Keempat: Syirik Dalam Ketaatan

Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita semua, bahwa termasuk kesyirikan menaati ulama dan umara dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan atau mengharamkan apa yang Allah halalkan. Allah Subhanahuย  wa Ta’ala berfirman,

ุงุชู‘ูŽุฎูŽุฐููˆุง ุฃูŽุญู’ุจูŽุงุฑูŽู‡ูู…ู’ ูˆูŽุฑูู‡ู’ุจูŽุงู†ูŽู‡ูู…ู’ ุฃูŽุฑู’ุจูŽุงุจู‹ุง ู…ูู†ู’ ุฏููˆู†ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูˆูŽุงู„ู’ู…ูŽุณููŠุญูŽ ุงุจู’ู†ูŽ ู…ูŽุฑู’ูŠูŽู…ูŽ ูˆูŽู…ูŽุง ุฃูู…ูุฑููˆุง ุฅูู„ู‘ูŽุง ู„ููŠูŽุนู’ุจูุฏููˆุง ุฅูู„ูŽู‡ู‹ุง ูˆูŽุงุญูุฏู‹ุง ู„ูŽุง ุฅูู„ูŽู‡ูŽ ุฅูู„ู‘ูŽุง ู‡ููˆูŽ ุณูุจู’ุญูŽุงู†ูŽู‡ู ุนูŽู…ู‘ูŽุง ูŠูุดู’ุฑููƒููˆู†ูŽ

“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka juga menuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal mereka tidak diperintahkan kecuali menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).

Dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu โ€˜alaihi wasallam membaca ayat ini kepada Adi bin Hatim ath-Thaโ€™i radhiyallahu โ€˜anhu, maka dia berkata,

ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู’ู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ูุŒโ€ ู„ูŽุณู’ู†ูŽุง ู†ูŽุนู’ุจูุฏูู‡ูู…ู’ุŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ุฃูŽู„ูŽูŠู’ุณูŽ ูŠูุญูู„ู‘ููˆู’ู†ูŽ ู…ูŽุง ุญูŽุฑู‘ูŽู…ูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ููŽุชูุญูู„ู‘ููˆู’ู†ูŽู‡ู ูˆูŽูŠูุญูŽุฑูู‘ู…ููˆู’ู†ูŽ ู…ูŽุง ุฃูŽุญูŽู„ู‘ูŽ ุงู„ู„ู‘ูฐู‡ู ููŽุชูุญูŽุฑูู‘ู…ููˆู’ู†ูŽู‡ูุŸ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ุจูŽู„ูŽู‰ุŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ููŽุชูู„ู’ูƒูŽ ุนูุจูŽุงุฏูŽุชูู‡ูู…ู’

Wahai Rasulullah, kami tidak menyembah mereka. Nabi menjawab, Bukankah mereka menghalalkan bagi kalian apa yang Allah haramkan, lalu kalian ikut menghalalkannya dan mengharamkan bagi kalian apa yang Allah halalkan lalu kalian ikut mengharamkannya? Dia menjawab, Benar. Nabi bersabda, Itulah ibadah kepada mereka.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi[1] dan lainnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan mengangkat para ahli ilmu dan ahli ibadah sebagai tuhan-tuhan lain selain Allah, maknanya bukan rukuk dan sujud kepada mereka, akan tetapi maknanya adalah mematuhi mereka dalam mengubah hukum-hukum Allah, mengganti syariatNya dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan bahwasanya hal tersebut dianggap beribadah kepada mereka selain Allah, di mana mereka menjadikan diri mereka sekutu-sekutu bagi Allah dalam kewenangan menetapkan syariat. Barangsiapa menaati mereka dalam urusan tersebut, maka dia mengangkat mereka sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam menetapkan syariat, yaitu menghalalkan dan mengharamkan. Dan ini termasuk syirik besar. Allah Subhanahuย  wa Ta’ala berfirman,

ูˆูŽู…ูŽุง ุฃูู…ูุฑููˆุง ุฅูู„ู‘ูŽุง ู„ููŠูŽุนู’ุจูุฏููˆุง ุฅูู„ูŽู‡ู‹ุง ูˆูŽุงุญูุฏู‹ุง ู„ูŽุง ุฅูู„ูŽู‡ูŽ ุฅูู„ู‘ูŽุง ู‡ููˆูŽ ุณูุจู’ุญูŽุงู†ูŽู‡ู ุนูŽู…ู‘ูŽุง ูŠูุดู’ุฑููƒููˆู†ูŽ

“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).

Semakna dengan ayat ini adalah Firman Allah Subhanahuย  wa Ta’ala,

ูˆูŽู„ูŽุง ุชูŽุฃู’ูƒูู„ููˆุง ู…ูู…ู‘ูŽุง ู„ูŽู…ู’ ูŠูุฐู’ูƒูŽุฑู ุงุณู’ู…ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุฅูู†ู‘ูŽู‡ู ู„ูŽููุณู’ู‚ูŒ ูˆูŽุฅูู†ู‘ูŽ ุงู„ุดู‘ูŽูŠูŽุงุทููŠู†ูŽ ู„ูŽูŠููˆุญููˆู†ูŽ ุฅูู„ูŽู‰ ุฃูŽูˆู’ู„ููŠูŽุงุฆูู‡ูู…ู’ ู„ููŠูุฌูŽุงุฏูู„ููˆูƒูู…ู’ ูˆูŽุฅูู†ู’ ุฃูŽุทูŽุนู’ุชูู…ููˆู‡ูู…ู’ ุฅูู†ู‘ูŽูƒูู…ู’ ู„ูŽู…ูุดู’ุฑููƒููˆู†ูŽ

“Dan janganlah kalian memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut Nama Allah, karena perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka mendebat kalian. Dan jika kalian menuruti mereka, tentu kalian benar-benar orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121).

