Besarnya perkara kehormatan

Kehormatan merupakan salah satu dari hak asasi muslim di mana Islam hadir untuk menjaga dan melindunginya, dan untuk menjaganya Islam meletakkan langkah-langkah preventif dengan mengharamkan seseorang membicarakan kehormatan saudaranya atau menciderainya dengan melayangkan tuduhan-tuduhan palsu, hal ini berlaku di antara satu muslim dengan muslim yang lain, lalu bagaimana jika hal itu di antara muslim dengan muslimah yang terikat tali perkawinan?

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (An-Nur: 23-25).

Dari Abu Hurairah rhu dari Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran, makan riba, makan harta anak yatim, berlari dari medan perang dan menuduh wanita mukminah yang terjaga yang tidak mengerti.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 2767 dan Muslim no. 89).

Suami tidak boleh menuduh istri hanya karena anak yang dia lahirkan beda warna kulit dengannya

Dari Said bin al-Musayyib dari Abu Hurairah rhu bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, anakku lahir berkulit hitam.” Nabi saw bersabda, “Adakah kamu mempunyai unta?” Dia menjawab, “Ya.” Nabi saw bertanya, “Apa warnanya?” Dia menjawab, “Merah.” Nabi saw bertanya, “Adakah yang berwarna abu-abu?” Dia menjawab, “Ada.” Nabi saw bertanya, “Dari mana ia?” Dia menjawab, “Mungkin dari keturunan nenek moyangnya.” Nabi saw bersabda, “Bisa jadi anakmu itu dari keturunan nenek moyangnya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 5303, 6884 dan Muslim no. 1500).

Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, laki-laki itu berkata, “Ya Rasulullah saw istriku melahirkan anak berkulit gelap.” Dia bermaksud mengingkarinya. Di akhir hadits terdapat tambahan, dan Nabi saw tidak membolehkannya untuk mengingkarinya.

Suami tidak berhak mengingkari anaknya dengan alasan dia melakukan senggama putus

Jika suami menggauli istri dan membuang spermanya di luar lalu istrinya ternyata hamil maka suami tidak boleh menuduhnya atau mengingkari kehamilannya, karena sperma mungkin mendahuluinya sehingga istrinya hamil tanpa dia merasa. Hal ini ditetapkan oleh sunnah yang shahih, dari Jabir bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw maka dia berkata, “Ya Rasulullah, aku mempunyai hamba sahaya, dia adalah pelayan kami dan pengambil air bagi kami, aku menggaulinya tetapi aku tidak ingin dia hamil.” Nabi saw bersabda, “Lakukanlah azl jika kamu ingin, apa yang ditakdirkan untuknya tetap akan datang kepadanya.” Beberapa waktu setelah itu laki-laki datang lagi, dia berkata, “Sesungguhnya hamba sahaya tersebut hamil.” Nabi saw bersabda, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa apa yang ditakdirkan untuknya akan datang kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1439).

Dari Abu Said al-Khudri berkata, Rasulullah saw ditanya tentang azl, maka beliau bersabda, “Tidak semua sperma membentuk anak, tetapi jika Allah hendak menciptakan sesuatu maka tidak ada sesuatu yang mencegahnya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 2229 dan Muslim no. 1438).

Tidak boleh berburuk sangka kepada istri

Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.”(Al-Hujurat: 12).

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Jauhilah prasangka karena prasangka adalah pembicaraan yang paling dusta, jangan memata-matai, jangan mengawasi, jangan saling membenci dan jadilah kalian bersaudara, seseorang tidak melamar di atas lamaran saudaranya sehingga dia menikahinya atau meninggalkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 5144 dan Muslim no. 1413).

Suami tidak boleh mamata-matai istrinya

Allah Ta’ala berfirman, “Jangan memata-matai.” (Al-Hujurat: 12).

Dari Jabir berkata, “Rasulullah saw melarang suami pulang kepada keluarganya pada malam hari untuk mencari kesalahan mereka atau mengendus aib mereka.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1801 dan Muslim no. 715, ini adalah lafazhnya).

Cemburu adalah wajib

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga orang yang Allah haramkan surga bagi mereka: pecandu khamar, pendurhaka kepada bapak ibunya dan dayyuts yang membiarkan keburukan pada keluarganya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad 2/134, ini adalah lafzahnya, an-Nasa`i no. 2562 dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3052).

Cemburu ada batasnya

Dari Jabir bin Atik al-Anshari dari bapaknya berkata, Rasulullah saw bersabda, “Di antara cemburu ada yang dicintai Allah dan ada yang dibenci Allah. Di antara kesombongan ada yang dicintai Allah dan ada yang dibenci Allah. Adapun cemburu yang dicintai Allah maka ia adalah cemburu dalam sesuatu yang mencurigakan. Adapun cemburu yang dibenci Allah maka ia adalah cemburu dalam sesuatu yang tidak mencurigakan.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2659, an-Nasa`i no. 2558, ad-Darimi no. 2226 dan Ahmad 5/445, 446 dihasankan oleh al-Albani dalam al-Irwa` 7/59).

Dari Muawiyah berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya jika kamu mengendus-ngendus kesalahan-kesalahan manusia niscaya kamu merusak mereka atau hampir merusak mereka.” Abu ad-Darda` berkata, “Sebuah kalimat yang didengar oleh Muawiyah dari Rasulullah saw, Allah Ta’ala memberikan manfaat kepadanya kerenanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4888, dishahihkan oleh an-Nawawi dalam Riayadh ash-Shalihin 1/458).

Jika suami mengakui anak atau kehamilan istri maka dia tidak boleh mengingkarinya setelah itu

Asy-Syafi’i berkata, “Jika seorang suami mengakui kehamilan istrinya lalu istri melahirkan seorang anak dari kehamilan tersebut atau lebih kemudian dia mengingkarinya anak itu atau dua anak kembarnya dari kehamilan itu maka anak tersebut tidak dinafikan dari suami, tidak dengan li’an atau selainnya.” (Al-Um 5/311).

Lanjut asy-Syafi’i, “Suami tidak berhak menafikan anaknya setelah dia mengakuinya sekali atau lebih hanya karena dia melihat anaknya tidak mirip dan indikasi-indikasi lainnya jika suami mengakui bahwa anak itu lahir di atas ranjangnya, dia tidak boleh mengingkarinya dalam keadaan apa pun kecuali jika dia sudah mengingkarinya sebelum mengakuinya.” (Al-Um 5/141).

Jika suami mengakui salah satu bayi kembar maka dia tidak boleh mengingkari kembarannya

Ibnu Qudamah berkata, “Pasal, jika istrinya melahirkan bayi kembar kurang dari enam bulan lalu dia menasabkan salah satunya kepada dirinya dan mengingkari yang lain, maka keduanya terindukkan nasabnya kepadanya, karena keduanya dalam satu kehamilan, tidak mungkin salah satu bayi darinya sedangkan bayi yang lain dari orang lain, jika nasab salah satu dari keduanya ditetapkan kepadanya maka secara otomatis nasab yang lain juga terinduk kepadanya, kami menjadikan anak yang dia ingkari seperti anak yang dia akui, tidak sebaliknya, karena sebisa mungkin kita mengindukkan nasab daripada mengingkarinya.” (Al-Mughni 8/57).
(Izzudin Karimi)