Besarnya perkara imamah dalam shalat

Imamah kaum muslimin dalam shalat merupakan kedudukan besar dan tugas mulia, Nabi saw sendiri yang memikulnya sepanjang hayat beliau dan dilanjutkan oleh khulafa` rasyidin sesudah beliau.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah orang yang paling aqra` terhadap kitabullah Ta’ala, jika mereka sama dalam perkara qaira`ah maka yang paling mengetahui sunnah, jika mereka sama dalam perkara sunnah maka yang lebih dulu hijrahnya, jika mereka sama dalam perkara hijrah maka yang lebih dulu masuk Islam.” Dalam sebuah riwayat, “Maka yang lebih tua usianya.” (HR. Muslim).

Dari sini hendaknya orang yang mengimami kaum muslimin dalam melaksanakan rukun Islam paling agung ba’da syahadatain bukan orang asal-asalan atau sembarangan, akan tetapi dia patut menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji yang sesuai dengan tugas dan posisinya sebagai imam kaum muslimin dalam shalat.

Para ulama bersepakat bahwa shalat di belakang imam adil, alim, bertakwa dan wara’ adalah lebih utama dan lebih baik daripada shalat di belakang selainnya. Para ulama juga bersepakat bahwa makruh shalat di belakang orang fasik karena dia tidak dipercaya bisa menjaga syarat-syaratnya, di samping itu menjadikannya sebagai imam menyebabkan berkurangnya jamaah karena keengganan mereka untuk bermakmum kepadanya.

Masalahnya, apakah shalat di belakang imam fasik sah sehingga tidak diulang atau tidak sehingga harus diulang?

Pendapat yang kuat lagi rajih dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama, madzhab Hanafi, Maliki dalam sebuah riwayat, Syafi’i dan Hanbali dalam sebuah riwayat.

Dari sini maka salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah Shalat ditegakkan di belakang imam adil maupun fajir.

Di antara dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa Rasulullah saw bersabda, “Mereka –Yakni para umara`- shalat untuk kalian, jika mereka benar maka untuk mereka dan untuk kalian, namun jika mereka keliru maka untuk kalian dan atas mereka.”

Izin Nabi saw untuk shalat di belakang para umara`, padahal tidak tertutup kemungkinan bahwa sebagian dari mereka bukan orang yang adil menunjukkan keabsahan shalat di belakang imam yang fasik.

Di antara dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadits Abu Dzar, dia berkata, Nabi saw bersabda kepadaku, “Bagaimana jika kamu dipimpin oleh para umara` yang mengakhirkan shalat dari waktunya?” Aku berkata, “Apa yang Engkau perintahkan kepadaku?” Nabi saw bersabda, “Shalatlah pada waktunya, jika kamu mendapatkan shalat bersama mereka maka shalatlah karena ia bagimu adalah nafilah.” (HR. Muslim).

Orang yang mematikan shalat dengan melaksanakannya di luar waktu adalah orang fasik, walaupun demikian Nabi saw meminta Abu Dzar untuk shalat di belakangnya.

Walaupun shalat di belakang imam fasik sah, akan tetapi hendaknya imamah tidak diserahkan kepada orang fasik, lebih-lebih imamah ratibah (imam tetap), jika fasik tetap dijadikan imam di luar wewenang kita, maka hal itu bukan alasan untuk meninggalkan jamaah. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)