dalam dzikir dan do`a setelah shalat-shalat fardhu, tempat-tempat ibadah haji beserta syi’ar-syi’arnya seperti talbiyah, di dalam bertakbir pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan pada tempat-tempat lain dari apa yang bisa anda ketahui nanti yang akan dijelaskan pada tempatnya yang sesuai dengan babnya masing-masing.

Untuk diketahui pula di sini, bahwa kaidah berkaitan dengan fenomena ini yang disertai dengan hukumnya, adalah bahwa dzikir berjamaah dengan satu suara rahasia (tidak nyaring) maupun keras (jahr), untuk mengulang-ulangi bacaan dzikir tertentu yang wârid (ada sumber riwayatnya) maupun yang bukan wârid, ataupun yang bersumber dari semuanya, ataupun yang mereka pelajari dari salah seorang dari mereka, dengan mengangkat tangan atau tanpa mengangkat tangan, semua itu adalah bentuk perbuatan yang mem-butuhkan landasan hukum syar’i baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, karena ia termasuk dalam wilayah ibadah. Sedangkan prinsip ibadah itu ialah tauqifiyah (menurut petunjuk wahyu) dan ittibâ’ (mengikuti sunnah Nabi radhiyallahu ‘anhu), bukan atas dasar sesuatu yang diciptakan dan dimunculkan. Oleh karena itu, kita telah melihat dan mempelajari dalil-dalil tentang hal itu dari al-Qur’an dan as-Sunnah, namun kita tidak menemukan satu pun dalil yang menyatakan bentuk dzikir semacam itu. Maka, terbuktilah bahwa dzikir semacam itu tidak mempunyai landasan di dalam syariat Islam. Dan sesuatu yang tidak punya landasan di dalam syariat maka hukumnya adalah bid’ah. Jadi, dzikir dan do`a secara berjamaah adalah bid’ah, yang wajib bagi seorang muslim yang selalu meneladani Rasulullah radhiyallahu ‘anhu untuk meninggalkan dan menjauhinya, dan sebaliknya dia berkomitmen dengan dzikir dan do`a yang masyru’ (diajarkan oleh syari`at Islam).

Atas dasar inilah, maka do`a secara berjamaah dengan satu suara, baik itu do`a yang mutlak maupun do`a yang ditentukan, se-perti do`a setelah membaca al-Qur’an, setelah menyampaikan nasihat (mau’idhah) dan pelajaran, setelah penguburan mayit, di dalam majlis perkumpulan, acara-acara pesta, sewaktu membagikan sedekah di dalam masjid, di dalam majlis ilmu, di rumah, dan lain sebagainya, semua itu adalah bid’ah.

Begitu pula, dzikir secara berjamaah dengan satu suara, baik itu dzikir kepada Allah yang bersifat mutlak maupun yang disusun (murattab) dengan salah satu nama-nama Allah ta’ala, seperti mengulang-ulang lafazh ‘AllâhAllâh’, atau ‘al-Lathîf, al-Lathîf’, atau ‘Ya Lathîf, Ya Lathîf’, atau salah seorang mengucapkan: ‘Allah’, dan yang lainnya mengucapkan:‘Subhânallâh’, dan yang lainnya lagi mengucapkan: ‘Alhamdulillâh’, serta berbagai macam dan cara dzikir lainnya, baik dilakukan secara rutin maupun spontanitas, dengan dalih untuk menyucikan jiwa, menampakkan dzikir dan lain sebagainya…. Kesemuanya itu adalah bid’ah yang menyelisihi bentuk dzikir yang masyru’ yang telah diajarkan oleh Nabi a kepada umatnya.

Dan terkadang bersamaan dengan bid’ah ini (dzikir secara berjamaah) muncul bid’ah-bid’ah lainnya, seperti menetapkan dzikir tersebut pada waktu tertentu (siang atau malam), pada suatu hari, minggu, bulan dan tahun tertentu, atau pada suatu keadaan dan tempat tertentu.

Juga, menggoyang-goyangkan kepala pada waktu berdo`a, sujud setelah dzikir, membaca al-Fatihah bagi orang yang hidup dan yang sudah mati atau membacakan Surah lainnya setelah dzikir, atau shalawat Ibrahimiyyah, dan mengakhiri dengan bacaan:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ. وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

(Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam) secara rutin setelah dzikir.

Kesemua hal tersebut adalah bid’ah yang tidak pernah direstui oleh Allah ta’ala, dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , dan juga para generasi salafus salih dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhu beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’in).

Kalaulah dzikir berjamaah itu tidak disyariatkan, maka demikian pula berdzikir dengan dhamir (kata ganti), seperti mengucapkan: ‘Huwa, Huwa’ (Dia, Dia), atau ‘Ya Huwa, Ya Huwa’ (Wahai Dia, Wahai Dia), maka dzikir seperti ini adalah dzikir bid’ah yang dilakukan dengan cara bid’ah pula. Wallahu a’lam.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]