Termasuk dalam hal ini menaati para penguasa dan pemimpin dalam menetapkan undang-undang manusia yang menyelisihi hukum Allah Subhanahuย  wa Ta’ala dalam menghalalkan yang haram; seperti menghalalkan riba, zina, minum khamar, menyamakan laki-laki dengan wanita dalam warisan, membolehkan wanita membuka aurat dan bercampur baur dengan lelaki, atau mengharamkan yang halal; seperti melarang poligami, dan hal-hal sepertinya yang mengubah hukum-hukum Allah dan menggantinya dengan undang-undang setan. Maka barangsiapa setuju dan rela serta memandangnya baik, maka dia adalah orang musyrik lagi kafir. Naโ€™udzu billah.

Termasuk dalam perkara ini adalah bertaklid kepada para ulama fikih yang pendapat mereka menyelisihi dalil-dalil bila ia sejalan dengan hawa nafsu manusia dan apa yang mereka inginkan, sebagaimana yang dilakukan oleh segolongan pencari ilmu yang mencari-cari kemudahan. Yang wajib adalah mengambil pendapat ulama mujtahid yang sejalan dengan dalil dan meninggalkan pendapat yang bertentangan dengannya.

Para imam rahimahumullah berkata, “Setiap orang diambil pendapatnya dan ditinggalkan, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”[2]

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Bila suatu hadits datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami menerimanya tanpa membantah, bila dari para sahabat, maka kami menerimanya, bila dari para tabi’in, maka mereka adalah laki-laki dan kami pun laki-laki.”[3] Maksud beliau, sama-sama imam besar.

Sebagian penuntut ilmu memanfaatkan ucapan Imam Abu Hanifah ini, mereka mendudukkan diri mereka di barisan para ulama ahli ijtihad, padahal mereka adalah orang-orang jahil. Tidak diragukan bahwa maksud Imam Abu Hanifah bukan menyetarakan ulama dengan orang-orang jahil.

Imam Malik rahimahullah berkata, “Masing-masing dari kita menolak dan ditolak, kecuali pemilik kubur ini.”[4] Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Bila sebuah hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”[5]

Masih kata beliau, “Bila pendapatku menyelisihi sabda (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka campakkanlah pendapatku di balik dinding.”[6]

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku heran kepada suatu kaum, mereka mengetahui sanad dan keshahihannya, tetapi mereka masih mengambil pendapat Imam Sufyan. Allah Ta’ala berfirman,

ููŽู„ู’ูŠูŽุญู’ุฐูŽุฑู ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ูŠูุฎูŽุงู„ููููˆู†ูŽ ุนูŽู†ู’ ุฃูŽู…ู’ุฑูู‡ู ุฃูŽู†ู’ ุชูุตููŠุจูŽู‡ูู…ู’ ููุชู’ู†ูŽุฉูŒ ุฃูŽูˆู’ ูŠูุตููŠุจูŽู‡ูู…ู’ ุนูŽุฐูŽุงุจูŒ ุฃูŽู„ููŠู…ูŒ

‘Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.‘ (An-Nur: 63).”[7]

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Hampir saja batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku berkata, ‘Rasulullah bersabda.’ Tetapi kalian berkata, ‘Abu Bakar dan Umar berkata lain?”[8]

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata dalam Fathul Majid, “Wajib atas setiap orang mukallaf, bila dalil dari al-Qurโ€™an dan Sunnah RasulNya telah sampai kepadanya dan dia memahami maknanya, wajib atasnya berhenti padanya dan mengamalkannya, walaupun ada pihak yang menyelisihinya.”

Masih kata Syaikh Abdurrahman bin Hasan, “Wajib atas siapa yang menasihati dirinya, bila dia membaca kitab-kitab ulama, memperhatikan isinya dan mengetahui pendapat-pendapat mereka, agar menimbangnya dengan dalil-dalil yang ada di dalam al-Qurโ€™an dan as-Sunnah, karena setiap ulama mujtahid, dan orang-orang yang mengikutinya dan menisbatkan diri kepada madzhabnya pasti menyebutkan dalilnya. Kebenaran dalam satu masalah adalah satu, para imam mendapatkan pahala atas jerih payah ijtihad mereka, orang yang obyektif menelaah dan meneliti pendapat-pendapat mereka dan menjadikannya sebagai batu loncatan untuk mengetahui masalah-masalah, lalu menghadirkannya di luar kepala dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah melalui dalil-dalil yang disebutkan oleh pihak-pihak yang berdalil, dengan itu dia mengetahui siapa ulama yang pendapatnya lebih dekat kepada dalil lalu mengikutinya.”[9]

Syaikh Abdurrahman rahimahullah juga berkata tentang Firman Allah Ta’ala,

ูˆูŽุฅูู†ู’ ุฃูŽุทูŽุนู’ุชูู…ููˆู‡ูู…ู’ ุฅูู†ู‘ูŽูƒูู…ู’ ู„ูŽู…ูุดู’ุฑููƒููˆู†ูŽ

“Dan jika kalian menuruti mereka, tentu kalian benar-benar orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121),

“Ini dilakukan oleh banyak orang kepada orang-orang yang mereka ikuti, karena mereka tidak mempertimbangkan dalil manakala ia menyelisihi pendapat orang yang diikutinya tersebut, dan ia termasuk syirik jenis ini. Di antara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam hal ini, meyakini bahwa mengambil dalil dalam keadaan ini adalah makruh atau haram, akibatnya fitnah menjadi besar. Dia berkata, ‘Mereka lebih tahu dalil daripada kitaโ€ฆ”[10]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata, “Masalah kelima: Perubahan keadaan hingga taraf ini, hingga menyembah ahli ibadah menurut kebanyakan orang termasuk amalan paling utama, disebut dengan kewalian; dan menyembah ahli ilmu adalah ilmu dan fikih itu sendiri, kemudian keadaan berubah lagi hingga seseorang selain Allah disembah, walaupun dia bukan termasuk orang-orang shalih, seseorang yang tergolong jahil disembah dengan makna yang kedua.”[11]

