mademoticonKetika keinginan dan harapan suami dan istri tidak terakomodir dengan baik, yang satu ingin ke selatan pada saat yang sama yang lain ingin ke utara, dan tidak ada dari keduanya yang bersedia mengalah, maka lahirlah perselisihan. Perselisihan biasanya diikuti dengan kekesalan dan kemarahan karena keinginan dan harapan yang menurutnya baik tidak direspon oleh pasangan, sebaliknya pasangan juga demikian.

Kesal dan marah adalah emosi karena itu pertimbangan nalar pada saat marah cenderung terbenam karena kuatnya sinar pengaruh emosi. Oleh karena itu jika ia tidak terkontrol dan pemiliknya tidak menahan diri maka peluang lahirnya tindakan destruktif terbuka lebar, karena kemarahan cenderung kepada akibat yang umumnya disesali, maka agama Islam memuji orang-orang yang mampu menahan amarahnya.

Firman Allah,

وَالكَاظِمِيْنَ الغَيْظَ وَالعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ المُحْسِنِيْنَ .

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْسَ الشَدِيْدُ بِالصُّرُعَةِ وَلَكِنَّ الشَدِيْدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ .

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang kuat itu bukan dengan bantingannya, akan tetapi orang kuat itu adalah orang yang memiliki dirinya pada saat marah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Bukankah orang yang paling berhak kita menahan amarah di hadapannya adalah orang yang mendampingi kita? Bukankah menahan amarah terhadap pasangan termasuk ke dalam mu’asyarah bil ma’ruf yang diperintahkan oleh agama?

Termasuk menahan diri pada saat perselisihan dengan pasangan adalah mengontrol ucapan, hindari mencaci, menghina, sumpah serapah, kata-kata kasar dan ucapan-ucapan yang tidak layak lainnya di mana ia tidak patut diarahkan kepada orang lain, lebih-lebih kepada pendamping kita, di samping itu kata kasar bisa melukai hati dan apabila hati telah luka maka penyelesaian perselisihan semakin rumit.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم سَبَّابًا، وَلاَ فَحَّاشًا وَلاَ لَعَّانَا .

Dari Anas bin Malik berkata, “Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bukanlah pencaci, bukan pengucap kotor dan bukan pelaknat.” (HR. Al-Bukhari).

Termasuk menahan diri adalah menahan anggota badan dari melakukan perbuatan-perbuatan tercela: memukul, menendang, membuang, membanting dan tindakan-tindakan emosional lainnya karena tindakan-tindakan tersebut merupakan pelanggaran dan tindakan melampui batas yang tidak pada tempatnya yang justru membuka konflik baru.

Rasulullah tidak menyukai laki-laki pemukul, beliau tidak menyarankan Fatimah menerima lamaran Abu Jaham, karena laki-laki ini tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya, alias suka memukul istri.

Ketika sebagian istri Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menuntut sesuatu dari Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang tidak beliau miliki, beliau tidak menghardik mereka dan tidak melakukan kekerasan kepada mereka, yang beliau lakukan hanyalah meminta mereka memilih antara kenikmatan dunia atau Allah, RasulNya dan alam akhirat.

Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, aku berkata kepadamu suatu perkara, aku tidak ingin kamu memutuskan sebelum kamu berunding dengan kedua orang tuamu.” Aisyah bertanya,”Apa itu ya Rasulullah?” Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam membaca firman Allah,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28) وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا (29) [الأحزاب : 28 ، 29]

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah aku berikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan RasulNya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 28-29).

Aisyah menjawab, “Aku memilih Allah, RasulNya dan Hari Akhirat, aku tidak perlu berunding dengan kedua orang tuaku.” Maka Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam tersenyum. Ketika ucapan tersebut dibacakan kepada istri-istri Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam yang lain mereka semua menjawab sama dengan jawab Aisyah. Selesai persoalan tanpa kemarahan dan kekerasan.

Hadits berkata, “Barangsiapa tidak diberi kelembutan maka dia tidak diberi kebaikan seluruhnya.” Diriwayatkan oleh Muslim. “Sesungguhnya Allah Mahalembut, menyukai kelembutan, memberi melalui kelembutan apa yang tidak Dia berikan melalui kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan melalui selainnya.” Diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.