Urgensi Istighfar dan Buahnya

Segala puji bagi Allah yang telah berfirman,

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ

Dan hendaklah kalian meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa siksa pada hari yang besar (kiamat) (Qs. Huud : 3)

Saudaraku, Allah -dalam ayat ini- memerintahkan kita untuk beristighfar, memohon ampun kepadaNya, dan Dia menjanjikan sebuah kebaikan yang akan diperoleh pelakunya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya istghfar dan menunjukkan pula betapa agung buahnya.

 

 

Hikmah dalam Perintah Istigfar

Saudaraku, mungkin Anda bertanya, apa hikmah dibalik perintah Allah ini ? jawabannya adalah hal demikian itu- Wallahu a’lam- karena seseorang sangat membutuhkannya setiap saat karena kurangnya dirinya dalam hal melakukan ketaatan dan seringkalinya dirinya terjatuh ke dalam perbuatan kemaksiatan kepada Allah. Oleh karena itu, datanglah perintah untuk beristighfar kepadaNya guna mengobati kekurangan ini yang terdapat pada diri seseorang.

Abu Sa’id al-Khudri berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,

إِنَّ إِبْلِيسَ قَالَ لِرَبِّهِ بِعِزَّتِكَ وَجَلاَلِكَ لاَ أَبْرَحُ أُغْوِى بَنِى آدَمَ مَا دَامَتِ الأَرْوَاحُ فِيهِمْ. فَقَالَ اللَّهُ فَبِعِزَّتِى وَجَلاَلِى لاَ أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِى

Sesungguhnya Iblis pernah berkata kepada rabbnya, “ demi kemuliaan dan keagunganMu, aku akan senantiasa berupaya menyesatkan anak Adam (manusia) selagi ruh masih berada pada dirinya. (mendengar penuturan Iblis tersebut) Allah pun menanggapinya seraya mengatakan,” kalau demikian halnya, maka demi kemuliaan dan keagunganKu, Aku akan senantiasa memberikan ampun kepada mereka selagi mereka meminta ampunan kepadaKu (HR. Ahmad di dalam al-Musnad, no. 11548)

 

Hukum Beristighfar dalam Tinjaun Fiqih

Hukum asal istighfar adalah mandub (dianjurkan) untuk dilakukan (asy-Syarh ash-Shaghir, 4/765), berdasarkan firman Allah,

وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 

Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Qs. al-Muzammil : 20). Perintah Allah,  “mohonlah ampunan kepada Allah” dalam ayat ini dibawa maknanya kepada anjuran (bukan wajib), karena boleh jadi seseorang beristighfar bukan karena ia telah melakukan kemaksiatan. Sebagaimana diisyaratkan dalam sabda Rasulullah,

وَا إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ ا وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

Sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali (HR. al-Bukhari, no. 6307)

Hanya saja, terkadang beristighfar keluar dari hukum asal ini (yakni, mandub/dianjurkan) menjadi wajib (It-haf as-Sadah al-Muttaqin, 8/511) seperti istighfar Nabi dan beristighfar karena telah melakukan kemaksiatan. (Minahul Jalil, 1/306). Atau, bahkan, bisa saja hukumnya haram (tidak boleh dilakukan), seperti istighfar untuk orang kafir (al-Furuq,4/260)

Allah secara tegas berfirman,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (Qs. at-Taubah : 113)

Rasulullah bersabda,

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي

Aku pernah meminta izin kepada Rabb-ku untuk memohonkan ampunan untuk ibuku, namun aku tidak diperbolehkan, lantas aku meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya, maka aku pun diperbolehkan.” (HR. Muslim, no. 976)

 

Istighfar dari Dosa yang Diminta

Istighfar yang diminta adalah istighfar yang dapat melepaskan ikatan ishrar (terus melakukan dosa dan kesalahan), yang dapat mengokohkan maknanya di dalam anggota tubuh, bukan sekedar diucapkan oleh lisan. Maka, bila istighfar hanya sekedar ucapan lisan –sementara pelakunya turus saja melakukan dosa dan kesalahan yang ia beristighfar darinya-, maka sesungguhnya hal itu merupakan dosa yang membutuhkan kepada istighfar (Tanbiihu al-Ghafilin, hal.197). Oleh karenanya, orang yang beristighfar dengan lisannya diminta untuk perhatian dengan makna istighfar yang diungkapkannya tersebut pada seluruh anggota badannya, agar ia mendulang keberuntungan dengan perolehan nilai-nilai positif dari istighfarnya. Hendaknya ia beristighfar dengan lisannya dan bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsunya yang cenderung kepada melakukan dosa dan kemaksiatan. (Syarh al-Adzkar, 7/268)

 

Buah Istighfar

Di antara buah dari Istighfar –sebagaimana disebutkan dalam ayat 3 surat Huud di atasa- yaitu,  pelakunya akan diberi “kenikmatan yang baik” dalam kehidupan.  Kenikmatan yang baik ini beragam bentuknya, bisa jadi berupa ;

  1. Pengampunan Dosa

Allah berfirman,

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa`: 110).

Allah juga berfirman -dalam hadits qudsi-, “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan (dosa) di waktu malam dan siang hari, sedangkan Aku lah yang dapat mengampuni semua dosa, maka mohon ampunlah kalian kepadaKu niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian.” (HR. Muslim).

  1. Kelapangan rizki, kemakmuran hidup dan Jauh dari Siksa Allah

Ketika menafsirkan firman Allah surat Huud ayat 3 di atas, Al-Qurthubi mengatakan ,” Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian”. (Tafsir Al-Qurthubi, 9/403)

Dan janji Tuhan Yang Mahamulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa beristighfar dan bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugerahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan”(Adhwa’ul Bayan, 3/9)

  1. Jalan keluar, kelapangan dan rizki dengan jalan yang tidak disangka-sangka.

Rasulullah bersabda,

مَنْ أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa memperbanyak istighfar niscaya Allah memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka”  (HR. Ahmad)

Pembaca yang budiman, demikianlah bahasan singkat mengenai urgensi istighfar dan buahnya, semoga bermanfaat. Dan, mengakhiri tulisan ini, penulis nukilkan pesan berharga al-Hasan, ia berkata,

أَكْثِرُوا مِنَ الِاسْتِغْفَارِ فِي بُيُوتِكُمْ ، وَعَلَى مَوَائِدِكُمْ ، وَفِي طُرُقِكُمْ ، وَفِي أَسْوَاقِكُمْ ، وَفِي مَجَالِسِكُمْ ، أَيْنَمَا كُنْتُمْ فَإِنَّكُمْ مَا تَدْرُونَ مَتَى تَنْزِلُ الْمَغْفِرَةُ

Perbanyaklah istighfar di rumah-rumah kalian, atas musibah yang menimpa kalian, di jalan-jalan, di pasar-pasar, dan di majlis-majlis kalian di mana saja kalian berada. Karena, kalian tidak tahu kapankah ampunan itu turun (at-Taubatu, Ibnu Abi Dunya, hal. 151)

Semoga Allah memberikan taufiq. Aamiin (Redaksi)

 

Referensi :    

  1. Al-Istighfaru Wa at Taubatu, Fadhl Ilahi
  2. Ahammiyah al-istighfar Wa Fawa-iduhu, ‘Ali bin Nayif asy Syahud, dll