Termasuk mengangkat para ahli ilmu dan ahli ibadah sebagai tuhan-tuhan selain Allah, adalah mematuhi ulama-ulama sesat dalam apa yang mereka ada-adakan dalam agama dalam bentuk bid’ah, khurafat dan kesesatan, seperti menghidupkan perayaan hari kelahiran (seperti perayaan maulid dan haul tokoh), tarekat-tarekat sufi, tawasul dengan orang-orang mati, berdoa kepada mereka selain Allah, hingga para ulama sesat tersebut meletakkan syariat dalam agama yang tidak Allah izinkan, lalu orang-orang jahil menyimpang mengikuti mereka dan memasukkan syariat tersebut ke dalam agama, selanjutnya siapa yang mengingkarinya dan menyeru mereka agar mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka memandangnya keluar dari agama, atau dia membenci ulama dan orang-orang shalih, akibatnya yang ma’ruf menjadi mungkar, yang mungkar menjadi ma’ruf, sunnah menjadi bidโ€™ah dan bid’ah menjadi sunnah, seterusnya anak-anak tumbuh di atas itu, orang-orang dewasa berjalan di atasnya. Ini termasuk keterasingan agama, minimnya da’i yang memperbaiki. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung.

Bila tidak boleh mengikuti para imam fikih ahli ijtihad dalam ijtihad mereka yang salah, padahal mereka tidak berdosa, sebaliknya mereka diberi pahala dalam kesalahan yang tidak mereka sengaja, namun tetap haram mengikuti mereka dalam kesalahan mereka, lalu bagaimana boleh mengikuti orang-orang pendusta yang menyesatkan yang salah dalam urusan yang tidak boleh berijtihad padanya, yaitu perkara akidah, karena akidah bersifat tauqifiyah, hanya berdasarkan dalil yang ada, akan tetapi perkaranya adalah sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,

ูˆูŽู„ูŽู‚ูŽุฏู’ ุถูŽุฑูŽุจู’ู†ูŽุง ู„ูู„ู†ู‘ูŽุงุณู ูููŠ ู‡ูŽุฐูŽุง ุงู„ู’ู‚ูุฑู’ุขู†ู ู…ูู†ู’ ูƒูู„ู‘ู ู…ูŽุซูŽู„ู ูˆูŽู„ูŽุฆูู†ู’ ุฌูุฆู’ุชูŽู‡ูู…ู’ ุจูุขูŠูŽุฉู ู„ูŽูŠูŽู‚ููˆู„ูŽู†ู‘ูŽ ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ูƒูŽููŽุฑููˆุง ุฅูู†ู’ ุฃูŽู†ู’ุชูู…ู’ ุฅูู„ู‘ูŽุง ู…ูุจู’ุทูู„ููˆู†ูŽ (58) ูƒูŽุฐูŽู„ููƒูŽ ูŠูŽุทู’ุจูŽุนู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽู‰ ู‚ูู„ููˆุจู ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ู„ูŽุง ูŠูŽุนู’ู„ูŽู…ููˆู†ูŽ (59) ููŽุงุตู’ุจูุฑู’ ุฅูู†ู‘ูŽ ูˆูŽุนู’ุฏูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุญูŽู‚ู‘ูŒ ูˆูŽู„ูŽุง ูŠูŽุณู’ุชูŽุฎููู‘ูŽู†ู‘ูŽูƒูŽ ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ู„ูŽุง ูŠููˆู‚ูู†ููˆู†ูŽ (60)

“Dan sungguh Kami telah membuat untuk manusia segala macam perumpamaan dalam al-Qurโ€™an ini. Dan jika engkau membawa suatu ayat kepada mereka, pastilah orang-orang kafir itu akan berkata, ‘Kalian hanyalah orang-orang yang membawa kebatilan belaka.’ Demikianlah Allah mengunci hati orang-orang yang tidak (mau) mengetahui. Maka bersabarlah engkau (wahai Muhammad), karena sesungguhnya, janji Allah itu benar dan sekali-kali jangan sampai orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkanmu.” (Ar-Rum: 58-60).

Di samping orang-orang yang tenggelam dalam taklid buta dalam perkara ushul dan furu‘, ada kelompok lain yang berlawanan dengan mereka, kelompok yang mewajibkan ijtihad atas setiap orang, sekalipun dia adalah orang jahil yang tidak becus membaca al-Qurโ€™an dan tidak mengetahui apa pun dari ilmu agama, mereka mengharamkan mengkaji buku-buku fikih, mereka mengharuskan orang-orang jahil menimba ilmu dari al-Qurโ€™an dan as-Sunnah secara langsung. Ini adalah sikap ekstrim yang buruk. Bahaya kelompok ini terhadap kaum Muslimin tidak kalah dengan bahaya kelompok pertama, bila tidak lebih.

