Bahasan Ke Enam : Teladan Orang-orang yang Sabar

Allah telah memberikan kepada kita perumpamaan di dalam Al-Qur’an tentang beberapa orang hamba-Nya yang patut untuk diteladani dalam bersikap sabar, karena dalam diri mereka itu terdapat sikap bersabar yang haqiqi, untuk itulah mereka semua berhak untuk diingat karena kesabaran yang mereka lakukan, kemudian untuk diteladani oleh orang-orang yang ingin bersikap sabar. Dalam kesempatan yang amat terbatas ini, kami akan memilih tiga orang di antara mereka, yang mana masing-masing mereka memiliki ciri kesabaran tersendiri:

  • Sabar dalam ketaatan kepada Allah

    Dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il yang telah Allah kisahkan kepada kita dalam Al-Qur’an, Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman mengenai Nabi Ibrahim:
    “Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (Ash-Shaaffat: 99-111).

    Siapakah di antara keduanya yang lebih anda kagumi? Terhadap Ibrahim sang ayah yang telah melihat dalam mimpinya bahwa ia menyembelih anaknya, ataukah terhadap Isma’il sang anak yang berpasrah diri kepada perintah Allah tanpa paksaan? Yang mana saat itu ia adalah anak Ibrahim yang satu-satunya, Allah memberi karunia anak kepada Ibrahim saat beliau telah lanjut usia. Fikirkanlah oleh diri anda seberapakah besarnya cinta Ibrahim terhadap Isma’il saat itu? Sungguh suatu kecintaan yang tak dapat digambarkan, akan tetapi kecintaan Ibrahim terhadap Tuhannya adalah lebih besar, ketaatan Ibrahim terhadap Tuhannya adalah melampaui semua itu. Sungguh Nabi Ibrahim telah menghancurkan seluruh kesenangan duniawi saat datang perintah Allah Subhaanahu Wata’aala kepadanya, dengan demikian ia telah memberi contoh yang amat mulia kepada manusia tentang nilai dari sebuah ketaatan kepada Allah. Bayangkan, wahyu yang memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya adalah wahyu yang berupa mimpi, karena ketaatannya kepada Allah, maka ia tidak berusaha mengartikan mimpi itu pada maksud lain yang bisa saja ia lakukan karena sifat kebapakannya itu, melainkan ia langsung melaksanakan perintah itu dengan menyampaikan kepada anaknya tentang apa yang ia lihat dalam mimpinya itu dalam ungkapan yang singkat dan padat akan tetapi memiliki kandungan yang amat besar sekali.

    Sementara Isma’il saat itu bukanlah anak kecil, melainkan telah tumbuh dewasa dan dapat dijadikan sandaran Ibrahim dalam berusaha di dunia ini, suatu keadaan yang menjadikan Ibrahim amat membutuhkan Isma’il dalam hidupnya. Isma’il saat itu adalah seorang pemuda yang kuat dan berotot, dengan demikian jawaban Ibrahim adalah jawaban yang dipilih sendiri dari dalam dirinya dan bukanlah jawaban yang dipaksakan, dan jawabannya itulah yang menjadikan namanya tercatat sebagi golongan nabi-nabi yang sabar sebagaimana firman-Nya:
    “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya: 85)

    Jawaban yang diungkapkan oleh Isma’il itu adalah:
    “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaaffat: 102)

    Maksudnya adalah: “Wahai ayahku, jangan engkau tanyakan pendapatku tentang ini dan tidak perlu kita melakukan musyawarah tentang ini, akan tetapi lakukan saja apa yang Allah perintahkan kepadamu”, kemudian Isma’il tidak lupa untuk meminta pertolongan kepada Allah agar ia diberi kesabaran. Saat itu Isma’il tidak mengandalkan pada kekuatan yang ada dalam dirinya melainkan ia meminta kekuatan dari Tuhannya. Lalu kedua hamba Allah itu mentaati perintah Allah, sang ayah menyerahkan anaknya dalam ketaatan kepada Allah dengan bersiap diri untuk menyembelih, dan saat itu datanglah berita gembira setelah melalui cobaan yang amat besar, Allah berfirman:
    “Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Ash-Shaaffat: 104-105).

