Telah maklum bahwa qadha puasa Ramadhan merupakan kewajiban atas orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena udzur syar’i, seperti safar dan sakit. Sebagaimana firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain…” (al-Baqarah: 184)

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (al-Baqarah: 185)

Dalam hal qadha puasa yang ditinggalkan ini, ada beberapa masalah yang patut kiranya dimengerti, antara lain,

Masalah Pertama:

Penyegeraan dan Penundaan dalam Mengqadha Puasa Wajib

Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara para fuqaha tentang disukainya tindakan menyegerakan qadha untuk menggugurkan sesuatu yang wajib dan membebaskan tanggungan. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal mengakhirkan qadha puasa Ramadhan, menjadi beberapa pendapat.

Pendapat pertama, Bahwa qadha puasa Ramadhan itu merupakan kewajiban yang bersifat longgar yang dapat dilakukan hingga bulan Sya’ban di mana memungkinkan seseorang untuk melakukan qadha sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Dengan pendapat inilah kebanyakan para fuqaha berpendapat. [1]

Pendapat kedua, Bahwa qadha puasa Ramadhan itu merupakan kewajiban yang bersifat segera. Dengan pendapat inilah sebagian kalangan Hanafiyah[2] dan sebagian kalangan Malikiyah[3] berpendapat.

Pendapat ketiga, Bahwa qadha puasa Ramadhan itu merupakan kewajiban yang bersifat longgar sampai tersisanya waktu yang memungkinkan untuk dilakukan qadha sebelum tiba bulan Ramadhan berikutnya, bila mana tindakan tidak berpuasa itu karena suatu udzur. Kalau tidak demikian, maka kewajiban qadha puasa Ramadhan itu bersifat segara bila tindakan tidak berpuasa itu dilakukan tanpa udzur. Inilah pendapat yang benar dikalangan Syafi’iyyah[4]

 

Dalil-dalil

Dalil-dalil pendapat pertama:

1-Firman-Nya,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain…” [5]

Sisi pendalilannya:

Ayat ini menunjukan akan kelonggaran dalam mengqadha puasa Ramadhan, karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-mewajibkannya untuk dilakukan pada hari-hari yang lain secara mutlak, tanpa diikat dengan waktu tertentu.[6]

2-Hadis ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-, ia berkata,

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

“Aku pernah mempunyai hutang puasa Ramadhan, namun aku tidak dapat mengqadha kecuali pada bulan Sya’ban.” [7]

Sisi pendalilannya:

Hadis ini menunjukkan kelonggaran dalam mengqadha, karena tindakan ‘Aisyah dan penetapan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- terhadapnya, karena yang nampak bahwa beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengetahui hal tersebut.

Namun, berdalil dengan hadis ini disanggah dengan dikatakan bahwa penundaan qadha puasa yang dilakukan ‘Aisyah sampai bulan Sya’ban karena ia ada udzur[8] berdasarkan dalil yang terdapat dalam hadis tersebut,

قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنْ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Yahya (salah seorang rawi hadis tersebut) berkata, ‘Karena tersibukkan dengan Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم-.”[9]

Namun, ini ditanggapi dengan bahwa ucapan ini merupakan sisipan kalimat dari pihak Yahya. Menunjukkan kepada hal itu perkataannya,

فَظَنَنْتُ أَنَّ ذَلِكَ لِمَكَانِهَا مِنَ النَّبِىِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

“Maka aku kira bahwa hal itu karena kedudukannya (‘Aisyah) di sisi Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم-.” [10]

Kedua: Dalil mereka akan wajibnya qadha ketika masih ada hari yang tersisa yang memungkinkan untuk dilakukan qadha

1-Hadis ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- yang lalu

Sisi pendalilannya:

Hadis tersebut menunjukan akan wajibnya qadha ketika masih tersisa hari yang memungkinkan untuk dilakukan qadha, karena ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَ- tidaklah menunda qadha dari batas waktu tersebut, andaikata boleh niscaya ia akan menundanya.

2-Bahwa puasa merupakan ibadah yang berulang, karena itu tidak boleh menunda yang pertama hingga tiba kewajiban puasa yang berikutnya, seperti halnya shalat-shalat fardhu. [11]

 

Dalil pendapat kedua:

Untuk pendapat kedua, didasarkan pada dalil-dalil yang menunjukkan bahwa perintah itu berkonsekwensi pada dilakukannya sesuatu yang diperintah tersebut dengan segera.

1-Firman-Nya -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” [12]

2-Firman-Nya -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu…”[13]

3-Apa yang diriwayatkan al-Bukhari dari jalur Urwah bin Zubair dari al-Musawwir Ibnu Makhramah dan Marwan, keduanya mengatakan: … di dalamnya disebutkan sabda beliau -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم– … :

قُومُوا فَانْحَرُوا ثُمَّ احْلِقُوا

“Bangkitlah kalian! Lalu, sembelihlah! Kemudian, kurislah (rambut kepala kalian)…”

فَلَمَّا لَمْ يَقُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ دَخَلَ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَذَكَرَ لَهَا مَا لَقِيَ مِنْ النَّاسِ

“Maka, ketika tidak ada seorang pun di antara mereka yang bangkit, beliau pun masuk menemui Ummu Salamah lalu beliau memberitahukan kepadanya apa yang ditemuinya dari orang-orang.” [14]

Sisi pendalilannya:

Bahwa Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَmengadukan kepada Ummu Salamah perihal sikap lambatnya orang-orang untuk mengerjakan perintahnya. Maka, hal ini menunjukkan bahwa perintah itu bersifat segera untuk dilakukan.