Sebaik-baik urusan adalah yang tengah dan yang seimbang, dengan tidak bertaklid kepada para ahli fikih secara membabi buta, tidak pula melalaikan ilmu mereka dan membuang pendapat-pendapat mereka yang sejalan dengan al-Qurโ€™an dan as-Sunnah, sebaliknya kita mengambil manfaat darinya, menggunakannya sebagai pembantu untuk memahami al-Qurโ€™an dan as-Sunnah. Pendapat-pendapat mereka adalah kekayaan ilmiah, perbendaharaan fikih yang besar, apa yang sejalan dengan dalil, darinya diambil, dan apa yang menyelisihi ditinggalkan, sebagaimana as-Salaf ash-Shalih melakukan hal itu, khususnya di zaman ini, di mana semangat kaum Muslimin terhadap ilmu agama mengendur, sehingga kebodohan mewabah. Yang wajib adalah bersikap seimbang, tidak berlebih-lebihan dan tidak menyepelekan, tidak ghuluw dan tidak meremehkan. Semoga Allah membimbing kaum Muslimin yang tersesat, meneguhkan para imam dan pemimpin mereka di atas kebenaran, sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha menjawab.

Sebagaimana tidak boleh menaati para ulama dalam menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, demikian juga tidak boleh menaati para umara dan pemimpin dalam menetapkan hukum di tengah-tengah masyarakat yang bukan dengan syariat Islam, karena berhakim kepada kitab Allah dan Sunnah RasulNya dalam segala urusan yang diperselisihkan dan dipertentangkan dan dalam segala urusan hidup merupakan kewajiban, sebab hak menetapkan syariat adalah hak Allah semata, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

ุฃูŽู„ูŽุง ู„ูŽู‡ู ุงู„ู’ุฎูŽู„ู’ู‚ู ูˆูŽุงู„ู’ุฃูŽู…ู’ุฑู

Ingatlah! Segala penciptaan dan menetapkan ketentuan adalah hakNya.” (Al-A’raf: 54).

Yakni, Dia-lah Yang Maha Memutuskan hukum dan menetapkan hukum adalah hakNya Semata.

Allah Ta’ala ย juga berfirman,

ูˆูŽู…ูŽุง ุงุฎู’ุชูŽู„ูŽูู’ุชูู…ู’ ูููŠู‡ู ู…ูู†ู’ ุดูŽูŠู’ุกู ููŽุญููƒู’ู…ูู‡ู ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู

“Dan apa pun yang kalian perselisihkan tentangnya dari sesuatu, maka keputusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy-Syura: 10).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

ููŽุฅูู†ู’ ุชูŽู†ูŽุงุฒูŽุนู’ุชูู…ู’ ูููŠ ุดูŽูŠู’ุกู ููŽุฑูุฏู‘ููˆู‡ู ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูˆูŽุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ู ุฅูู†ู’ ูƒูู†ู’ุชูู…ู’ ุชูุคู’ู…ูู†ููˆู†ูŽ ุจูุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูˆูŽุงู„ู’ูŠูŽูˆู’ู…ู ุงู„ู’ุขุฎูุฑู ุฐูŽู„ููƒูŽ ุฎูŽูŠู’ุฑูŒ ูˆูŽุฃูŽุญู’ุณูŽู†ู ุชูŽุฃู’ูˆููŠู„ู‹ุง (59)

Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qurโ€™an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaโ€™: 59).

Berhakim kepada syariat Allah bukan saja demi keadilan, akan tetapi yang terpenting adalah beribadah kepada Allah, menunaikan hakNya semata, sebagai bukti akidah yang lurus. Barangsiapa tidak berhakim kepada syariat Allah, sebaliknya kepada undang-undang bikinan manusia, maka dia telah menetapkan orang-orang yang membuat, dan menyusunnya sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dalam menetapkan syariat. Allah Ta’ala berfirman,

ุฃูŽู…ู’ ู„ูŽู‡ูู…ู’ ุดูุฑูŽูƒูŽุงุกู ุดูŽุฑูŽุนููˆุง ู„ูŽู‡ูู…ู’ ู…ูู†ูŽ ุงู„ุฏู‘ููŠู†ู ู…ูŽุง ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุฃู’ุฐูŽู†ู’ ุจูู‡ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (sembahan-sembahan) selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (tidak diridhai) Allah?” (Asy-Syura: 21).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

ูˆูŽุฅูู†ู’ ุฃูŽุทูŽุนู’ุชูู…ููˆู‡ูู…ู’ ุฅูู†ู‘ูŽูƒูู…ู’ ู„ูŽู…ูุดู’ุฑููƒููˆู†ูŽ

“Dan jika kalian menuruti mereka, tentu kalian benar-benar orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121).

Dan Allah Ta’ala ย menafikan iman dari orang-orang yang berhakim kepada selain syariatNya. Allah Ta’ala berfirman,

