Orang yang ziarah kubur Nabi patut memperhatikan beberapa hal agar tidak terjatuh ke dalam beberapa pelanggaran, akibatnya bukannya mendapatkan kebaikan, tetapi justru keburukan karena pelanggarannya.

1- Tidak patut mengusap-usap dinding kubur Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau menciumnya, karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan dan para sahabat tidak melakukannya.

2- Tidak patut memohon suatu hajat kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, atau mengangkat kesulitan atau kesembuhan dari sakit dan yang sepertinya, karena perkara-perkara seperti itu hanya patut dimohon kepada Allah, memintanya kepada orang mati merupakan syirik.

3- Tidak patut memohon syafaat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau di alam kubur, karena syafaat adalah milik Allah, hanya patut diminta kepadaNya semata. Akan tetapi saat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau di hari Kiamat, boleh meminta syafaat kepada beliau, karena saat itu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mampu melakukan.

4- Tidak patut meninggikan suara di kubur Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam dan berdiri lama di sana, karena Allah melarang kaum muslimin meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ”Hai orang-orang beriman jangan meninggikan suara kalian di atas suara Nabi.” (Al-Hujurat: 2) dan berdiri lama menyebabkan menumpuknya orang dan berdesak-desakan.

5- Tidak patut berdoa di kubur Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam dengan menghadap ke kubur dan membelakangi kiblat. Ali bin al-Husain bin Ali bin Abu Thalib melihat seorang laki-laki menyelinap masuk ke kubur Nabi, laki-laki itu berdoa di sana, maka Ali bin al-Husain melarangnya dan berkata kepadanya, “Maukah kamu aku beritahu sebuah hadits yang aku dengar dari bapakku dari kakekku dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, ‘Jangan menjadikan kuburku sebagai tempat perayaan, jangan menjadikan rumahmu kuburan, bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya salam kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” Diriwayatkan oleh adh-Dhiya` dalam al-Mukhtarah no. 428 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2/706. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)