  • Sabar untuk tidak melakukan maksiat

    Tokoh yang paling menonjol untuk diteladani dalam hal bersabar untuk tidak melakukan maksiat adalah Nabi Yusuf ‘alaihis salam yang dirayu oleh seorang wanita penguasa. Nabi Yusuf dalam perjalanan hidupnya telah menjalani sikap sabar, baik sabar yang bersifat idhthirari maupun yang bersifat ikhtiari, semua itu terungkap saat Yusuf membuka rahasia dirinya terhadap saudara-saudaranya dengan mengatakan:
    “Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami”. Sesungguhnya barangsiapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 90).

    Nabi Yusuf telah mengatasi semua ujian dan cobaan serta telah keluar dari fitnah dengan keimanan dan kesabaran yang ada dalam dirinya. Kesabaran Yusuf adalah lebih tinggi nilainya dari pada kesabaran ayahnya yaitu Nabi Ya’qub yang harus berpisah dengan anaknya, dan lebih tinggi nilainya dari kesabaran Nabi Ayyub yang menderita sakit bertahun-tahun. Sikap sabar Nabi Ya’qub dan sikap sabar Nabi Ayyub adalah idhthirari, yaitu tidak ada jalan bagi keduanya untuk menghindar atau menolak apa yang mereka alami, sementara sikap sabar Nabi Yusuf adalah bersifat ikhtiari, yaitu ia bersabar dengan menahan diri untuk tidak mengikuti bujuk rayu seorang wanita yang membujuknya, lalu ketika ia menjadi raja dia bersabar dengan menahan diri untuk tidak bersikap sombong dan takabur.

    Ibnul Qayyim berkata dari apa yang ia nukil dari syaikhnya yaitu Ibnu Taimiyah: “Kesabaran Nabi Yusuf yang menolak ajakan seorang wanita penguasa untuk berbuat maksiat adalah kesabaran yang bernilai lebih tinggi dan lebih sempurna dari pada kesabarannya saat ia dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya dan saat ia harus berpisah dari ayahnya. Sikap sabar Nabi Yusuf pada kedua musibah ini adalah sikap sabar idhthirari yang tidak bisa dihindari, dan tidak ada jalan bagi setiap hamba kecuali harus bersabar saat itu. Sedangkan kesabarannya untuk tidak melakukan maksiat adalah kesabaran yang bersifat ikhtiari (pilihan), karena saat itu harus memerangi nafsunya untuk tidak terjerumus dalam maksiat, bahkan saat itu ia memiliki beberapa faktor yang amat mendukung untuk menerima rayuan wanita itu, antara lain:

    • Ia adalah seorang pemuda, kecenderungan seorang pemuda terhadap wanita adalah amat kuat.

    • Ia masih bujang, yang mana seorang bujang tidak memiliki tempat untuk melampiaskan syahwatnya.

    • Ia adalah seorang asing, yang mana rasa malu seseorang di negara asing tidak seperti di negerinya sendiri yang berada di tengah keluarganya.

    • Saat itu ia adalah seorang hamba sahaya, yang mana hukuman seorang hamba sahaya tidak sama dengan hukuman seorang yang merdeka.

    • Wanita yang mengajaknya untuk berbuat maksiat adalah seorang wanita cantik dan memiliki kedudukan.

    • Saat itu tidak ada orang ketiga yang mengawasi kecuali mereka berdua.

    • Yang mengajak untuk melakukan perbuatan mak-siat itu adalah si wanita, padahal umumnya orang yang mengajak lebih dulu adalah yang lebih besar ambisinya dari pada yang diajak.

    • Wanita itu mengancam untuk memenjarakan Yusuf jika tidak mengikuti keinginannya.

    Walaupun Yusuf memiliki faktor-faktor yang men-dukung untuk melakukan maksiat, ia tetap bersabar dan memilih untuk tidak melakukan maksiat. Inilah kesa-baran ikhtiari untuk mendapatkan apa yang ada di sisi Allah. Bandingkanlah kesabarannya ini dengan kesaba-rannya saat ia dibuang oleh saudara-saudaranya ke dalam sumur, yang mana tidak ada pilihan baginya kecuali harus bersabar menerima perlakuan itu.

