ِA. TEKS AYAT

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185) وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186) {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187). [البقرة: 183 – 187]

B. TERJEMAHAN

2:183 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

2:184 (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

2:185 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

2:186 Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

2:187 Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

C. TAFSIR AYAT

 

Al-Mukhtashar Fit Tafsir:

  1. Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti RasulNya, diwajibkan bagi kalian berpuasa dari Tuhan kalian sebagaimana diwajibkan bagi umat-umat sebelum kalian agar kalian bertakwa kepada Allah dengan membuat antara diri kalian dengan azab Allah tameng, berupa amal-amal shalih yang salah satunya yang paling besar adalah puasa.
  2. Puasa yang diwajibkan bagi kalian adalah berpuasa pada hari-hari yang terhitung (jumlahnya) dalam setahun. Barangsiapa di antara kalian sakit yang karenanya puasa menjadi berat baginya atau musafir, maka dibolehkan untuk tidak berpuasa, kemudian dia harus menggantinya di hari lain sesuai dengan jumlah hari yang dia tidak berpuasa, dan orang-orang yang mampu untuk berpuasa wajib membayar fidyah apabila mereka tidak berpuasa, yaitu memberi makan orang miskin setiap hari yang mereka tidak berpuasa padanya, dan puasa kalian adalah lebih baik bagi kalian dibandingkan tidak berpuasa dan memberi makan, jika kalian mengetahui keutamaan yang ada dalam berpuasa. Hukum ini berlaku di awal syariat puasa, maka siapa yang ingin berpuasa, dia berpuasa, dan barangsiapa ingin tidak berpuasa dan memberi makan, maka silakan dia melakukan. Kemudian Allah mewajibkan puasa sesudah itu dan mewajibkannya kepada setiap orang yang baligh dan mampu.
  3. Bulan Ramadhan yang di dalamya pertama kali al-Qur’an turun kepada Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di malam Lailatul Qadar, Allah menurunkannya sebagai petunjuk bagi manusia, di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk yang nyata, berupa hidayah dan pembeda antara yang haq dengan yang batil. Barangsiapa menyaksikan bulan Ramadhan dalam keadaan muqim dan sehat, maka dia wajib berpuasa, barangsiapa sakit yang memberatkannya untuk berpuasa atau musafir, maka dia boleh tidak berpuasa. Jika dia tidak berpuasa maka wajib baginya menggantinya di lain hari sesuai dengan hari-hari yang dia tidak berpuasa padanya. Melalui apa yang Dia syariatkan kepada kalian, Allah ingin membawa kalian ke jalan yang mudah bukan sulit dan agar kalian menyempurnakan puasa sebulan penuh dan agar kalian bertakbir kepada Allah di akhir bulan Ramadhan dan di hari Raya Idul Fitri atas taufikNya kepada kalian untuk berpuasa dan membantu kalian dalam menyempurnakannya dan agar kalian bersyukur kepada Allah atas hidayahNya kepada kalian kepada agama yang Dia ridhai ini.
  4. Jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu wahai Nabi tentang kedekatanKu dan pengabulanKu terhadap doa mereka, maka sesungguhnya Aku dekat kepada mereka, mengetahui keadaan mereka, dan mendengar doa mereka, sehingga mereka tidak memerlukan perantara dan tidak perlu meninggikan suara mereka, Aku menjawab doa orang yang berdoa bila dia berdoa kepadaKu dengan ikhlas dalam doanya, maka hendaknya mereka tunduk kepada perintah-perintahKu dan tetap teguh di atas iman mereka, karena hal itu merupakan sarana yang paling berguna bagi mereka agar Aku menjawab doa mereka, agar dengan hal itu mereka meniti jalan lurus dalam segala urusan agama dan dunia mereka.
  5. Pada masa awal wajibnya puasa, seorang laki-laki yang sudah tidur di malam hari kemudian bangun sebelum fajar, dia tidak boleh makan dan mendekati istrinya, lalu Allah menasakhnya dan menghalalkan untuk kalian, wahai orang-orang Mukmin di malam hari bulan Ramadhan untuk menggauli istri-istri kalian, para istri itu adalah seperti pakaian untuk kalian dan penjaga kehormatan kalian, kalian juga seperti pakaian untuk mereka dan penjaga kehormatan mereka, sebagian dari kalian tidak bisa tidak membutuhkan sebagian yang lain. Allah mengetahui bahwa kalian melakukan pengkhianatan terhadap diri kalian sendiri dengan melakukan apa yang Allah larang, lalu Allah menyayangi kalian dan mengampuni kalian serta memberikan keringanan bagi kalian, maka sekarang silakan kalian menggauli istri-istri kalian dan carilah apa yang Allah tetapkan untuk kalian, yaitu anak keturunan. Makan dan minumlah sepanjang malam sehingga jelas bagi kalian terbitnya fajar shadiq, kemudian lanjutkanlah puasa dengan menahan diri dari apa-apa yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Jangan menggauli istri-istri kalian sementara kalian melakukan i’tikaf di masjid, karena hal itu membatalkannya. Hukum-hukum tersebut adalah batasan-batasan Allah antara yang halal dengan yang haram, maka jangan pernah mendekatinya selama-lamanya, karena barangsiapa mendekati batasan-batasan Allah, dikhawatirkan terjatuh ke dalam yang haram. Dengan penjelasan yang terang dan nyata terhadap hukum-hukumNya itulah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepada manusia agar mereka bertakwa kepadaNya dengan melakukan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang.