Namun, berdalil dengan ini disanggah dengan dikatakan bahwa dalil-dalil ini dikhususkan dengan apa yang telah disebutkan berupa dalil-dalil pendapat pertama yang membolehkan penundaan puasa qadha sampai tersisanya waktu yang memungkinkan untuk melakukan qadha.

 

Dalil-dalil pendapat ketiga:

1-Dalil mereka akan bolehnya pelonggaran dalam melakukan qadha jika penundaan itu karena suatu udzur adalah apa yang dijadikan dalil oleh kalangan yang berpendapat dengan pendapat pertama akan hal tersebut.

Kedua: Dalil mereka akan wajibnya bersegara dalam melakukan qadha jika penundaan itu bukan karena udzur adalah bahwa orang tersebut bersikap menyepelekan, sementara orang yang menyepelekan itu tidak memiliki udzur.

Namun, dalil ini disanggah dengan dikatakan bahwa keadaan orang tersebut menyepelekan tidaklah menghalangi qadha yang bersifat longgar-menurut kalangan yang mengatakan disyariatkannya qadha-berdasarkan zhahir ayat.

 

Pendapat yang Rajih (kuat)

Pendapat yang kuat-Wallahu A’lam– adalah apa yang menjadi pendapat kalangan yang berpendapat dengan pendapat yang pertama, karena zhahir al-Qur’an dan sunnah.

 

Masalah Kedua:

Penundaan Qadha Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya

A. Penundaan karena udzur

Para fuqaha sepakat akan bolehnya penundaan pelaksanaan qadha sampai setelah Ramadhan berikutnya jika udzur yang membolehkan untuk tidak berpuasa masih ada pada bulan Ramadhan berupa safar atau sakit dan selain keduanya sampai bulan Ramadhan berikutnya.

Ibnu Baththal -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Para ahli ilmu sepakat bahwa barang siapa telah mengqadha puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban sebanyak yang ditinggalkannya bahwa ia telah menunaikan kewajibannya, dia tidak dikatakan sebagai orang yang menyepelekan (kewajibannya)[15] [16] karena tidak ada batas untuk akhir waktu pelaksanaan qadha. Karena, pada asalnya tidak ada pembatasan dan tidak ada riwayat yang menjelaskan pembatasannya.

Dan, oleh karena udzur ini membolehkan penundaan pelaksanaan puasa Ramadhan, maka kebolehannya untuk menunda pelaksanaan qadha tentunya lebih utama.

Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang gugurnya qadha dan wajibnya membayar fidyah, menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: Ia wajib mengqadha dan tidak wajib membayar fidyah.

Ini adalah madzhab Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad[17], Thawus, al-Hasan al-Bashri, an-Nakha’i, Hamad bin Abi Sulaiman, al-Auza’i, dan Ishak. Dan, ini merupakan pendapat kalangan Zhahiriyah [18]

Alasannya,

1- (Firman-Nya)فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ   “maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain…” Hal tersebut menunjukkan akan wajibnya qadha, tersibukkannya diri dengan qadha, dan tidak ada dalil yang menunjukkan akan gugurnya (kewajiban mengqadha).

2-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthniy dari jalan Ibrahim bin Nafi’ al-Jalab, (ia menceritakan) telah menceritakan kepada kami Umar bin Wajih, (ia berkata) telah menceritakan kepada kami al-Hakam, dari Mujahid, dari Abu Hurairah dari Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– , tentang seorang lelaki yang berbuka (tidak berpuasa) di bulan Ramadhan kemudian ia jatuh sakit, kemudian sehat (sembuh) namum belum saja berpuasa (qadha) hingga Ramadhan berikutnya mendapatinya, beliau mengatakan,

يَصُوْمُ الَّذِي أَدْرَكَهُ ثُمَّ يَصُوْمُ الشَّهْرَ الَّذِي أَفْطَرَ فِيْهِ وَيُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا

“Ia berpuasa yang ia dapati, kemudian ia berpuasa bulan yang ia tidak berpuasa di dalamnya dan memberikan makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.”[19]

3-Apa yang diriwayatkan ad-Daruquthniy dari jalan ‘Atha dari Abu Hurairah tentang seseorang yang jatuh sakit di bulan Ramadhan, kemudian ia sehat, namun ia tidak segera berpuasa hingga Ramadhan berikutnya mendapati dirinya, beliau berkata,

يَصُوْمُ الَّذِي أَدْرَكَهُ وُيُطْعِمُ عَنْ اْلأَوَّلِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةِ لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ فَإِذَا فَرَغَ فِي هَذَا صَامَ الَّذِيْ فَرَّطَ فِيْهِ

“Hendaknya ia berpuasa yang ia dapati dan untuk yang pertama, ia memberi makan sebanyak satu mud gandum untuk setiap seorang miskin untuk setiap hari (puasa yang ditinggalkannya). Lantas, apabila ia telah usai dari hal ini, selanjutnya ia berpuasa yang telah ia sepelekan.”[20]

Di mana di dalamnya terdapat kewajiban meng-qadha.

4-Bahwa pada asalnya adalah terbebasnya seseorang dari kewajiban membayar fidyah, dan karena orang tersebut sejatinya tidaklah menyepelekan di dalam pengqadhaannya.

