Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ (14) وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ (15)

“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, dan meskipun dia mengemukakan alasan-alasan.” {Al-Qiyamah: 14-15}.

Ini adalah salah satu kaidah interaksi dengan jiwa, (At-Tahrir wa at-Tanwir, 29/348: “Dan kalimat ini telah menjadi peribahasa dikarenakan ringkasnya dan maknanya yang luas.”) dan salah satu sarana untuk mengobati dari penyakit-penyakitnya, dan pada waktu yang sama ia adalah tangga untuk menaiki tingkatan-tingkatan penyucian diri, karena Allah Ta’ala telah bersumpah sebanyak sebelas kali dalam surat asy-Syams dengan makna yang agung ini, kemudian Dia berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى

“Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri.” (Al-A’la: 14).

Makna Kaidah Ini Secara Ringkas:

Bahwa manusia, walaupun ia berusaha untuk membela dengan sengit perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataannya yang ia sendiri mengetahui kebatilan dan kesalahannya, dan ia beralasan dengan berbagai alasan dari dirinya, tapi ia sangat mengetahui apa yang dikatakan dan dilakukannya, walaupun ia berusaha menutupi (aib) dirinya di hadapan manusia, atau ia mengeluarkan berbagai alasan, maka tidak ada yang lebih bisa menyaksikan dan mengetahui apa yang ada dalam dirinya kecuali dirinya sendiri, sebagaimana dikatakan kepada manusia dalam sebuah sya’ir, “Engkau adalah hujjah yang melawan dirimu sendiri!”

Di Antara Bentuk-bentuk Aplikasi Kaidah Ini:

Kaidah al-Qur’an ini memiliki banyak medan aplikasi dalam realita hidup kita yang umum maupun khusus. Saya akan sebutkan sebagiannya, mudah-mudahan kita bisa mengambil manfaat darinya untuk meluruskan kesalahan-kesalahan kita dan membetulkan perilaku-perilaku kita yang tidak benar. Di antaranya:

(1) Dalam metode interaksi sebagian orang terhadap nash-nash Syariat:
Mungkin saja suatu nash yang jelas dan muhkam telah sampai kepada sebagian orang, yang mana tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kandungannya yang menunjukkan hukum wajib atau haram, atau dirinya telah merasa tenang dengan suatu hukum tertentu, tetapi walaupun demikian, Anda menemukan sebagian orang merasa keberatan dalam dirinya, dan ia berusaha untuk menemukan cara membela dirinya dari nash yang ini atau itu, karena ia tidak sesuai dengan hawa nafsunya!

Padahal tidak ada gunanya manusia terus berusaha menolak nash-nash dengan hatinya; karena manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, dan seharusnya keadaan orang Mukmin itu adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Rabb kita ‘Azza wa Jalla,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (wahai rasul) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam kitabnya yang menyenangkan, Shaid al-Khathir,
“Maka sesuatu yang paling baik adalah memutus sebab-sebab fitnah, dan meninggalkan perbuatan mencari-cari keringanan dalam sesuatu yang dibolehkan, apabila hal itu mengandung kemungkinan dan mengantarkan kepada sesuatu yang tidak dibolehkan.” (Shaid al-Khathir, hal. 203-282). Demikian ucapan beliau.

(2) Di antara bidang-bidang pengaplikasian kaidah ini, dalam kaitan interaksi jiwa dengan jiwa:

Bahwasanya di antara manusia terdapat orang yang senang mengamati kesalahan-kesalahan dan aib-aib orang lain, dan ia tidak memperhatikan aib-aib dirinya sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Qatadah rahimahullah dalam tafsirnya terhadap ayat ini, بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri”, “Yakni, apabila Anda ingin, demi Allah, Anda dapat melihatnya memperhatikan aib-aib dan dosa-dosa manusia, dan tidak memperhatikan dosa-dosanya sendiri.” (Tafsir ath-Thabari, 24/63.) Dan ini, tanpa diragukan lagi, termasuk di antara tanda-tanda kehinaan, sebagaimana dikatakan oleh Bakr bin Abdullah al-Muzani rahimahullah, “Apabila kalian melihat seseorang yang mengurusi aib-aib manusia, dan melupakan aib dirinya sendiri, maka ketahuilah bahwasanya dia telah terkena tipu daya.”

Dan oleh karena itu, salah seorang salaf berkata, “Kejujuran yang paling bermanfaat adalah engkau mengakui aib-aib dirimu kepada Allah.” (Hilyah al-Auliya’, 9/282).

1) Dan di antara bidang-bidang aplikasi kaidah kedua ini:

Bahwasanya Anda melihat sebagian manusia mendebat dirinya sendiri dalam sebagian tempat, di mana kesalahannya telah terlihat jelas, dengan apa yang diketahuinya dalam ketetapan dirinya bahwa dia tidak sesuai dengan kebenaran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam komentar beliau terhadap ayat ini, بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ (14) وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ (15) “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya,” “Sesungguhnya seseorang mengemukakan alasan dari dirinya dengan berbagai alasan dan mendebat membelanya, padahal dia melihatnya kebalikan dari hal itu.” (Majmu’ al-Fatawa, 14/445).

