kuatRasulullah Shalallahu “alaihi wasallam bersabda,

[sc:BUKA ]الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ[sc:TUTUP ]

[sc:BUKA ] وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا.[sc:TUTUP ]

[sc:BUKA ] وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ[sc:TUTUP ]

 “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya memiliki kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Apabila ada sesuatu yang menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’Akan tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ‘seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim, no. 6945)

Hadits di atas adalah hadits yang sangat agung, siapa yang mampu menggapai sesuatu yang terkandung dalam hadits ini, sesungguhnya ia telah mendapat kebaikan agama dan dunianya secara bersamaan.

 

Penjelasan Hadits

Maksud perkataan Rasulullah Shalallahu “alaihi wasallam, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah”

Kuat di sini adalah kemauan keras dan tabiat jiwa dalam perkara-perkara akhirat. Orang-orang yang memiliki sifat ini akan selalu bersemangat melaksanakan shalat, puasa, berdzikir kepada Allah ta”ala, dan ibadah-ibadah lainnya.

Orang-orang ini pula yang senantiasa bersegera melangkahkan kaki untuk berjihad melawan musuh-musuh Islam. Mereka juga memiliki tekad yang kuat dalam memerintahkan yang makruf dan melarang yang munkar, selalu bersabar dalam menghadapi ujian yang menimpa dan mampu melewati segala kesulitan dengan mudah karena Allah ta”ala.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa makna kuat di sini adalah keimanan, dan bukan tubuh, karena kekuatan tubuh bisa berbahaya bagi manusia, jika digunakan untuk bermaksiat kepada Allah Ta”ala. Kekuatan tubuh tidak terpuji atau tercela. Jika digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia atau akhirat, maka dia menjadi terpuji. Sebaliknya jika digunakan untuk berbuat maksiat, maka dia menjadi tercela.

Mukmin yang kuat imannya lebih baik dan lebih dicintai Allah Ta”ala daripada mukmin yang lemah. Karena keimanan yang kuat akan mendorong untuk  melaksanakan sesuatu yang diwajibkan Allah Ta”ala serta melaksanakan yang sunnah. Sedangkan mukmin yang lemah iman tidak mudah melaksanakan apa yang diwajibkan Allah Ta”ala kepada- nya dan yang dilarang-Nya.

Sabda Rasul Shalallahu “alaihi wasallam, “namun pada masing-masingnya memiliki kebaikan”

Maksudnya adalah mukmin yang kuat dan lemah sama-sama memiliki kebaikan, karena keduanya sama-sama masih memiliki keimanan. Dan mukmin yang lemah iman tentu lebih baik dari orang kafir.

Sabda Rasul Shalallahu “alaihi wasallam, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu”

Ini adalah wasiat Rasulullah Shalallahu “alaihi wasallam kepada umatnya, yaitu bersungguh-sungguh dalam mencari dan mendapatkan manfaat. Sesungguhnya perbuatan manusia itu terbagi menjadi tiga,

Perbuatan yang bermanfaat bagi manusia,

Perbuatan yang mengandung bahaya/madharat,

Perbuatan yang tidak ada manfaat dan madharatnya sama sekali.

Manusia yang berakal adalah yang menerima wasiat Nabi Shalallahu “alaihi wasallam, mereka bersungguh-sungguh dalam mencari hal yang bermanfaat bagi dirinya. Sedangkan mayoritas manusia menghabiskan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat, bahkan mengandung bahaya bagi diri dan agama mereka. Oleh karena itu layak untuk dikatakan pada mereka, “Kalian tidak melaksanakan wasiat Nabi Shalallahu “alaihi wasallam, mungkin karena kebodohan atau karena meremehkannya”

Terhadap sesuatu yang bermanfaat, hendaknya kita bersemangat melaksanakannya, baik itu manfaat agama maupun keduniaan

Sabda Rasul Shalallahu “alaihi wasallam, “mohonlah pertolongan kepada Allah”