5-Dan oleh kerena orang tersebut telah dibolehkan untuk tidak berpuasa karena suatu udzur, maka kebolehan tersebut tidak hilang melainkan dengan hilangnya udzur tersebut, berdasarkan apa yang ditetapkan bahwa keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan ‘illat (sebab)-nya. Ada ‘illat ada hukum, tak ada ‘illat tak ada hukum. Maka, selagi udzur tersebut masih terus melekat pada dirinya, maka masih melekat pula padanya hukum bolehnya tidak berpuasa, tidak wajibnya dirinya berpuasa dan ia pun tidak berdosa karena penundaan (qadha) yang dilakukannya.

6-Bahwa pada asalnya adalah kewajiban mengqadha puasa, dan orang tersebut mampu melakukannya. Maka, ia tidak perlu memberikan makan, karena siapa yang mampu melakukan sesuatu yang menjadi asal kewajibannya menghalanginya untuk melakukan gantinya.

7-Masalah ini dikiaskan dengan orang yang mengakhirkan qadha karena suata udzur, kemudian ia meninggal dunia sebelum udzur tersebut hilang. Maka, gugur darinya kewajiban mengqadha dan membayar kafarat. Adapun orang yang masih hidup, maka gugur darinya membayar kafarat bukan qadha, karena masih memungkinkannya untuk melakukan qadha.

Pendapat kedua: Ia membayar fidyah dan tidak berkewajiban mengqadha. Dengan pendapat ini Sa’id bin Jubair dan Qatadah berpendapat. [21]

Alasannya,

1-Apa yang diriwayatkan Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-, ia berkata, “Barang siapa yang mendapati bulan Ramadhan berikutnya sementara ia sakit, tidak sehat dalam rentang waktu keduanya, maka ia mengganti bulan berikutnya dengan puasa, dan mengganti yang pertama dengan memberi makan satu mud gandum (untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya) dan ia tidak berpuasa.” [22]

2-Apa yang diriwayatkan Abdurrazzaq dari Ibnu Juraij, dari Yahya bin Sa’id, dari Ibnu Umar-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-, Ia berkata, “Barang siapa sakit di bulan Ramadhan, lalu mendapati Ramadhan berikutnya dalam keadaan sakit pula, maka hendaknya ia tidak berpuasa Ramadhan berikutnya tersebut, kemudian hendaknya ia berpuasa untuk yang pertama dan memberi makan satu mud untuk setiap hari Ramadhan yang pertama. Ia berkata, ‘dan hal tersebut sampai kepadaku dari Umar bin Khaththab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-‘ “. [23]

3-Dan al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan Juwairiyah bin Asma dari Nafi’ bahwa Abdullah (ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-) pernah mengatakan, “Barang siapa berbuka (tidak berpuasa) beberapa hari di bulan Ramadhan saat ia jatuh sakit lantas ia meninggal sebelum mengqadhanya, maka digantikan untuknya dengan memberi makan seorang miskin sebanyak satu mud gandum untuk setiap puasa yang ditinggalkannya pada hari-hari tersebut. Lalu jika ia mendapati Ramadhan tahun berikutnya dan belum mengganti puasa Ramadhan sebelumnya, lalu ia mampu berpuasa (Ramadhan) tahun berikutnya, maka hendaknya ia memberi makan seorang miskin sebanyak satu mud gandum untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya dan hendaknya ia berpuasa Ramadhan tahun berikutnya.

Inilah yang shahih (benar) bahwa riwayat ini mauquf kepada Ibnu Umar. Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila meriwayatkannya dari Nafi’. Ia telah melakukan kesalahan.[24]

4-Ad-Daruquthni berkata, dari jalan al-Hasan bin al-Hurr dari Nafi’ bahwa Abdullah (Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-) berkata, “Barang siapa yang mendapati Ramadhan berikutnya sementara ia mempunyai tanggungan puasa Ramadhan sebelumnya, maka hendaklah ia memberi makan seorang miskin sebanyak satu mud gandum sebagai ganti untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.”[25]

5-Apa yang disebutkan oleh al-Jashshash dari jalan ‘Amru bin Maimun bin Mihran dari ayahnya, ia berkata, ‘Seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu ia mengatakan, ‘Aku sakit dua Ramadhan. Lantas, Ibnu Abbas mengatakan (kepada lelaki tersebut), ‘sakitmu terus saja menyertaimu ataukah engkau mengalami sehat di antara kedua Ramadhan tersebut ? Lelaki itu pun menjawab, ‘bahkan saya sempat mengalami sehat di antara kedua Ramadhan tersebut.’

Ibnu Abbas kembali bertanya kepada lelaki tersebut,’Apakah hal ini telah terjadi’ ?

Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’.

Ibnu Abbas berkata, ‘Jika demikian, tinggalkanlah perkara ini hingga benar-benar hal itu terjadi.’

Lantas, lelaki tersebut bangkit menemui para sahabatnya. Lalu, ia memberitahukan kepada mereka hal tersebut. Merekapun mengatakan kepadanya, ‘kembalilah engkau, lalu beritahukanlah kepadanya (Ibnu Abbas) bahwasanya hal tersebut benar-benar telah  terjadi. Maka, lelaki itu atau yang lainnya pun kembali (menemui Ibnu Abbas) dan bertanya kepadanya. Ibnu Abbas pun mengatakan (kepadanya), ‘Apakah ini telah terjadi ?’ lelaki itu pun menjawab, ‘Iya’. Lantas Ibnu Abbas mengatakan (kepada lelaki tersebut), “ Berpuasalah dua Ramadhan tersebut dan berilah makan 30 orang miskin.”[26]

Atsar ini disanggah dengan dikatakan bahwa riwayat ini menyelisihi apa yang datang dari Abu Hurairah berupa wajibnya melakukan qadha.