ุฃูŽู„ูŽู…ู’ ุชูŽุฑูŽ ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ูŠูŽุฒู’ุนูู…ููˆู†ูŽ ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ูู…ู’ ุขู…ูŽู†ููˆุง ุจูู…ูŽุง ุฃูู†ู’ุฒูู„ูŽ ุฅูู„ูŽูŠู’ูƒูŽ ูˆูŽู…ูŽุง ุฃูู†ู’ุฒูู„ูŽ ู…ูู†ู’ ู‚ูŽุจู’ู„ููƒูŽ ูŠูุฑููŠุฏููˆู†ูŽ ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽุชูŽุญูŽุงูƒูŽู…ููˆุง ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ุทู‘ูŽุงุบููˆุชู ูˆูŽู‚ูŽุฏู’ ุฃูู…ูุฑููˆุง ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽูƒู’ููุฑููˆุง ุจูู‡ู ูˆูŽูŠูุฑููŠุฏู ุงู„ุดู‘ูŽูŠู’ุทูŽุงู†ู ุฃูŽู†ู’ ูŠูุถูู„ู‘ูŽู‡ูู…ู’ ุถูŽู„ูŽุงู„ู‹ุง ุจูŽุนููŠุฏู‹ุง (60) ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ู‚ููŠู„ูŽ ู„ูŽู‡ูู…ู’ ุชูŽุนูŽุงู„ูŽูˆู’ุง ุฅูู„ูŽู‰ ู…ูŽุง ุฃูŽู†ู’ุฒูŽู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูˆูŽุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ู ุฑูŽุฃูŽูŠู’ุชูŽ ุงู„ู’ู…ูู†ูŽุงููู‚ููŠู†ูŽ ูŠูŽุตูุฏู‘ููˆู†ูŽ ุนูŽู†ู’ูƒูŽ ุตูุฏููˆุฏู‹ุง (61) ููŽูƒูŽูŠู’ููŽ ุฅูุฐูŽุง ุฃูŽุตูŽุงุจูŽุชู’ู‡ูู…ู’ ู…ูุตููŠุจูŽุฉูŒ ุจูู…ูŽุง ู‚ูŽุฏู‘ูŽู…ูŽุชู’ ุฃูŽูŠู’ุฏููŠู‡ูู…ู’ ุซูู…ู‘ูŽ ุฌูŽุงุกููˆูƒูŽ ูŠูŽุญู’ู„ููููˆู†ูŽ ุจูุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุฅูู†ู’ ุฃูŽุฑูŽุฏู’ู†ูŽุง ุฅูู„ู‘ูŽุง ุฅูุญู’ุณูŽุงู†ู‹ุง ูˆูŽุชูŽูˆู’ูููŠู‚ู‹ุง (62) ุฃููˆู„ูŽุฆููƒูŽ ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ูŠูŽุนู’ู„ูŽู…ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ู…ูŽุง ูููŠ ู‚ูู„ููˆุจูู‡ูู…ู’ ููŽุฃูŽุนู’ุฑูุถู’ ุนูŽู†ู’ู‡ูู…ู’ ูˆูŽุนูุธู’ู‡ูู…ู’ ูˆูŽู‚ูู„ู’ ู„ูŽู‡ูู…ู’ ูููŠ ุฃูŽู†ู’ููุณูู‡ูู…ู’ ู‚ูŽูˆู’ู„ู‹ุง ุจูŽู„ููŠุบู‹ุง (63) ูˆูŽู…ูŽุง ุฃูŽุฑู’ุณูŽู„ู’ู†ูŽุง ู…ูู†ู’ ุฑูŽุณููˆู„ู ุฅูู„ู‘ูŽุง ู„ููŠูุทูŽุงุนูŽ ุจูุฅูุฐู’ู†ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูˆูŽู„ูŽูˆู’ ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ูู…ู’ ุฅูุฐู’ ุธูŽู„ูŽู…ููˆุง ุฃูŽู†ู’ููุณูŽู‡ูู…ู’ ุฌูŽุงุกููˆูƒูŽ ููŽุงุณู’ุชูŽุบู’ููŽุฑููˆุง ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ูŽ ูˆูŽุงุณู’ุชูŽุบู’ููŽุฑูŽ ู„ูŽู‡ูู…ู ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ู ู„ูŽูˆูŽุฌูŽุฏููˆุง ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ูŽ ุชูŽูˆู‘ูŽุงุจู‹ุง ุฑูŽุญููŠู…ู‹ุง (64) ููŽู„ูŽุง ูˆูŽุฑูŽุจู‘ููƒูŽ ู„ูŽุง ูŠูุคู’ู…ูู†ููˆู†ูŽ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ูŠูุญูŽูƒู‘ูู…ููˆูƒูŽ ูููŠู…ูŽุง ุดูŽุฌูŽุฑูŽ ุจูŽูŠู’ู†ูŽู‡ูู…ู’ ุซูู…ู‘ูŽ ู„ูŽุง ูŠูŽุฌูุฏููˆุง ูููŠ ุฃูŽู†ู’ููุณูู‡ูู…ู’ ุญูŽุฑูŽุฌู‹ุง ู…ูู…ู‘ูŽุง ู‚ูŽุถูŽูŠู’ุชูŽ ูˆูŽูŠูุณูŽู„ู‘ูู…ููˆุง ุชูŽุณู’ู„ููŠู…ู‹ุง (65)

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu, (tetapi) mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepada Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya. Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,’ (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) darimu sekuat tenaga. Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang-orang munafik) disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, Kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah dengan Nama Allah, ‘Kami sekali-kali tidak menghendaki selain berbuat baik dan mendamaikan.’ Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sekiranya mereka, setelah menzhalimi diri mereka datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang terjadi perselisihan di antara mereka, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 60-65).

Barangsiapa mengajak berhakim kepada undang-undang buatan manusia, maka dia telah mengangkat sekutu bagi Allah dalam ketaatan dan penetapan syariat. Barangsiapa berhakim kepada selain apa yang Allah turunkan, dia menilai bahwa ia lebih baik atau setara dengan apa yang Allah syariatkan, atau bahwa berhakim kepadanya boleh, maka dia kafir kepada Allah, sekalipun dia mengaku Mukmin, karena Allah mengingkari siapa yang ingin berhakim kepada selain syariatNya, Allah menolak klaim iman mereka, karena Firman Allah, ูŠูŽุฒู’ุนูู…ููˆู†ูŽ ย “mengaku” mengandung penafian terhadap iman mereka.

Kata ini secara umum ditujukan kepada siapa yang mengakui sesuatu padahal dia dusta padanya, karena berhakim kepada undang-undang manusia sama dengan berhakim kepada thaghut, sedangkan Allah telah memerintahkan untuk kafir kepada thaghut, Allah menjadikan kufur kepada thaghut sebagai rukun tauhid, sebagaimana Allah berfirman,

ููŽู…ูŽู†ู’ ูŠูŽูƒู’ููุฑู’ ุจูุงู„ุทู‘ูŽุงุบููˆุชู ูˆูŽูŠูุคู’ู…ูู†ู’ ุจูุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ููŽู‚ูŽุฏู ุงุณู’ุชูŽู…ู’ุณูŽูƒูŽ ุจูุงู„ู’ุนูุฑู’ูˆูŽุฉู ุงู„ู’ูˆูุซู’ู‚ูŽู‰

Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat.” (Al-Baqarah: 256).