    Nabi Yusuf telah mengorbankan kesenangan duniawinya demi agamanya, dan mengorbankan kebebasannya demi aqidahnya dengan mengucapkan ucapan terkenal yang Allah abadikan di dalam Al-Qur’an:
    “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33).

    Dan setelah beliau dibebaskan dari lamanya kehidupan penjara, beliau tidak lupa diri dengan menghirup udara kebebasan, melainkan beliau meminta untuk dilakukan pengusutan terhadap kasusnya hingga seluruh manusia tahu bahwa ia tidak bersalah, maka bertambah besarlah kekaguman raja saat itu kepada pribadi Yusuf, maka raja itu berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku”, pertama kali raja itu hanya berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku.”, kemudian setelah raja bercakap-cakap dengan Yusuf, sang raja berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya di sisi kami.” (Yusuf: 54).

  • Sabar terhadap takdir Allah yang menyakitkan

    Sesungguhnya orang yang paling masyhur untuk dikaitkan dengan jenis kesabaran ini adalah Nabi Ayyub ’alahis salam, penderitaan besar dan panjang telah menimpa Ayyub pada tubuhnya, keluarganya, dan hartanya. Kendati demikian beliau tetap bersabar, maka dari itu Al-Qur’an mengabadikan kisahnya dengan menyebutkan:
    “Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabbnya; “Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mere-ka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mem-punyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu (isteri-mu) dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesung-guhnya dia amat ta’at (kepada Rabbnya).” (Shaad: 41-44).

    Allah Subhaanahu Wata’aala menyebutkan dengan berbagai macam kehormatan, karena besarnya kesabaran yang melekat pada dirinya, di antara kehormatan itu adalah:

    • Memuliakan dengan mengabadikan kisahnya di dalam Al-Qur’an.

    • Memuliakan dengan menyebutnya: hamba Kami, kata hamba merupakan kata yang menunjukkan kepada penyembahan (ibadah) yang merupakan perbuatan yang amat dimuliakan, kemudian kata hamba itu dipadukan dengan kalimat pengganti Allah yang diungkapkan dengan kata pengganti yaitu “Kami”.

    • Allah mengabulkan permohonan Nabi Ayyub saat beliau berdo’a kepada Allah untuk menghilangkan penderitaannya, yaitu dengan mengembalikan keluarganya.

    • Allah mewahyukan kepadanya untuk melakukan yang dapat mengeluarkan dirinya dari sumpah yang telah ia sumpahkan kepada istrinya, hingga wahyu Allah itu membebaskan dirinya untuk tidak melang-gar sumpahnya.

    Dan penghargaan terakhir yang Allah berikan adalah firman-Nya yang berbunyi:
    “Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar, dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Rabbnya.”

    Di sini Allah menyifati Nabi Ayyub dengan sebutan penyabar, sehingga bila disebutkan kata sabar maka pasti akan teringat akan nama Nabi Ayyub. Kemudian Allah berfirman: “Dialah sebaik-baiknya hamba”, inilah kesaksian dari Allah yang menyatakan kesempurnaan Nabi Ayyub dalam beribadah kepada Allah, kemudian ditutup dengan firman-Nya: “Sesung-guhnya ia adalah seorang yang awwab”, arti dari kata awwab adalah orang yang selalu mengembalikan segala sesuatu kepada Allah.

    Allah Subhaanahu Wata’aala juga telah menyebutkan tentang kesabaran Nabi Ayyub di tempat lain, Allah berfirman:
    “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya: “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya: 83-85).

    Permohonan Nabi Ayyub kepada Tuhannya diungkapkan dengan ungkapan yang lembut dan santun, Nabi Ayyub telah memanggil Tuhannya dengan menyebut Tuhan yang patut untuk disifati-Nya dengan ungkapan: “Sesungguhnya aku telah tertimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”, lalu Allah memperkenankan permohonan itu dengan melenyapkan penyakit yang ada padanya dan mengembalikan keluarganya kepa-danya, dan Allah menjadikan Ayyub sebagai sosok untuk diteladani dalam hal bersikap sabar.