6-Hal ini dikiaskan kepada orang yang telah lanjut usia, wanita hamil dan wanita menyusui apabila keduanya mengkhawatirkan terhadap anaknya, maka tidak wajib atas keduanya untuk mengqadha.

7-Bahwa qadha Ramadhan dibatasi oleh waktu antara kedua Ramadhan. Maka, jika menundanya dari tahun pertama, berarti ia telah menundanya dari waktunya hingga waktu di mana puasa qadha tidak akan diterima, dan tidak sah dilakukan qadha pada waktu itu.[27]

8-Ibnu Qudamah -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Penundaan puasa Ramadhan dari waktunya hingga waktu di mana tidak diterima dan tidak sah melakukannya, bila mana tidak mewajibkan qadha maka hal itu mewajibkan untuk membayar fidyah, seperti orang yang telah lanjut usia.”[28]

Argumentasi ini disanggah dari dua sisi :

Sisi pertama: Tidak diterimanya asal yang dikiaskan, di mana hal tersebut merupakan hal yang diperselisihkan oleh para ulama.

Sisi kedua:  Pedapat mereka, “Menunda puasa hingga waktu di mana qadha tidak diterima” tidak dapat diterima, karena beberapa dalil pendapat pertama yang telah lalu.

Pendapat yang Rajih (Kuat)

Pendapat yang rajih (kuat) –Wallahu A’lam– adalah pendapat pertama; karena kuatnya dalil-dalilnya dan sanggahan terhadap beberapa dalil pendapat kedua.

 

B. Penundaan yang dilakukan tanpa udzur

Dalam hal ini ada dua masalah;

Masalah pertama: Keharaman melakukan penundaan hingga Ramadhan berikutnya.

Bila penundaan qadha hingga Ramadhan berikutnya dilakukan tanpa udzur, maka ada dua pendapat ulama.

Pedapat pertama: Seseorang tidak boleh menundanya, ia wajib mengqadha sebelum tibanya bulan Ramadhan berikutnya.

Ini adalah Madzhab Malikiyah[29], Syafi’iyyah[30], dan Hanabilah[31]

Alasannya,

1-Hadis ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- yang telah lalu

Sisi pendalilannya:

Hadis tersebut menunjukkan akan wajibnya qadha kala tersisa waktu yang memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan qadha, karena ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- tidak menunda qadha dari waktu itu, andai kata boleh niscaya ia bakal melakukannya.

Namun, argumentasi ini disanggah dengan dikatakan bahwa ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- memilih untuk melakukan qadha pada bulan Sya’ban karena Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak berhajat kepadanya pada bulan tersebut karena beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya.

2- Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang berulang,  maka tidak boleh menunda yang pertama hingga datang yang kedua, seperti halnya shalat-shalat fardhu [32]

Pendapat kedua: Boleh bagi seseorang menunda qadha secara mutlak walaupun sampai Ramadhan berikutnya. Ini adalah madzhab Hanafiyah [33]

Alasannya,

1-Firman-Nya -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain…” [34]

 Dalam ayat ini tidak ada pembatasan waktu dan pembatasan waktu dengan apa yang ada antara dua Ramadhan merupakan tambahan terhadap apa yang datang dalam nash tersebut.

Argumentasi ini disanggah dengan dikatakan bahwa pembatasan waktunya datang dalam hadis ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-.

2-Kemudian ini merupakan ibadah yang dibatasi waktu, pelaksanaan qadhanya tidak dibatasi oleh waktu sebelum datang waktu semisalnya, seperti seluruh bentuk ibadah.

3-Dan oleh karena qadha tersebut dibatasi dengan waktu antara dua Ramadhan, maka pengakhiran dari waktu qadha seperti pengakhiran dari waktu pelaksanaannya, sementara pengakhiran pelaksanaan dari waktunya tidak berkonsekwensi apa pun atas seseorang, melainkan hanya wajibnya berpuasa karena sebab bukan karena pengakhiran pelaksanaannya. Maka, demikian pula pengakhiran pelaksanaan qadha dari waktunya.[35]

Analogi ini disanggah dengan dikatakan bahwa ini merupakan analogi pembandingan dalam hal yang serupa.

Barangkali pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pendapat tersebut lebih bersifat hati-hati dan lebih cepat dalam hal membebaskan diri dari tanggungan, dan juga karena dalil-dalil yang mereka kemukakan.

 

Masalah kedua: Wajibnya Membayar Fidyah

Sebab beda pendapat

Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebab terjadinya beda pendapat ini, antara lain,

  • Silang pendapat kalangan para sahabat dalam masalah ini
  • Adanya perbedaan pendapat dalam hal pembatasan waktu melakukan qadha yaitu rentang waktu antara dua Ramadhan
  • Adanya perbedaan pendapat dalam hal penerapan analogi dalam masalah kafarat.[36]

Bila seseorang menunda pelaksanaan qadha hingga Ramadhan berikutnya tanpa udzur, para fuqaha berbeda pendapat dalam hal wajibnya membayar fidyah menjadi beberapa pendapat,

Pendapat pertama: Bahwa tak ada kewajiban apa pun atasnya selain ia berdosa, walaupun ia mengakhirkannya beberapa kali Ramadhan. Ini adalah madzhab kalangan Hanafiyah[37] dan dengan ini pula sebagian kalangan Syafi’iyyah, di antaranya adalah al-Muzaniy[38] berpendapat, begitu pula sebagian kalangan Hanabilah[39], Ibnu Hazm dan Dawud[40], al-Hasan, Thawus, Hammad bin Abi Sulaiman, dan an-Nakha’iy [41]

Pendapat kedua: Bahwa orang tersebut diharuskan membayar satu kafarat walaupun ia mengakhirkannya beberapa kali Ramadhan.

