Banyak sekali faidah yang dapat dipetik dari pembicaraan seputar sejarah perpecahan umat. Berbagai peristiwa yang terjadi di awal Islam tersebut sarat dengan ibrah (pelajaran). Tentunya kami tidak mampu menyuguhkan sejarah perpecahan itu secara terperinci, akan tetapi ada beberapa point yang dapat kita jadikan pelajaran. Sembari meluruskan beberapa persepsi keliru sebagian orang sekitar masalah tersebut dewasa ini.

  • Pertama: Sumbu perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah berupa i’tiqad dan pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang pertama kali didengar oleh kaum muslimin dan para sahabat adalah aqidah Saba’iyah yang merupakan cikal bakal aqidah Syi’ah dan Khawarij. Itulah benih awal perpecahan yang ditaburkan di tengah-tengah kaum muslimin. Aqidah ini disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama yang memunculkannya juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang-orang menyebutnya Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba’. Ia mengacaukan barisan kaum muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang merancang makar jahat terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda ingusan. Begitu pula sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu Saba’, membuat makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal bakal Syi’ah dan Khawarij dari mereka.

    Hal ini ditinjau dari sudut pandang aqidah dan keyakinan sesat yang pertama kali muncul yang menyelisihi asas Islam dan Sunnah.

    Adapun kelompok sempalan yang pertama kali muncul yang memisahkan diri dari imam kaum muslimin adalah kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini sebenarnya berasal dari aqidah Saba’iyah. Banyak orang yang mengira keduanya berbeda, padahal sebenarnya cikal bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor Saba’iyah. Perlu diketahui bahwa Saba’iyah ini terpecah menjadi dua kelompok utama: Khawarij dan Syi’ah.

    Kendati antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok, namun dasar-dasar pemikirannya setali tiga uang. Baik Khawarij maupun Syi’ah muncul pada peristiwa fitnah atas diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Fitnah ini diprakarsai oleh Abdullah bin Saba’ lewat ide, keyakinan dan gerakannya. Dari situlah muncrat aqidah sesat, yaitu aqidah Syi’ah dan Khawarij.

    Perbedaan antara Khawarij dan Syi’ah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokohnya supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba’ dan konco-konconya menabur beragam benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa nafsu itu. Kemudian membuat trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu terjadi permusuhan guna memecah belah umat sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum muslimin, yakni dengan istilah yang mereka namakan blok kanan dan blok kiri. Mereka mengkotak-kotakkan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka munculkan babak permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme, modernisme, primitif, ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah permainan yang sama, dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya juga itu-itu juga demikian pula tujuannya, hanya saja corak ragamnya berbeda.

    Jadi secara keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu sama lain saling bermusuhan.

  • Kedua: Ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam sejarah tidak kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang terjadi di antara mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan dengan ijma’ (kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama’ah serta tetap komitmen terhadap imam. Itulah yang terjadi di kalangan sahabat. Tidak ada seorang sahabat pun yang memisahkan diri dari jama’ah. Tidak ada satupun di antara mereka yang melontarkan ucapan bid’ah atau mengada-adakan perkara baru dalam agama. Sungguh, para sahabat merupakan imam dalam agama yang mesti diteladani oleh kaum muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang memecah dari jama’ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid’ah dan sumber perpecahan. Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang dinisbatkan oleh sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar! Hanyalah dusta dan kebohongan besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat. Sangat keliru bila Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber Syi’ah, Abu Dzar Al-Ghifari sebagai sumber sosialisme, para sahabat ahlus shuffah sebagai cikal bakal kaum sufi, Mu’awiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda’ dituduh sebagai sumber Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu, mengada-adakan bid’ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal! Jelas itu semua merupakan kebatilan murni!

    Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi’ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu bahkan pada masa kekhalifahan Utsman radhiyallahu ‘anhu belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para shahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan Allah pasti terjadi!

