aqidah aswajaAhlus Sunnah dalam beragama khususnya akidah memegang beberapa prinsip yang menjadi ciri khas manhaj mereka:

Sumber Tunggal

Mereka hanya menimba agama dari cahaya nubuwah, bukan akal, bukan perasaan, bukan mimpi, bila semua itu shahih maka ia hanya penunjang, bila tidak maka tak patut diadu dengan petunjuk al-Qur`an dan sunnah, padahal realita berkata bahwa kebanyakan darinya hanyalah kebodohan dan kegelapan.

Rasulullah tidak menolerir Umar bin al-Khatthab saat dia melihat lembaran Taurat, padahal ia adalah kitab Allah yang diturunkan, walaupun mengalami penyimpangan dan penyelewengan, namun ia tetap merupakan wahyu Allah dan lebih utama daripada analogi akal dan khayalan orang-orang sufi.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Tsabit, dia berkata, Umar bin al-Khatthab datang kepada Rasulullah, dia berkata, “Rasulullah, aku mampir di saudaraku seorang laki-laki Bani Quraizhah, dia menulis untukku inti-inti dari Taurat, bersediakah engkau mendengarnya dariku?” Maka wajah Rasulullah berubah. Abdullah berkata, maka aku berkata kepada Umar, “Tidakkah kami memperhatikan wajah Rasulullah?” Maka Umar berkata, “Kami rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai utusan.” Maka wajah Rasulullah berubah bahagia. Kemudian beliau menjawab, “Demi Allah yang jiwaku di tanganNya, seandainya Musa ada di antara kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkanku niscaya kalian akan tersesat. Sesungguhnya kalian dalam jatahku dari umat-umat dan aku adalah jatah kalian dari pada nabi.” Diriwayatkan oleh Ahmad, az-Haetsami berkata dalam Majma’ az-Zawaid 1/73, “Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani, rawi-rawinya adalah rawi-rawi ash-Shahih, hanya saja dalam sanad ada Jabir al-Ju’fi, dhaif.”

Dalam sebuah riwayat, “Wahai Ibnul Khatthab, betapa ngawurnya dirimu. Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku telah datang membawanya kepada kalian dalam keadaan putih bersih. Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Musa masih hidup niscaya dia tidak bisa tidak kecuali mengikutiku.” Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi dan Ibnu Abu Ashim dalam as-Sunnah hadits 50, pentahqiqnya berkata, “Hadits hasan, rawi-rawinya tsiqat selain Mujalid bin Saad, dhaif, tetapi hadits ini memiliki banyak jalan periwayatan…”

Musa dengan asumsi masih hidup di zaman diutusnya Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam, tak seorang pun boleh mengikuti Musa dan meninggalkan Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam, bahkan untuk Musa sendiri, tak patut baginya kecuali mengikuti Muhammad. Lalu bagaimana akidah agama bisa ditimba dari akal, perasaan dan mimpi?

Ibnu Abdul Bar berkata, “Tak ada lahan di bidang akidah, nama-nama dan sifat-sifat Allah kecuali apa yang hadir tercantum di dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah atau disepakati oleh umat.”

Tauqifiyah

Berserah diri di hadapan nash-nash al-Qur`an dan sunnah, tidak menolak sebagian darinya, tidak menentangnya dengan apa pun, tidak akal, tidak perasaan, tidak mimpi, tidak adat kebiasaan, tidak warisan leluhur, sebaliknya berhenti di mana dalil-dalil berdiri padanya, tidak melanggarnya kepada selainnya, berpegang kepada firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan RasulNya…” Al-Hujurat: 1.

Ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata, “Abdullah, apa yang Allah ajarkan kepadamu dari kitabNya maka pujilah Allah atasnya, apa yang Allah simpan darimu maka serahkanlah kepada yang mengetahuinya, tak usah memaksakan diri, karena Allah berfirman kepada NabiNya, ‘Katakanlah, aku tidak menuntut upah darimu dan aku bukan termasuk orang-orang yang memaksakan diri’.

Al-Auza’i berkata, “Makhul dan az-Zuhri berkata, ‘Biarkanlah hadits-hadits ini sebagaimana ia hadir dan tak usah memperdebatkannya.” Maksudnya hadits-hadits sifat Allah.

Berbeda dengan Ahlus Sunnah, mereka meletakkan kaidah-kaidah lalu dalil-dalil al-Qur`an dan sunnah ditimbang dengannya, bila dalil sesuai dengan kaidah mereka, maka dalil diterima sebagai penyanggah bukan sebagai dalil, bila bertentangan maka mereka menolaknya dengan menyatakannya dhaif bila ia hadits atau dengan menakwilkannya, atau tidak menggugatnya tetapi juga tidak berdalil kepadanya, hingga mereka melahirkan ucapan dan pendapat yang setara bahkan melampaui pendapat orang-orang kafir dari orang-orang Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala.

Yunus bin Abdul A’la berkata, aku mendengar asy-Syafi’i berkata sesudah berdiskusi dengan Hafsh al-Fard, “Abu Musa, aku mendengar dari Hafsh kata-kata yang aku tak sanggup mengucapkannya.”

Menjauhi Jadal (Perdebatan) Dalam Agama

Shabigh datang ke Madinah, dia mulai bertanya tentang ayat-ayat mutasyabihat, hal itu didengar oleh Umar bin al-Khatthab, maka Umar mengundangnya, Shabigh datang dan Umar sudah menyiapkan dua pelepah kurma, manakala Shabigh duduk di depan Umar, Umar bertanya, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Hamba Allah Shabigh.” Umar berkata, “Dan aku adalah hamba Allah Umar.” Kemudian Umar mencambuk laki-laki ini dengan pelepah kurma hingga dia berkata, “Cukup wahai Amirul Mukminin, apa yang ada di kepalaku sekarang sudah lenyap.” Asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri, menyebutkan sanad yang shahih dari al-Anbari dalam al-Ishabah 3/458.

Malik bin Anas berkata, “Aku membenci perdebatan dalam agama, penduduk negeri ini juga membencinya dan melarangnya seperti pembicaraan seputar pendapat Jaham dan masalah takdir serta apa yang semisal dengannya, aku hanya menyukai perbincangan dalam masalah yang diamalkan…” Disebutkan oleh Ibnu Abdul Bar dalam Jami’ Bayan al-Ilm 2/116.

Ibnu Abdul Bar berkata, “Pendapat Malik diamini oleh banyak kalangan ulama, dahulu dan sekarang dari ahli hadits dan fatwa, yang menyelisihinya adalah ahli bid’ah, Mu’tazilah dan sekte-sekte lainnya. Adapun Ahlus Sunnah maka mereka di atas apa yang diucapkan oleh Malik.” Wallahu a’lam.

Manhajul Istidlal ala Masa`il al-I’tiqad inda Ahlus Sunnah wal Jamaah, Utsman bin Ali Hasan.