Maka barangsiapa menetapkan undang-undang manusia sebagai rujukan hukum, dia bukan orang yang bertauhid, karena dia telah mengangkat sekutu bagi Allah dalam ketaatan dan menetapkan syariat, tidak kufur kepada thaghut yang diperintahkan agar dikufuri, dan dia menaati setan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

ูˆูŽูŠูุฑููŠุฏู ุงู„ุดู‘ูŽูŠู’ุทูŽุงู†ู ุฃูŽู†ู’ ูŠูุถูู„ู‘ูŽู‡ูู…ู’ ุถูŽู„ูŽุงู„ู‹ุง ุจูŽุนููŠุฏู‹ุง

Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisaโ€™: 60).

Allah Ta’ala mengabarkan tentang orang-orang munafik, bahwasanya mereka, ketika diajak untuk berhakim kepada syariat Allah, mereka menolak dan berpaling. Allah Ta’ala berfirman,

ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ู‚ููŠู„ูŽ ู„ูŽู‡ูู…ู’ ุชูŽุนูŽุงู„ูŽูˆู’ุง ุฅูู„ูŽู‰ ู…ูŽุง ุฃูŽู†ู’ุฒูŽู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูˆูŽุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ู ุฑูŽุฃูŽูŠู’ุชูŽ ุงู„ู’ู…ูู†ูŽุงููู‚ููŠู†ูŽ ูŠูŽุตูุฏู‘ููˆู†ูŽ ุนูŽู†ู’ูƒูŽ ุตูุฏููˆุฏู‹ุง (61)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,’ (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) darimu sekuat tenaga.” (An-Nisaโ€™: 61).

Sebagaimana Allah juga mengabarkan tentang mereka yang memandang kerusakan sebagai perbaikan, karena fitrah mereka memang sudah terbalik, dan hati mereka telah rusak. Allah Ta’ala berfirman,

ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ู‚ููŠู„ูŽ ู„ูŽู‡ูู…ู’ ู„ูŽุง ุชููู’ุณูุฏููˆุง ูููŠ ุงู„ู’ุฃูŽุฑู’ุถู ู‚ูŽุงู„ููˆุง ุฅูู†ู‘ูŽู…ูŽุง ู†ูŽุญู’ู†ู ู…ูุตู’ู„ูุญููˆู†ูŽ (11) ุฃูŽู„ูŽุง ุฅูู†ู‘ูŽู‡ูู…ู’ ู‡ูู…ู ุงู„ู’ู…ููู’ุณูุฏููˆู†ูŽ ูˆูŽู„ูŽูƒูู†ู’ ู„ูŽุง ูŠูŽุดู’ุนูุฑููˆู†ูŽ (12)

Dan apabila dikatakan kepada mereka, Janganlah berbuat kerusakan di bumi! Mereka menjawab, Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.” (Al-Baqarah: 11-12).

Karena itu, berhakim kepada selain syariat Allah termasuk amal perbuatan kaum munafikin, dan itu termasuk kerusakan paling besar di muka bumi.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Mayoritas ahli tafsir berkata, ‘Yakni, janganlah kalian membuat kerusakan di bumi dengan berbuat maksiat, menyeru kepada kepatuhan kepada selain Allah sesudah Allah memperbaikinya dengan mengutus para Rasul, menjelaskan syariat dan menyeru kepada ketaatan kepadaNya. Beribadah kepada selain Allah, syirik kepada Allah dan mengajak berdoa kepada selainNya merupakan kerusakan terbesar di muka bumi, bahkan rusaknya bumi, sejatinya adalah dengan syirik kepada Allah dan menyelisihi perintahNya.

Syirik, berdakwah kepada selain Allah, mengangkat sesembahan selain Allah, menunjuk seseorang yang ditaati dan diikuti selain Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wasallam adalah kerusakan terbesar di muka bumi. Bumi dan penghuninya tidak menjadi baik kecuali bila hanya Allah semata yang disembah, ibadah hanya kepadaNya bukan kepada selainNya, ketaatan dan kepatuhan hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada yang lain, sementara selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya wajib ditaati bila dia memerintahkan kepada ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bila dia memerintahkan kedurhakaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan penyelisihan terhadap syariat beliau, maka tidak ada kewajiban taat dan mendengar untuknya. Barangsiapa memperhatikan alam dan melihat semua kebaikan bagi bumi, sebabnya adalah tauhid kepada Allah, menyembahNya dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua keburukan di alam, fitnah, ujian, kekeringan, kekuasaan musuh dan lainnya, semuanya disebabkan oleh penyelisihan terhadap RasulNya dan seruan kepada selain Allah dan RasulNya.”[12]

Allah Ta’ala menamakan semua hukum yang menyelisihi hukumnya dengan hukum jahiliyah. Allah Ta’ala berfirman,

ุฃูŽููŽุญููƒู’ู…ูŽ ุงู„ู’ุฌูŽุงู‡ูู„ููŠู‘ูŽุฉู ูŠูŽุจู’ุบููˆู†ูŽ ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ุฃูŽุญู’ุณูŽู†ู ู…ูู†ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุญููƒู’ู…ู‹ุง ู„ูู‚ูŽูˆู’ู…ู ูŠููˆู‚ูู†ููˆู†ูŽ (50)