2) Di antara makna-makna yang ditunjukkan oleh kaidah kedua yang mulia ini:

Seseorang berusaha mencari-cari aib-aib dirinya, dan berusaha untuk berlepas diri darinya sebatas kemampuannya, karena ini merupakan salah satu jenis jihad melawan diri yang terpuji, dan dia tidak cenderung kepada aib-aib dan kesalahan-kesalahan yang ada pada dirinya, dengan alasan bahwa dia tumbuh di atas akhlak ini atau itu, atau dia telah terbiasa dengan hal itu, karena tidak ada seorang pun dari manusia yang lebih mengetahui tentang dirimu, aib-aib, kesalahan-kesalahan, dosa-dosa diri(mu), dan akhlak-akhlak (tercela) yang disembunyikannya, daripada dirimu sendiri.

Terdapat teladan yang bercahaya dari kehidupan Imam Ibnu Hazm rahimahullah, di mana beliau berkata dalam menetapkan makna ini, “Dahulu dalam diriku terdapat beberapa aib, maka aku senantiasa melatih diri dan menelaah apa yang dikatakan oleh para nabi –semoga shalawat Allah tercurah kepada mereka– dan orang-orang yang terhormat dari kalangan orang-orang yang datang belakangan dan para pendahulu, dalam akhlak dan adab-adab diri, aku menderita dalam mengobatinya, sehingga akhirnya Allah Ta’ala menolongku mengalahkan kebanyakan dari hal itu dengan taufik dan anugerahNya, dan kesempurnaan keadilan(Nya), lalu melatih diri, dan bertindak dengan mengungkapkan fakta-fakta ini sebagai pengakuan terhadapnya, agar seorang yang ingin mengambil pelajaran dapat mengambil pelajaran dengan hal itu suatu hari nanti insya Allah.” (Rasa’il Ibnu Hazm, 1/354).

Kemudian Imam Ibnu Hazm rahimahullah memaparkan sejumlah aib yang dahulu terdapat dalam diri beliau, dan bagaimana beliau berusaha untuk mengalahkannya, dan ukuran apa yang berhasil padanya secara total dan apa yang berhasil padanya secara relatif.

3) Di antara segi-segi seorang Mukmin mengambil manfaat dari kaidah kedua ini:

Bahwa manusia selama dia mengetahui bahwa dia lebih mengetahui tentang dirinya sendiri daripada orang lain, maka dia harus bersikap cerdas, karena manusia boleh jadi akan memujinya pada suatu hari tertentu, bahkan terkadang berlebihan dalam hal itu, dan sebaliknya terkadang juga dia mendengar pada suatu hari ada orang yang mengecilkan kedudukannya, atau mengurangi martabatnya dengan suatu jenis kezhaliman dan perbuatan melampaui batas, maka barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya dia tidak akan tertipu oleh (adanya) pujian terhadapnya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, dan dia tidak pula akan merasa terganggu dengan (adanya) celaan terhadap dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, bahkan dia akan mengambil manfaat dari hal itu dengan meluruskan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada dirinya, dan berusaha untuk menyempurnakan dirinya dengan berbagai macam kesempurnaan manusia, sebatas kemampuannya.

Dan Di Antara Bidang-bidang yang Paling Mulia untuk Mengaplikasikan Kaidah Ini:
Bahwa salah satu di antara buah dari pengetahuan tentang diri adalah: manusia diberi taufik untuk mengakui dosa dan kesalahan, dan ini adalah kedudukan para nabi, shiddiqin, dan orang-orang shalih.

Maka renungkanlah perkataan kedua nenek moyang kita, tatkala keduanya telah memakan sesuatu dari pohon (yang terlarang) itu,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (Al-A’raf: 23).

Juga perkataan Nabi Musa ‘alaihissalam, saat sambil menyesal atas pembunuhan beliau terhadap orang Qibthi,

قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Musa berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.’ Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Qashash: 16).

Dalam suatu rangkaian yang akhirnya adalah, apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an tentang kaum munafik yang mengakui dosa-dosa mereka, sehingga mereka selamat dan diterima taubat mereka, Allah Ta’ala berfirman,

وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 102).

“Dengan ini diketahui bahwa barangsiapa yang tidak mengakui dosanya, maka dia termasuk di antara kaum munafik.” (Ash-Sharim al-Maslul, 1/362).

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar Dia membuat kita bisa melihat aib-aib kita, dan menjaga kita dari keburukannya.

Sumber:

50 Prinsip Pokok Ajaran Al-Qur’an, Dr Umar bin Abdullah Al-Muqbil.