Ibnu Ishaq rahimahullah berkata:

حَدّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَسْلَمَ ، كَانَ وَاعِيَةً أَنّ أَبَا جَهْلٍ مَرّ بِرَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عِنْدَ الصّفَا فَآذَاهُ وَشَتَمَهُ وَنَالَ مِنْهُ بَعْضَ مَا يَكْرَهُ مِنْ الْعَيْبِ لِدِينِهِ وَالتّضْعِيفِ لِأَمْرِهِ فَلَمْ يُكَلّمْهُ رَسُولُ اللّهِ – صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ – وَمَوْلَاةٌ لِعَبْدِ اللّهِ بْنِ جُدْعَانَ فِي مَسْكَنٍ لَهَا تَسْمَعُ ذَلِكَ…

“Telah mengabarkan kepadaku seorang laki-laki dari suku Aslam, -dia adalah seorang laki-laki yang hafal dengan apa yang dia dengar-:” Bahwasanya Abu Jahal melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika di Shafa. Lalu ia menyakiti beliau, mencelanya, menghinanya dengan sesuatu yang beliau tidak sukai berupa aib terhadap agamanya, dan melemahkan urusannya, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbicara (membalas) kepadanya. Dan saat itu salah seorang budak perempuan dari ‘Abdillah bin Jad’an yang berada di rumahnya mendengar hal tersebut.

Kemudian dia (perawi) menyebutkan kisah tentang pemberitahuan budak perempuan itu kepada Hamzah radhiyallahu ‘anhu –ketika itu ia baru pulang dari berburu- dengan apa yang terjadi pada keponakannya. Lalu semangat kejantannya bangkit, dan ia pun menuju ke arah Abu Jahal, lalu mencelanya dengan celaan yang buruk. Kemudian berkata:” Apakah kamu mencelanya, padahal aku berada di atas agamanya, aku berbicara dengan apa yang dikatakannya?” (Ar-Raudh al-‘Unf: 3/118)

Dan dari jalur Ibnu Ishaq kisah ini diriwayatkan oleh al-Hakim, namun imam adz-Dzahabi menilainya cacat karena ia mu’dhal (hadits yang dua atau lebih dari perawinya tidak disebutkan/gugur secara berurutan). (al-Mustadak: 2/212-213) Dan lelaki yang diambil riwayatnya oleh Ibnu Ishaq adalah Mubham, maka ia majhul (tidak dikenal). Kemudian hadits ini mursal.

Ibnu Sa’d rahimahullah meriwayatkan kisah ini secara ringkas sebagaimana dalam ath-Thabaqat (9/3) dari jalur al-Waqidi. Dan al-Haitsami rahimahullah meriwayatkannya dalam Majma’uz Zawaa’id, dan beliau berkata:“Diriwayatkan oleh ath-Thabarani secara mursal (dari Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi). Dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih.”

Dan syaikh (guru) imam ath-Thabarani adalah Isma’il bin al-Hasan al-Khaffaf. Dan al-‘Umari dan ath-Tharhuni keduanya mengatakan tentangnya:” Aku tidak menemukan biografi tentangnya.” (as-Sirah ash-Shahihah: 1/146)

Al-Haitsami rahimahullah menyebutkan riwayat lain dari Ya’qub bin ‘Utbah bin al-Mughirah bin al-Akhnas bin Syuraiq, dan dia berkata:” diriwayatkan ole hath-Thabarani secara mursal dan para perawinya tsiqah.” (al-Majma’ 9/267)

Ya’qub bin ‘Utbah tsiqah, akan tetapi ia termasuk thabaqat ke enam, dan ia adalah thabaqat yang mana orang-orang yang berada di dalamnya tidak bertemu dengan salah seorang pun dari kalangan shahabat. (Taqriibut Tahdziib 1/6). Dan di dalam sanadnya juga ada Ibnu Ishaq, ia seorang mudallis dan telah melakukan ‘An’an.

Dan Syaikh al-Albani rahimahullah mendiamkan (tidak berkomentar) kisah tersebut dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap Fiqhus Sorah, dan beliau juga tidak menuebutkannya dalam kitab Shahih as-Sirah. Dr Akram al-‘Umari hafizhahullah berkata:“Hamzah radhiyallahu ‘anhu telah masuk Islam pada waktu semakin parahnya kelancangan kaum Quraisy terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi perincian kisah Islam beliau tidak valid lewat jalur riwayat yang shahih.” (As-Sirah ash-Shahihah: 146)

(Sumber:ما شاع ولم يثبت في السيرة النبوية hal. 52-53. Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)