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka cari (kehendaki)? Dan siapakah yang lebih baik hukum(nya) daripada Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Al-Ma`idah: 50).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengingkari siapa saja yang menyimpang dari hukumNya yang muhkam, yang mengandung segala kebaikan, yang melarang segala keburukan; dia berpaling kepada selainnya berupa pendapat-pendapat, hawa nafsu-hawa nafsu, terminologi-terminologi yang dibuat oleh manusia tanpa sandaran syariat Allah, sebagaimana orang-orang jahiliyah menetapkan hukum berdasarkan kebodohan dan kesesatan yang mereka susun melalui akal dan hawa nafsu mereka, sebagaimana hukum yang diterapkan oleh orang-orang Tartar berupa keputusan-keputusan kerajaan yang diambil dari raja mereka Jengis Khan yang meletakkan undang-undang al-Yasiq, yaitu sebuah buku hukum yang dia kumpulkan dari berbagai macam syariat, dari agama Yahudi, Nasrani, Islam dan lainnya. Di sana juga ada banyak hukum yang dia tetapkan berdasarkan pertimbangan akal dan hawa nafsunya, ia menjadi syariat yang diikuti di kalangan rakyatnya, mereka mendahulukannya atas hukum yang berdasarkan al-Qurโ€™an dan as-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa melakukan ini dari mereka, maka dia kafir, wajib diperangi, hingga dia kembali kepada hukum Allah dan RasulNya, dan tidak menetapkan hukum kecuali dengannya, baik dalam urusan besar maupun kecil.”[13]

Tidak berbeda dengan hukum yang Ibnu Katsir sebutkan dari orang-orang Tartar dan beliau menetapkan kekafiran siapa yang menjadikannya sebagai pengganti syariat Islam; undang-undang buatan manusia yang di zaman ini diterapkan di banyak negara dan dijadikan sebagai sandaran hukum dengan mengesampingkan syariat Islam, kecuali dalam perkara yang mereka sebut dengan ahwal syakhsyiyah (perdata).

Dalil yang menetapkan kekafiran siapa yang berbuat demikian berjumlah banyak, di antaranya adalah Firman Allah Ta’ala,

ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุญู’ูƒูู…ู’ ุจูู…ูŽุง ุฃูŽู†ู’ุฒูŽู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ููŽุฃููˆู„ูŽุฆููƒูŽ ู‡ูู…ู ุงู„ู’ูƒูŽุงููุฑููˆู†ูŽ (44)

Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Al-Maโ€™idah: 44).

Juga Firman Allah Ta’ala,

ููŽู„ูŽุง ูˆูŽุฑูŽุจู‘ููƒูŽ ู„ูŽุง ูŠูุคู’ู…ูู†ููˆู†ูŽ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ูŠูุญูŽูƒู‘ูู…ููˆูƒูŽ ูููŠู…ูŽุง ุดูŽุฌูŽุฑูŽ ุจูŽูŠู’ู†ูŽู‡ูู…ู’

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisaโ€™: 65).

Dan juga Firman Allah Ta’ala,

ุฃูŽููŽุชูุคู’ู…ูู†ููˆู†ูŽ ุจูุจูŽุนู’ุถู ุงู„ู’ูƒูุชูŽุงุจู ูˆูŽุชูŽูƒู’ููุฑููˆู†ูŽ ุจูุจูŽุนู’ุถู ููŽู…ูŽุง ุฌูŽุฒูŽุงุกู ู…ูŽู†ู’ ูŠูŽูู’ุนูŽู„ู ุฐูŽู„ููƒูŽ ู…ูู†ู’ูƒูู…ู’ ุฅูู„ู‘ูŽุง ุฎูุฒู’ูŠูŒ ูููŠ ุงู„ู’ุญูŽูŠูŽุงุฉู ุงู„ุฏู‘ูู†ู’ูŠูŽุง ูˆูŽูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุงู„ู’ู‚ููŠูŽุงู…ูŽุฉู ูŠูุฑูŽุฏู‘ููˆู†ูŽ ุฅูู„ูŽู‰ ุฃูŽุดูŽุฏู‘ู ุงู„ู’ุนูŽุฐูŽุงุจู ูˆูŽู…ูŽุง ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุจูุบูŽุงููู„ู ุนูŽู…ู‘ูŽุง ุชูŽุนู’ู…ูŽู„ููˆู†ูŽ (85)

Apakah kalian beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 85).

Dan sebagaimana yang kami katakan tidak jauh sebelumnya, wajib menjadikan Syariat Islam sebagai dasar hukum, sebagai akidah dan agama yang dipegang dalam beragama kepada Allah, dan bukan sekedar demi mencari keadilan saja.

Begitulah, dan seorang hamba wajib menerima hukum Allah, baik vonis hukum berpihak kepadanya atau tidak, sejalan dengan hawa nafsunya atau tidak. Allah Ta’ala berfirman,

ููŽู„ูŽุง ูˆูŽุฑูŽุจู‘ููƒูŽ ู„ูŽุง ูŠูุคู’ู…ูู†ููˆู†ูŽ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ูŠูุญูŽูƒู‘ูู…ููˆูƒูŽ ูููŠู…ูŽุง ุดูŽุฌูŽุฑูŽ ุจูŽูŠู’ู†ูŽู‡ูู…ู’ ุซูู…ู‘ูŽ ู„ูŽุง ูŠูŽุฌูุฏููˆุง ูููŠ ุฃูŽู†ู’ููุณูู‡ูู…ู’ ุญูŽุฑูŽุฌู‹ุง ู…ูู…ู‘ูŽุง ู‚ูŽุถูŽูŠู’ุชูŽ ูˆูŽูŠูุณูŽู„ู‘ูู…ููˆุง ุชูŽุณู’ู„ููŠู…ู‹ุง (65)

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaโ€™: 65).