Ini adalah madzhab Malikiyah[42], sebagian kalangan Syafi’iyyah[43] berpendapat dengan pendapat ini, dan ini juga merupakan madzhab Hanabilah[44]

Dan, dengan ini pula Mujahid, Sa’id bin Jubair, Atha, al-Qasim, az-Zuhriy, ats-Tsauriy, al-Auza’iy, al-Hasan bin Huyyai, al-Laits bin Sa’ad, Ishak bin Rahawaih[45] berpendapat.

Dan, Yahya bin Aktsam menyebutkan bahwasnya kewajiban memberikan makan dinukil dari 6 orang dari kalangan para sahabat di mana tidak diketahui adanya penyelisihan sahabat yang lainnya terhadap pendapat keenam sahabat tersebut. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.[46]

Pendapat ketiga: Bahwasanya wajib atas orang tersebut membayar kafarat-kafarat sejumlah Ramadhan yang ditundanya. Ini pendapat yang dibenarkan di kalangan Syafi’iyah [47]  

 

Dalil-dalil

Dalil pendapat pertama :

Dalil mereka akan tidak wajibnya membayar kafarat tersebut adalah :

  • Firman-Nya,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ 

“maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain…” [48]

Sisi pendalilannya:

1-Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mewajibkan qadha sebanyak hari yang seseorang tidak berpuasa pada hari-hari yang lain, dan ini mencakup untuk penggantiannya setelah Ramadhan berikutnya, dan Allah tidak mewajibkan membayar kafarat.[49]

2-Ibnu Mas’ud -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -mengatakan perihal orang yang Ramadhan berikutnya mendapati dirinya sementara ia belum melakukan qadha, “Orang tersebut berpuasa dan mengqadha yang pertama” [50] Beliau -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- tidak menyebutkan ‘memberi makan’.

3-Bahwa pada asalnya adalah bebasnya seseorang dari kewajiban, dan pewajiban merupakan hukum syar’i yang membutuhkan kepada dalil syar’i, sementara itu tidak ada dalil yang menegaskan hal itu.[51]

4-Bahwa hal itu merupakan puasa wajib, maka tidak wajib atas orang tersebut membayar kafarat karena penundaannya seperti pelaksanaannya dan nazar [52]

Hal ini disanggah dengan dikatakan bahwa nazar itu tidak terbatasi dengan waktu. Namun, bila nazar tersebut dibatasi dengan waktu maka wajib dilakukan pada waktu tersebut. Adapun pelaksanaan puasa bulan Ramadhan, tidak boleh mengakhirkannya dari waktunya tanpa udzur. Lalu, bila terdapat udzur, dibolehkan bagi seseorang untuk tidak berpuasa dan diberikan kelapangan waktu untuk mengqadhannya. Dan ada yang mengatakan, ‘wajibnya membayar kafarat atas orang yang menyengaja tidak berpuasa di siang hari bulan Ramadhan dengan makan, minum dan lainnya, namun mereka semua sepakat akan wajibnya membayar kafarat karena seseorang melakukan hubungan intim, berbeda halnya dengan nazar.

5-Bahwa pembayaran fidyah itu diwajibkan sebagai ganti dari puasa ketika didapati kelemahan yang biasanya tidak bisa diharapkan adanya kemampuan kembali untuk melakukannya seperti terjadi pada orang yang telah lanjut usia. Sementara, pada diri orang yang meninggalkan puasa tanpa udzur tersebut tidak didapati sifat kelemahan tersebut karena ia mampu untuk melakukan qadha. Karenanya, kewajiban membayar fidyah atas dirinya yang disertai dengan kewajiban mengqadha  tidak memiliki makna.[53]

6-Pengkiasan terhadap ibadah yang dibatasi dengan waktu, sesungguhnya pengqadhaannya tidak terhenti dengan waktu sebelum datangnya waktu yang semisalnya. Maka, demikian pula halnya puasa. [54]

7-Sesungguhnya qadha itu tidak dilipatgandakan jumlahnya karena sebab penundaan pelaksanaannya, maka dari itu fidyah tidak ditambahkan kepada kewajiban mengqadha, karena jika ditambahkan hal itu semakna dengan pelipatgandaan.

Kedua: Dalil mereka bahwa orang tersebut berdosa adalah karena orang tersebut mengakhirkan qadha dari waktu wajibnya tanpa udzur.

 

Dalil-dalil pendapat kedua:

Pertama, dalil mereka akan wajibnya membayar kafarat

1-Firman-Nya -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”

Ibnu ‘Athiyyah mengatakan, “Ayat ini, menurut imam Malik, dalam kasus orang yang mendapatkan bulan Ramadhan berikutnya sementara ia memiliki hutang puasa Ramadhan sebelumnya, dalam rentang waktu itu sejatinya ia mampu untuk berpuasa (qadha), namun ia tidak melakukannya, maka ia wajib membayar fidyah.”[55]

Dan, al-Qadhi ‘Iyadh -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Zaed bin Aslam, az-Zuhri dan Malik mengatakan, ‘Ayat ini muhkam, turun dalam kasus orang yang sakit yang tidak berpuasa, kemudian ia sembuh namun tidak segera mengqadha puasa yang ditinggalkannya hingga bulan Ramadhan berikutnya mendapatinya, maka ia wajib berpuasa pada Ramadhan berikutnya tersebut, kemudian ia mengqadha (puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan sebelumnya) setelah ia berbuka (menyelesaikan puasa Ramadhan) dan ia pun berkewajiban memberi makan (seorang miskin) untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya … dan makna (يُطِيقُونَهُ) menurut pendapat ini, yakni, mereka mampu untuk mengqadha puasa yang diwajibkan atas mereka, namun mereka tidak mengqadhanya hingga Ramadhan berikutnya. [56]

Pendapat ini disanggah, bahwa hal tersebut menyelisihi tafsir yang datang dari kalangan para sahabat, sebagaimana telah lalu dalam kasus puasa orang yang telah lanjut usia.