Faidah dari ayat-ayat di atas:

  1. Allah mewajibkan puasa kepada umat ini dan umat-umat sebelumnya, karena puasa merealisasikan takwa dan membantu kelangsungannya.
  2. Allah mengutamakan bulan Ramadhan dengan menjadikannya waktu turunnya al-Qur’an. Ramadhan adalah bulan al-Qur’an; dan oleh karena itu, Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bertadarus al-Qur’an dengan Jibril di bulan ini.
  3. Dasar-dasar dan cabang-cabang syariat Islam berpijak kepada kemudahan dan diangkatnya kesulitan, Allah tidak menjadikan kesulitan bagi kita dalam agama ini.
  4. Disyariatkannya takbir di malam dan hari Idul Fitri sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat-nikmatNya dan pengakuan terhadap keutamaanNya.
  5. Kedekatan Allah -تعالى- kepada hamba-hambaNya, Allah meliputi mereka dan mengetahui mereka secara sempurna, karena itu Allah mendengar doa mereka dan menjawab permintaan mereka.
  6. Hukum-hukum syariat berdasar kepada kemudahan dan keringanan, karena Allah -تعالى- mengetahui kelemahan hamba-hambaNya.
  7. Disyariatkannya I’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah, karena itu segala hal yang bertentangan dengan tujuan I’tikaf diharamkan, yang salah satunya adalah hubungan intim suami istri.

Tafsir As-Sa’di:

(183) Allah -تعالى- mengabarkan tentang segala yang Dia karuniakan kepada hamba-hambaNya dengan cara mewajibkan atas mereka berpuasa sebagaimana Allah telah mewajibkan puasa itu atas umat-umat terdahulu, karena puasa itu termasuk di antara syariat dan perintah yang mengandung kemaslahatan bagi makhluk di setiap zaman, berpuasa juga menambah semangat bagi umat ini yaitu dengan berlomba-lomba dengan umat lain dalam menyempurnakan amal perbuatan dan bersegera menuju kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan puasa itu juga bukanlah suatu perkara sulit yang khusus bagi kalian.

Kemudian Allah -تعالى- menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa seraya berfirman, لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Agar kamu bertakwa,” karena sesungguhnya puasa itu merupakan salah satu faktor penyebab ketakwaan, karena berpuasa adalah merealisasikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.

Dan di antara bentuk yang meliputi ketakwaan dalam puasa itu adalah bahwa orang yang berpuasa akan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah seperti makan, minum, melakukan jimak, dan semacamnya yang sangat diinginkan oleh nafsunya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah seraya mengharapkan pahala dalam meninggalkan hal-hal tersebut. Ini merupakan bagian ketakwaan.

Di antaranya juga adalah bahwasanya orang yang berpuasa itu melatih dirinya untuk selalu merasa diawasi oleh Allah -تعالى-, maka dia meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya padahal dia mampu melakukannya karena dia tahu bahwa Allah melihatnya.

Yang lain bahwasanya puasa itu mempersempit jalan masuk setan, karena setan itu berjalan dalam tubuh manusia seperti jalannya darah, maka puasa akan melemahkan pengaruhnya dan meminimkan kemaksiatan.

Di antaranya juga bahwa seorang yang berpuasa biasanya akan bertambah ketaatannya, dan ketaatan itu adalah gambaran dari ketakwaan.

Yang lainnya lagi adalah bahwa orang yang kaya bila merasakan susahnya kelaparan, pastilah ia menghibur kaum miskin lagi papa, dan ini pun termasuk gambaran ketakwaan.