Allah Ta’ala berfirman,

ูˆูŽู…ูŽุง ูƒูŽุงู†ูŽ ู„ูู…ูุคู’ู…ูู†ู ูˆูŽู„ูŽุง ู…ูุคู’ู…ูู†ูŽุฉู ุฅูุฐูŽุง ู‚ูŽุถูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ูˆูŽุฑูŽุณููˆู„ูู‡ู ุฃูŽู…ู’ุฑู‹ุง ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽูƒููˆู†ูŽ ู„ูŽู‡ูู…ู ุงู„ู’ุฎููŠูŽุฑูŽุฉู ู…ูู†ู’ ุฃูŽู…ู’ุฑูู‡ูู…ู’

Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang Mukmin dan perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.” (Al-Ahzab: 36).

Dan Allah Ta’ala ย berfirman,

ููŽุฅูู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุณู’ุชูŽุฌููŠุจููˆุง ู„ูŽูƒูŽ ููŽุงุนู’ู„ูŽู…ู’ ุฃูŽู†ู‘ูŽู…ูŽุง ูŠูŽุชู‘ูŽุจูุนููˆู†ูŽ ุฃูŽู‡ู’ูˆูŽุงุกูŽู‡ูู…ู’ ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ุฃูŽุถูŽู„ู‘ู ู…ูู…ู‘ูŽู†ู ุงุชู‘ูŽุจูŽุนูŽ ู‡ูŽูˆูŽุงู‡ู ุจูุบูŽูŠู’ุฑู ู‡ูุฏู‹ู‰ ู…ูู†ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู (50)

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah?” (Al-Qashash: 50).

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ู„ูŽุง ูŠูุคู’ู…ูู†ู ุฃูŽุญูŽุฏููƒูู…ู’ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ูŠูŽูƒููˆู’ู†ูŽ ู‡ูŽูˆูŽุงู‡ู ุชูŽุจูŽุนู‹ุง ู„ูู…ูŽุง ุฌูุฆู’ุชู ุจูู‡ู

Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa.[14]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Makna hadits bahwa seseorang tidak beriman dengan iman yang sempurna yang wajib, hingga kecintaannya mengikuti apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan lainnya, lalu dia mencintai apa yang beliau perintahkan, membenci apa yang beliau larang. Dan al-Qurโ€™an hadir menetapkan makna ini dalam banyak ayatโ€ฆ Allah mencela siapa yang membenci apa yang Allah cintai atau mencintai apa yang Allah benci, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

ุฐูŽู„ููƒูŽ ุจูุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ูู…ู ุงุชู‘ูŽุจูŽุนููˆุง ู…ูŽุง ุฃูŽุณู’ุฎูŽุทูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ูŽ ูˆูŽูƒูŽุฑูู‡ููˆุง ุฑูุถู’ูˆูŽุงู†ูŽู‡ู ููŽุฃูŽุญู’ุจูŽุทูŽ ุฃูŽุนู’ู…ูŽุงู„ูŽู‡ูู…ู’ (28)

Yang demikian itu, karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan membenci (apa yang menimbulkan) keridhaanNya; sebab itu Allah menghapus segala amal mereka.‘ (Muhammad: 28).”

Masih kata Ibnu Rajab, “Allah menyifati orang-orang musyrik bahwa mereka adalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dalam beberapa ayat dalam kitabNya. Allah Ta’ala berfirman,

ููŽุฅูู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุณู’ุชูŽุฌููŠุจููˆุง ู„ูŽูƒูŽ ููŽุงุนู’ู„ูŽู…ู’ ุฃูŽู†ู‘ูŽู…ูŽุง ูŠูŽุชู‘ูŽุจูุนููˆู†ูŽ ุฃูŽู‡ู’ูˆูŽุงุกูŽู‡ูู…ู’ ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ุฃูŽุถูŽู„ู‘ู ู…ูู…ู‘ูŽู†ู ุงุชู‘ูŽุจูŽุนูŽ ู‡ูŽูˆูŽุงู‡ู ุจูุบูŽูŠู’ุฑู ู‡ูุฏู‹ู‰ ู…ูู†ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah?‘ (Al-Qashash: 50).

Demikian juga bid’ah-bid’ah, ia lahir karena mendahulukan hawa nafsu atas syariat, karena itu ahli bid’ah disebut juga pengikut hawa nafsu. Demikian juga kemaksiatan, ia lahir karena mendahulukan hawa nafsu di atas cinta Allah dan apa yang Allah cintai. Demikian juga cinta seseorang, yang semestinya dicintai mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang Mukmin wajib mencintai Allah, mencintai apa yang Allah cintai, yaitu malaikat-malaikat, para rasul, para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih secara umum.”[15]

Keterangan:

[1] At-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 3095, diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 17/92, no. 218.

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadlih, 2/925.

[3] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra, hal. 111.

[4] Lihat Siyar A’lam an-Nubalaโ€™, 8/93 dan al-Bidayah wa an-Nihayah, 14/140.

[5] Lihat Siyar A’lam an-Nubalaโ€™, 10/35.

[6] Lihat Siyar A’lam an-Nubalaโ€™, 10/35.

[7] Ash-Sharim al-Maslul, 2/116.

[8] Lihat Majmu’ al-Fatawa, 26/50.

[9] Fath al-Majid, hal. 423.

[10] Fath al-Majid, hal. 426.

[11] Kitab at-Tauhid, hal. 166-167.

[12] Badaโ€™iโ€™ al-Fawaโ€™id, 3/19.

[13] Tafsirnya, 2/68.

[14]ย  Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, no. 15.

[15] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 2/395.

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaโ€™ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.