2-Atsar Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ– yang telah lalu, yaitu, apa yang diriwayatkan ad-Daruquthniy dari jalan ‘Atha dari Abu Hurairah tentang seseorang yang jatuh sakit di bulan Ramadhan, kemudian ia sehat, namun ia tidak segera berpuasa hingga Ramadhan berikutnya mendapati dirinya, beliau berkata,

يَصُوْمُ الَّذِي أَدْرَكَهُ وُيُطْعِمُ عَنْ اْلأَوَّلِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةِ لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ فَإِذَا فَرَغَ فِي هَذَا صَامَ الَّذِيْ فَرَّطَ فِيْهِ

“Hendaknya ia berpuasa yang ia dapati dan untuk yang pertama, ia   memberi makan sebanyak satu mud gandum untuk setiap seorang miskin untuk setiap hari. Lantas, apabila ia telah usai dari hal ini, selanjutnya ia berpuasa yang telah ia sepelekan.”[57]

Sisi pendalilannya:

Atsar tersebut menunjukkan bahwa barang siapa mengakhirkan qadha Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya, maka ia berpuasa Ramadhan yang dijumpainya kembali, kemudian ia mengqadha puasa yang terlewat yang belum diqadhanya dan memberi makan seorang miskin untuk setiap puasa yang terlewat yang belum diqadhanya tersebut.

Ibnu Qudamah -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Tidak ada keterangan dari selain mereka dari kalangan para Shahabat yang menyelisihi (pendapat) mereka, dan diriwayatkan dari jalan yang lemah.”[58]

3-Apa yang disebutkan oleh Ibnu Hazm dari Umar tentang orang yang mendapati bulan Ramadhan berikutnya sementara ia memiliki tanggungan kewajiban puasa qadha Ramadhan sebelumnya, bahwa orang tersebut berpuasa bulan Ramadhan yang didapatinya tersebut dan mengqadha (puasa yang belum dilakukannya) serta memberi makan (membayar fidyah).[59]

Atsar ini disanggah dengan dikatakan bahwa atsar ini lemah tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi.

  • Apa yang datang dari Ibnu Umar berupa kewajiban memberi makan atas orang yang mengakhirkan memberi makan sebagai ganti qadha karena suatu udzur, maka bagi orang yang melakukannya tanpa udzur lebih utama.

Atsar tersebut disanggah dengan dikatakan bahwa Ibnu Umar menjadikan kewajiban memberi makan sebagai ganti dari mengqadha.

Dan, hal tersebut tidak dapat diterima, sebagaimana telah lalu penyebutannya dalam masalah sebelumnya.

  • Apa yang datang dari Ibnu Umar dalam kasus orang yang mendapati bulan Ramadhan berikutnya sementara ia masih memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan sebelumnya, “Orang tersebut berpuasa Ramadhan tersebut dan mengqadha puasa Ramadhan sebelumnya serta memberi makan.” [60]

Hal ini disanggah dengan dikatakan bahwa atsar ini lemah tidak dapat dijadikan hujjah.

  • Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthniy dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah, dari Abu Ishak, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Barang siapa yang menyepelekan puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya mendapati dirinya maka hendaknya ia berpuasa Ramadhan berikutnya yang didapatinya tersebut, kemudian hendaknya ia berpuasa yang telah terlewat dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari (puasa yang ditinggalkannya)[61]

Ad-Daruquthniy mengatakan, “Mutharrif menyelisihinya. Ia meriwayatkannya dari Ishak, dari Mujahid, dari Abu Hurairah.”

Sementara Ibnu Qudamah mengatakan, “Dan tidak ada keterangan dari selain mereka dari kalangan para sahabat yang menyelisihi mereka.”[62]

Sisi pendalilannya:

Atsar ini menunjukkan wajibnya puasa Ramadhan yang datang tersebut dan (wajibnya pula) mengqadha puasa yang terlewat, serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

  • Ijma’ (kesepakatan) para sahabat atas pendapat wajibnya membayar fidyah. Hal tersebut datang dari enam orang sahabat dan tidak diketahui adanya orang lain yang menyelisihi pendapat mereka.[63]

Hal ini disanggah dengan dikatakan bahwa ada di antara para sahabat yang berpendapat tidak wajib membayar fidyah, pendapat ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- [64]

  • Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang berulang, karena itu tidak boleh mengakhirkan yang pertama dari yang kedua. [65]
  • Bahwa apabila seseorang menundanya dengan sengaja hingga Ramadhan berikutnya, sungguh ia telah menundanya sampai ke suatu waktu yang tidak mungkin melakukannya di waktu tersebut, sementara boleh jadi ia mendapati waktu setelah Ramadhan dan boleh jadi pula ia tidak mendapatkannya. Dengan demikan maka seperti menunda berhaji dari tahun wajibnya sampai tahun berikutnya. [66]
  • Bahwa penundaan puasa Ramadhan dari waktunya bila tidak mewajibkan qadha maka mewajibkan fidyah, seperti orang yang telah lanjut usia.