(184) Ketika Allah -تعالى- menyebutkan kewajiban puasa bagi mereka, Dia mengabarkan bahwa puasa itu hanya pada hari-hari yang tertentu atau sedikit sekali dan sangat mudah, kemudian Allah memudahkan puasa itu dengan kemudahan lainnya. Dia berfirman, فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” Pada umumnya hal itu karena adanya kesulitan, sehingga Allah memberikan kemudahan bagi keduanya untuk berbuka, dan ketika menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan kemaslahatan puasa bagi setiap orang yang beriman, maka Allah memerintahkan kepada mereka berdua agar mengganti puasanya itu pada hari-hari yang lain apabila penyakitnya telah sembuh atau berakhirnya perjalanan dan adanya istirahat.

Dalam FirmanNya, فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain,” terkandung dalil yang menunjukkan bahwa ia harus mengganti sejumlah hari bulan Ramadhan secara sempurna ataupun tidak, dan bahwa ia juga boleh mengganti hari-hari yang panjang lagi panas dengan beberapa hari yang pendek lagi sejuk seperti kebalikannya. Dan FirmanNya, وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa),” maksudnya, mereka tidak mampu berpuasa, فِدْيَةٌ “membayar fidyah” dari setiap hari yang mereka batalkan, طَعَامُ مِسْكِينٍ “memberi makan seorang miskin.” Hal ini pada awal-awal kewajiban berpuasa ketika mereka belum terbiasa berpuasa dan saat itu kewajiban tersebut adalah suatu yang harus dilakukan oleh mereka yang akhirnya sangat berat bagi mereka untuk melakukannya. Lalu Allah Rabb Yang Mahabijaksana memberikan jalan yang paling mudah bagi mereka, Dia memberikan pilihan bagi orang yang tidak mampu berpuasa antara melakukan puasa dan itulah yang paling baik dan utama atau memberikan makan.

Oleh karena itu, Allah berfirman, وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ “Dan berpuasa lebih baik bagimu“, kemudian setelah itu Allah menjadikan puasa itu harus dilakukan oleh orang yang mampu sedangkan orang yang tidak mampu, boleh berbuka lalu menggantinya pada hari yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang tidak mampu yaitu terbebani dan merasa sangat berat sekali untuk melaksanakannya seperti orang tua yang renta adalah membayar fidyah untuk tiap hari kepada seorang miskin, dan inilah yang benar.

(185) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan, (permulaan) al-Qur’an,” yaitu puasa yang diwajibkan atas kalian adalah bulan Ramadhan yaitu bulan yang agung, bulan di mana kalian memperoleh di dalamnya kemuliaan yang besar dari Allah -تعالى-, yaitu al-Qur’an al-Karim yang mengandung petunjuk bagi kemaslahatan kalian, baik untuk agama maupun dunia kalian, dan sebagai penjelas kebenaran dengan sejelas-jelasnya, sebagai pembeda antara yang benar dan yang batil, petunjuk dan kesesatan, orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara, maka patutlah keutamaan ini bagi bulan tersebut, dan hal ini merupakan kebajikan Allah terhadap kalian, dengan menjadikan bulan ini sebagai suatu musim bagi hamba yang diwajibkan berpuasa padanya.

Lalu ketika Allah menetapkan hal itu, menjelaskan keutamaannya dan hikmah Allah -تعالى- dalam pengkhususannya itu, Dia berfirman, فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” Ini merupakan keharusan berpuasa atas orang yang mampu, sehat lagi hadir, dan ketika nasakh itu memberikan pilihan antara berpuasa dan membayar fidyah saja, ia mengulangi kembali keringanan bagi orang sakit dan musafir agar tidak diduga bahwa keringanan tersebut juga dinasakh, Allah berfirman, يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Maksudnya, Allah -تعالى- menghendaki hal yang memudahkan bagi kalian jalan yang menyampaikan kalian kepada ridhaNya dengan kemudahan yang paling mudah dan meringankannya dengan keringanan yang paling ringan.

Oleh karena itu, segala perkara yang diperintahkan oleh Allah atas hamba-hambaNya pada dasarnya adalah sangat mudah sekali, namun bila terjadi suatu rintangan yang menimbulkan kesulitan, maka Allah akan memudahkannya dengan kemudahan lain, yaitu dengan menggugurkannya atau menguranginya dengan segala bentuk pengurangan, dan hal ini adalah suatu hal yang tidak mungkin dibahas perinciannya, karena perinciannya merupakan keseluruhan syariat dan termasuk di dalamnya segala macam keringanan-keringanan dan pengurangan-pengurangan.