Sebuah petuah yang datang setelah sabda beliau Shalallahu “alaihi wasallam, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu”, Karena mencari dan mengambil sesuatu yang bermanfaat bisa jadi akan menipu, yaitu dengan menjadikan diri sendiri sebagai sandaran dan melupakan pertolongan Allah Ta”ala, sebagaimana terjadi pada kebanyakan manusia, yakni berbangga diri dan melupakan pertolongan Allah Ta”ala. Bersungguh-sungguhlah dalam hal yang bermanfaat, dan jangan lupa meminta pertolongan Allah Ta”ala meskipun hal tersebut adalah mudah. Rasulullah Shalallahu “alaihi wasallam bersabda,

[sc:BUKA ]لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ حَتَّى يَسْأَلَهُ الْمِلْحَ  وَحَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ[sc:TUTUP ]

“Hendaklah salah seorang dari kalian senantiasa meminta kebutuhannya kepada Tuhan, sampaipun ketika meminta garam, sampaipun meminta tali sandalnya ketika putus.” (HR. at-Tirmidzi, no. 3604).

Mintalah selalu pertolongan Allah Ta”ala dalam segala hal yang bermanfaat bahkan dalam ibadah sekalipun seperti ketika wudhu, shalat dan lainnya. Karena tanpa pertolongan-Nya kita tidak akan mampu melakukannya.

Kemudian Rasulullah Shalallahu “alaihi wasallam melanjutkan sabdanya, “dan jangan bersikap lemah.”

Teruslah beramal dan jangan lemah buy Viagra 100mg online atau mundur, atau berkata, “Sungguh selesainya masih lama” atau “banyak sekali pekerjaan ini, dan tak ada habisnya”. Ketika sejak awal hati sudah meyakini adanya sesuatu yang bermanfaat, dan telah meminta pertolongan kepada Allah Ta”ala serta telah memulai melakukannya, maka janganlah lemah.

Rasulullah Shalallahu “alaihi wasallam melanjutkan, “Apabila sesuatu menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’”

Setelah melakukan hal-hal yang telah disebutkan di atas, namun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka janganlah mengatakan, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’ Karena semua ini di luar kehendak manusia, kita hanya melaksanakan apa yang diperintahkan, Allahlah yang berkuasa terhadap segala urusan. Allah Ta”ala berfirman, artinya, “Dan  Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21).

Setelah Rasulullah Shalallahu “alaihi wasallam melarang perkataan, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’ Beliau Shallallahu “alaihi wa Sallam memberikan ganti dari larangan tersebut dengan kalimat, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah  Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Demikianlah salah satu keindahan Islam, ketika melarang sesuatu, akan diberikan ganti dari larangan tersebut. Hal ini sebagaimana terdapat dalam banyak ayat al-Qur’an, di antara firman- Nya Ta”ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah: 104).

Kemudian Rasulullah Shalallahu “alaihi wasallam menutup hadits ini dengan sabdanya, “Dikarenakan ucapan ‘seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.”

Ini merupakan hikmah dilarang mengucapkan “seandainya” untuk perkara-perkara yang telah ditetapkan Allah. Karena, kalimat tersebut akan membuka celah perbuatan setan, menimbulkan was-was, kesedihan, penyesalan dan duka yang mendalam. Semua perkara telah ditetapkan, tidak mungkin akan berubah sesuatu yang sudah terjadi. Semuanya telah ditulis di Lauhul Mahfudzlima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu “alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk berkata,

[sc:BUKA ]قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ[sc:TUTUP ]

“Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.”

Ini sesuai dengan firman-Nya Ta”ala, artinya, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Huud: 107).

Namun perlu diketahui bahwa ketika Allah Ta”ala menakdirkan sesuatu, pasti ada hikmah yang mengiringinya baik diketahui ataupun tidak. Allah Ta”ala berfirman, artinya, “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Insan: 30).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kehendak Allah Ta”ala diiringi dengan ilmu dan hikmah.

Demikianlah penjelasan singkat tentang hadits di atas, semoga kita dapat mengamalkan hadits ini dan hati menjadi tenang. Wallahu a’lam. (Redaksi)

[Sumber: Diterjemahkan secara bebas dari Syarah Riyadhus Shalihin oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dari http://www.ibnothaimeen.com dengan beberapa tambahan dari sumber yang lain]