Hal ini disanggah dengan dikatakan bahwa ini merupakan analogi dengan sesuatu yang berbeda, karena orang yang telah lanjut usia tidak mampu melakukan qadha pada asalnya, berbeda halnya dengan orang yang menunda qadha Ramadhan, ia adalah orang yang mampu melakukannya.

Kedua : Dalil mereka akan wajibnya membayar satu kafarat bila mengakhirkan qadha beberapa kali Ramadhan.

1-Bahwa qadha itu dibatasi oleh waktu antara dua Ramadhan, karena itu bila seseorang menundanya dari tahun pertama maka berarti ia telah mengakhirkannya dari waktunya, karena itu kafarat wajib atasnya, dan makna ini tidak terdapat pada setelah tahun pertama, karenanya hal ini tidak mewajibkan sebuah kafarat karena melakukan penundaan.[67]

2-Bahwa banyaknya penundaan tidak menambah hal yang wajib seperti bila seseorang mengakhirkan penunaian ibadah haji yang wajib beberapa tahun.

3-Dianalogikan dengan  hukuman Hudud, sesungguhnya pemberlakuan hukuman hudud itu satu sama lain saling terkait, maka demikian pula fidyah.

Kedua: Dalil mereka bahwa seseorang berdosa bila mengakhirkannya dari waktu wajib adalah apa yang dijadikan dalil oleh kalangan yang berpendapat dengan pendapat yang pertama akan hal tersebut.

 

Dalil-dalil pendapat ketiga:

Pertama, Dalil mereka akan wajibnya membayar kafarat adalah apa yang dijadikan dalil oleh kalangan yang berpendapat dengan pendapat kedua akan hal tersebut. Dan, telah lalu sanggahannya.

Kedua, Dalil mereka akan wajibnya membayar beberapa kafarat sejumlah Ramadhan yang ditundanya.

1-Bahwa hal itu merupakan penundaan satu tahun, maka serupa dengan tahun pertama [68]

2-Bahwa hak-hak yang terkait dengan harta tidak saling terkait antara satu dengan lainnya.[69]

Ketiga : Dalil mereka bahwa seseorang berdosa bila mengakhirkannya dari waktu wajib adalah apa yang dijadikan dalil oleh kalangan yang berpendapat dengan pendapat yang pertama akan hal tersebut.

Pendapat yang rajih (kuat):

Pendapat yang rajih (kuat) –Wallahu A’lam- adalah dikatakan, ‘tindakan memberi makan mustahab (disukai) karena adanya pendapat tersebut dari kalangan para sahabat.’

Wallahu A’lam

(Redaksi)

 

Sumber :

Al-Jami’ Li-Ahkami Ash-Shiyam, Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih, penerbit : Maktabah ar-Rusyd, KSA, Jilid 4, hal.7-24

[1] Ahkam al-Qur’an, al-Jashshash, 1/208, Tabyin al-Haqa-iq, 1/336, Ahkamu al-Qur’an, Ibnul ‘Arobiy, 1/78, Mawahib al-Jalil, 2/448, Mughniy al-Muhtaj, 1/488, al-Mubdi’, 3/46, Syarh Muntaha al-Iradat, 1/456.

[2] Bada-i’ ash-Shana-i’, 2/104

[3] Mawahib al-Jalil, 2/448

[4] Al-Majmu’, 6/365, 366, Mughniy al-Muhtaj, 1/488, Nihayah al-Muhtaj, 3/211

[5] Qs. al-Baqarah: 184

[6] Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubiy, 2/282

[7] Shahih al-Bukhari, kitab ash-Shaum, bab: Mata Yaqdhi Ramadhan, 2/239, dan Muslim, Kitab ash-Shiyam, bab: Qadha Ramadhan Fi Sya’ban, 1/802 (1146)

[8] Fathul Bariy, 4/191

[9] Idem

[10] Shahih Muslim-kitab ash-Shiyam- bab yang lalu, 1/803 (1146)

[11] Al-Mughniy, 3/144

[12] Qs. al-Baqarah : 148

[13] Qs. Ali Imran : 133

[14] Shahih al-Bukhari, bab : asy-Syuruth Fii al-Jihad (2732)

[15] Syarh Ibnu Baththal ‘Ala al-Bukhari, 4/95

[16] Idem

[17] Ahkam al-Qur’an, al-Jashshash, 1/210, Ad-Durru Al-Mukhtar, 2/423, Al-Mudawwanah, 1/219, Al-Istidzkar, 10/226, Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubiy, 2/283, al-Umm, 2/113, Raudhatu ath-Thalibin, 2/284, Fathu al-Jawad, 2/297, al-Kafi, Ibnu Qudamah, 1/459, Syarh Muntaha al-Iradat, 1/456, al-Muhalla, 6/394.

[18] Al-Ma’unah, 1/482

[19] Sunan ad-Daruquthniy, di dalam kitab ash-Shiyam (2320)

Di dalam tanqih at-tahqiq 1/387 (dikatakan bahwa) Ibrahim al-Jalab dikatakan oleh Abu Hatim sebagai seorang rawi pendusta, dan Ibnu Wajih bukanlah seorang (rawi) yang tsiqah (kredibel).

[20]  Sunan ad-Daruquthniy, di dalam kitab ash-Shiyam (2368), dan beliau mengatakan, sanad yang benar mauquf

[21] Al-Majmu’ 6/366, Ahkam al-Qur’an, oleh al-Jashshash, 1/256

[22] Al-Mushannaf, 4/235 (7623), dan sanadnya shahih

[23] Al-Mushannaf, 4/235 (7624).