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ “Dan hendaknya kamu mencukupkan bilangannya.” Ayat ini, wallahu a’lam, agar orang tidak berpikir bahwa puasa itu dapat dilakukan hanya dengan separuh bulan saja. Allah menolak pemikiran seperti itu dengan memerintahkan untuk menyempurnakan bilangannya, kemudian bersyukur kepada Allah saat telah sempurna segala bimbingan, kemudahan, dan penjelasanNya kepada hamba-hambaNya, dan dengan bertakbir ketika berlalunya perkara tersebut, dan termasuk di dalam hal ini adalah bertakbir ketika melihat hilal bulan Syawal hingga selesainya khutbah ‘Id.

(186) Ayat ini adalah jawaban dari suatu pertanyaan. Beberapa sahabat Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bertanya kepada beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, apakah Rabb kami itu dekat hingga kami membisikiNya ataukah Dia jauh hingga kami menyeruNya?”  kemudian turunlah ayat, وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat,” karena sesungguhnya Allah -تعالى- Maha Mengawasi, Maha Melihat dan Mengetahui apa yang tersembunyi dan dirahasiakan, Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati dan Dia sangat dekat dari orang yang berdoa kepadaNya dengan mengabulkannya. Oleh karena itu Dia berfirman, أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepadaKu.” Berdoa itu ada dua macam, doa ibadah dan doa permohonan.

Kedekatan dari Allah juga dua macam; kedekatan dengan ilmuNya dari setiap makhlukNya, dan kedekatan dari orang-orang yang beribadah kepadaNya dan orang yang berdoa kepadaNya dengan mengabulkan doa, menolong, dan memberikan taufik.

Barangsiapa yang berdoa kepada Rabbnya dengan hati yang hadir dan doa yang disyariatkan, lalu tidak ada suatu hal yang menghalanginya dari terkabulnya doa, seperti makanan haram dan sebagainya, maka sesungguhnya Allah telah menjanjikan baginya doa yang terkabul, khususnya bila dia mengerjakan sebab-sebab terkabulnya doa, yaitu kepasrahan kepada Allah dengan ketaatan kepada perintah-perintahNya dan (menjauhi) larangan-larangan-Nya, baik dalam perkataan maupun perbuatan, beriman kepadaNya yang mengharuskan timbulnya penerimaan tersebut, oleh karena itu Allah berfirman, فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran,” maksudnya, mereka akan mendapatkan jalan yang lurus yaitu hidayah kepada keimanan dan amal shalih, hilang darinya kelaliman yang menghilangkan keimanan dan amalan shalih, dan juga karena beriman kepada Allah dan memenuhi perintahNya merupakan sebab mendapatkan ilmu, sebagaimana Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqan (kemampuan membedakan antara yang benar dengan yang batil).” (Al-Anfal: 29).

(187) Pada awal-awal diwajibkannya puasa, kaum Muslimin diharamkan makan, minum, dan jimak (menggauli istri) pada malam hari setelah tidur, lalu sebagian mereka merasa kesulitan dengan hal tersebut, maka Allah -تعالى- meringankan hal tersebut dengan membolehkan mereka pada malam hari Ramadhan semua perkara itu, dari makan, minum maupun berjimak, baik setelah tidur maupun sebelumnya, karena mereka tidak dapat menahan nafsu mereka dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mereka diperintahkan kepadanya. فَتَابَ عَلَيْكُمْ  “maka (Dia) mengampuni”, yakni Allah عَلَيْكُمْ “kamu,” yakni dengan melapangkan perkara itu bagi kalian dan sekiranya bukan karena kelapangan itu, pastilah akan menimbulkan dosa, وَعَفَا عَنْكُمْ “dan memberikan maaf kepadamu,” terhadap apa yang telah berlalu dari perkara tidak mampu menahan nafsu tersebut.فَالْآنَ  “Maka sekarang” setelah adanya keringanan dan kelapangan dari Allah ini, بَاشِرُوهُنَّ  “campurilah mereka,” baik berjimak, mencium, menyentuh, dan sebagainya, وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ “dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,” maksudnya, berniatlah untuk mendekatkan diri kepada Allah -تعالى- ketika mencampuri istri-istri kalian, dan maksud yang paling besar dari adanya jimak tersebut adalah mendapatkan keturunan, menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, dan juga memperoleh tujuan-tujuan nikah.

Dan di antara apa yang telah ditentukan oleh Allah atas kalian adalah Lailatul Qadar yang bertepatan dengan malam-malam bulan puasa Ramadhan, maka seharusnya kalian tidaklah disibukkan oleh kenikmatan tersebut dari malam yang mulia itu dan tidak menyia-nyiakan malam tersebut, karena kenikmatan itu masih dapat diperoleh (dengan tertunda) sedangkan Lailatul Qadar tidak diperoleh setiap waktu.

 وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” Ini adalah batas waktu bagi makan, minum, dan berjimak.

Ayat ini juga mengandung dalil bahwa apabila seseorang makan atau minum dengan perasaan ragu tentang terbitnya fajar, maka tidak apa-apa baginya.

Ayat ini juga merupakan dalil dianjurkannya sahur dengan adanya perintah dan dianjurkan untuk diakhirkan dengan dasar yang diambil dari arti keringanan dari Allah dan kemudahan yang diberikan olehNya untuk hamba-hambaNya.

Ayat ini juga sebagai dalil bolehnya meneruskan puasa ketika fajar telah datang sedang ia masih junub dari berbuat jimak sedangkan ia belum mandi dan puasanya tetap sah, karena konsekuensi bolehnya berjimak hingga terbitnya fajar, maka ia akan mendapati fajar dalam keadaan masih junub, dan konsekuensi kebenaran adalah benar.

ثُمَّ  “Kemudian” apabila fajar telah terbit, maka أَتِمُّوا الصِّيَامَ  “sempurnakanlah puasa itu,” yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, إِلَى اللَّيْلِ “hingga malam,” yakni, terbenamnya matahari.

Dan ketika bolehnya berjimak pada malam-malam puasa bukanlah secara umum bagi setiap orang, di mana seorang yang beri’tikaf tidaklah halal baginya melakukan hal itu, yang telah dikecualikan dalam FirmanNya, وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid,” maksudnya, kalian sedang melakukan i’tikaf tersebut.

Ayat ini menunjukkan bahwa i’tikaf itu disyariatkan, dan i’tikaf itu adalah berdiam di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah -تعالى- dan memusatkan perhatian hanya kepadaNya, dan bahwasanya i’tikaf itu tidaklah sah kecuali dalam masjid. Dapat dipahami dari arti masjid di sini adalah masjid yang dipahami oleh mereka, yaitu yang didirikan di dalamnya shalat lima waktu. Dan juga menunjukkan bahwa berjimak itu adalah di antara pembatal ibadah i’tikaf.

Hal-hal yang telah disebutkan di atas itu seperti haramnya makan, minum, berjimak, dan semacamnya dari pembatal-pembatal puasa, dan haramnya berbuka karena suatu perkara yang bukan alasan syar’i, haramnya berjimak bagi orang yang melakukan i’tikaf dan semacamnya di antara hal-hal yang diharamkan, تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ  “itulah larangan Allah” yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hambaNya dan Dia larang darinya. Kemudian Dia berfirman, فَلَا تَقْرَبُوهَا “Maka janganlah kamu mendekatinya.” Ungkapan ini lebih kuat daripada perkataan “maka janganlah kamu melakukannya,” karena kata mendekati itu meliputi larangan dari mengerjakan hal yang diharamkan itu sendiri dan larangan dari sarana-sarana yang menyampaikan kepada perbuatan tersebut.

Seorang hamba diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauh darinya sejauh mungkin yang ia mampu, dan juga meninggalkan segala sebab yang mengajak kepadanya. Adapun tentang perintah-perintah, Allah berfirman padanya, “Itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampaui batasnya,”  Allah melarang dari bertindak melampaui batas padanya. كَذَلِكَ  “Demikianlah“, maksudnya, Allah menjelaskan kepada hamba-hambaNya berkenaan dengan hukum-hukum yang telah berlalu itu dengan penjelasan yang paling sempurna dan menerangkannya dengan keterangan yang paling jelas, يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” Apabila kebenaran telah jelas bagi mereka, niscaya mereka akan mengikutinya, dan apabila kebatilan jelas bagi mereka, niscaya mereka akan menjauhinya. Manusia terkadang melakukan hal yang diharamkan karena ketidaktahuannya bahwa hal tersebut adalah haram, namun bila ia mengetahui keharamannya pastilah tidak akan dilakukan. Apabila Allah telah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia, maka tidak ada lagi alasan dan hujjah bagi mereka, dan hal itu agar menjadi faktor penyebab ketakwaan.

REFERENSI:

  1. Tafsir Al-Qur’an (1) Surat: Al-Fatihah – Ali Imran, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Darul Haq, Jakarta, Cet. VII, Sya’ban 1436 H / Juni 2015 M.
  2. Tafsir Al-Qur’an Terjemah al-Mukhtashar fi at-Tafsir, Para Pakar Tafsir, Darul Haq, Jakarta.