Demikian disebutkan dalam al-Mushannaf, dan barang kali yang benar adalah ‘kemudian ia berpuasa Ramadhan berikutnya.’

[24] As-Sunan al-Kubra, oleh al-Baihaqi, 4/424 (8216). Dan, al-Baihaqi menshahihkannya.

[25] Sunan ad-Daruquthni, 2/196

[26]  Ahkamu al-Qur’an, al-Jashshash, 1/256, dan aku belum mengkajinya di dalam kitab-kitab atsar.

[27] Al-Majmu’, 6/364

[28] Al-Mughniy, 3/85

[29] Mawahib al-Jalil, 2/44

[30] Al-Hawi al-Kabir, 3/251, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 6/410

[31] Al-Mughniy, 4/400, al-Inshaf Ma’a Syarh al-Kabir, 7/498

[32] Al-Mughniy, 3/144

[33] Al-Mabsuth, 3/77, Bada-i’ ash-Shana-i’, 2/631

[34] Qs. al-Baqarah: 184

[35] Al-Mabsuth, 3/77

[36] Bidayatu al-Mujtahid, 1/505

[37] Al-Hidayah, 2/354, Fathul Qadir, 2/354, ad-Durru al-Mukhtar, 2/423

[38] Raudhatu ath-Thalibin, 2/384, al-Majmu’, 6/364

[39] Al-Inshaf, 3/334

[40] Al-Muhalla, 6/394, Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubiy, 2/283

[41] Sunan al-Baihaqiy, 4/253

[42] Al-Mudawwanah, 1/219, al-Istidzkar, 10/224-226, Syarh az-Zarqaniy, 2/192, at-Taaj Wa al-Iklil, 3/387, Mawahib al-Jalil, 3/387, Ahkamu al-Qur’an, al-Qurthubiy, 2/283, asy-Syarh ash-Shaghir, 1/253

[43] Al-Umm, 2/103, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 6/363-366, al-Hawiy, 3/453, Raudhatu ath-Thalibin, 2/267, Mughniy al-Muhtaj, 2/175

[44] Al-Mughniy, 3/145, al-Mubdi’, 3/46, Syarh az-Zarkasyi, 2/610, Mathalib Uli an-Nuha, 3/132

[45] Al-Binayah Syarh al-Hidayah, 3/693, al-Istidzkar, 10/225, al-MajmuSyarh al-Muhadzab, 6/363, Syarh az-Zarkasyi, 2/42, al-Mughniy Ma’a Syarh al-Kabir, Ibnu Qudamah, 3/85-86

[46] Al-Istidzkar, 10/224-226, al-Mughniy, 4/401

[47] Hasyiyah asy-Syarqawiy ‘Ala at-Tahrir, 1/443

[48] Qs. al-Baqarah : 184

[49] Ahkamu al-Qur’an, al-Jashshash, 1/211

[50] Disebutkan (oleh Ibnu Hazm) di dalam al-Muhalla, 6/395.

[51] Nailul Authar, 4/235, al-Muhalla, 4/407

[52] Asy-Syarh al-Kabir, Ibnu Qudamah, 2/46

[53] Bada-i’ ash-Shana-i’, 2/103

[54] Al-Mabsuth, 3/77

[55] Tafsir Ibnu ‘Athiyyah, 2/109

[56] Ikmal al-Mu’allim, 4/100

[57] Sunan ad-Daruquthniy, di dalam kitab ash-Shiyam (2368), dan beliau mengatakan, sanad yang benar mauquf

[58] Al-Mughniy, 4/401

[59] Telah ditakhrij sebelumnya.

[60] Al-Muhalla, 6/394, dan beliau mengatakan : Sanadnya munqathi’ (terputus).

[61]Sunan ad-Daruquthniy, 2/197 (91), dan imam an-Nawawi mengatakan: sanadnya shahih (al-Majmu’ 6/364). Dan, Abdurrazzaq (dalam Mushannafnya) 4/236 meriwayatkan dari Ma’mar dari Ja’far bin Barqan dari Maimun bin Mihran, ia berkata, ‘Aku pernah duduk di sisi Ibnu Abbas, tiba-tiba seorang lelaki datang, lalu ia mengatakan, ‘Dua Ramadhan aku lewati’, Ibnu Abbas pun mengatakan (kepada lelaki tersebut),’Demi Allah, apakah ini benar-benar telah terjadi’ ? ia mengatakan, ‘Iya’, ia mengatakan: ‘Tidak’. Lalu, ia pun pergi, kemudian laki-laki lain datang, lalu ia mengatakan, ‘Sungguh, seseorang telah melewati dua Ramadhan. Ibnu Abbas pun mengatakan (kepada lelaki tersebut), ‘’Demi Allah, apakah ini benar-benar telah terjadi’ ? ‘Iya’, jawab lelaki itu. Ibnu Abbas berkata,

… يَصُوْمُ شَهْرَيْنِ وَيُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا

“Bila demikian, … hendaknya ia puasa dua bulan dan memberikan makan 60 orang miskin.” Sanadnya hasan

[62] al-Mughniy, 3/86

[63] Mukhtashar Ikhtilaf al-‘Ulama 2/22, al-Bayan, al-‘Umraniy 3/542

[64] al-Istidzkar, 10/225

[65] al-Mughniy, 4/400

[66] Kitab puasa dari Syarh al-‘Umdah 1/353

[67] Al-Muhadzdzab, 1/252

[68] al-Muhadzab, 1/252

[69] Fathu al-Jawad, 2/297