TOKOH-TOKOH AHLI BID’AH

Setelah berbicara tentang sejarah perpecahan umat, ada baiknya kita lanjutkan pembicaraan tentang asal-usul bid’ah. Guna mengetahui tokoh-tokoh pencetus kelompok-kelompok sesat yang merupakan biang perpecahan. Yaitu oknum-oknum yang mengusung bid’ah tersebut hingga menjadi pemimpin-pemimpin sesat sampai hari Kiamat. Hingga sepeninggal mereka, terbuka lebarlah pintu perpecahan, semakin bertambahlah orang-orang yang menyesatkan. Di antara oknum-oknum tersebut ialah:

  • Pelopor perpecahan: Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi, seorang Yahudi yang mengaku-aku beragama Islam. Berikut pengikut dan konco-konconya. Ide kotornya pertama kali muncul sekitar tahun 34 H. Ibnu Sauda’ ini memadukan antara bid’ah Khawarij dan Syi’ah.

  • Setelah itu Ma’bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80 H) meluncurkan pemikiran bid’ah seputar masalah takdir sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdir-Nya. Ia mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses. Di samping orang-orang yang megikutinya juga banyak. Namun bid’ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu.

  • Kemudian muncullah Ghailan Ad-Dimasyqi yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah takdir sekitar tahun 98 H. Dan juga dalam masalah ta’wil, ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan masalah irja’ (Pemikiran bahwa iman itu statis, tidak bertambah dan tidak berkurang). Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk di antara yang menentangnya adalah Khalifah Ar-Rasyid Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi ahli bid’ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid’ahnya. Ghailan ini akhirnya dibunuh setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105 H.

  • Setelah itu muncullah Al-Ja’d bin Dirham (yang terbunuh tahun 124 H). Ia mengembangkan pendapat-pendapat sesat itu. Dan meracik antara bid’ah Qadariyah dengan bid’ah Mu’aththilah (Orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah) dan ahli ta’wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-Ja’d ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka setelah semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abdullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat masyhur, Khalid berpidato seusai menunaikan shalat ‘Iedul Adha: “Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin Dirham, karena ia telah mendakwakan bahwa Allah subhanahu wata’aala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara …. dan seterusnya.” Kemudian beliau turun dari mimbar dan menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124 H.

  • Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta menambah dengan bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditelurkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi dengan bid’ah ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid’ah ta’wil, bid’ah irja’, bid’ah jabariyah (Radikal dalam penetapan takdir hingga meyakini bahwa manusia tidak punya ikhtiar dalam amal perbuatannya), bid’ah kalam (Yaitu meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah) , tidak meyakini Allah bersemayam di atas Arsy, menolak sifat al-’uluw (yang maha tinggi) bagi Allah, menolak ru’yah (Yaitu menolak meyakini Allah dapat dilihat kaum mukminin di Surga pada hari Kiamat) . Al-Jahm dihukum mati pada tahun 128 H.

  • Dalam waktu yang bersamaan, muncul pula Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubeid. Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.

Setelah itu terbukalah pintu perpecahan. Kelompok Rafidhah mulai berani menyatakan terang-terangan aqidah dan keyakinannya. Kemudian sekte Syi’ah ini terpecah belah menjadi beberapa golongan. Lalu muncullah kaum Musyabbihah (Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya) dari kalangan Syi’ah melalui tokoh-tokohnya seperti Dawud Al-Jawaribi, Hisyam bin Al-Hakam, Hisyam bin Al-Jawaliqi dan lain-lain. Mereka itulah peletak dasar ajaran Musyabbihah dan pelopornya. Mereka juga termasuk pengikut ajaran Syi’ah.

Kemudian muncullah Al-Mutakallimun (Ahli Kalam) seperti Al-Kullabiyah (Pengikut Ibnu Kullab. Inti aqidah mereka ialah hanya menetapkan beberapa sifat Allah saja yang menurut mereka dapat diterima falsafah akal mereka), Al-Asy’ariyah (Pengikut Abul Hasan Al-Asy’ari yang inti aqidah mereka sama dengan Al-Kullabiyah dengan sedikit perbedaan-perbedaan) dan Al-Maturidiyah. Lalu muncul pula aliran-aliran sufi dan ahli-ahli filsafat. Dengan demikian, pintu perpecahan terbuka luas bagi setiap orang sesat, ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Sehingga tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum muslimin sampai sekarang ini.

Sampai hari ini, ekses-ekses perpecahan masih terlihat di antara kaum muslimin. Bahkan terus bertambah dengan munculnya bid’ah-bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan baru di samping perpecahan yang sudah ada, sejalan dengan hawa nafsu manusia yang sudah begitu akrab dengan bid’ah dan kesesatan.

Sebagian orang mengira bahwa kelompok-kelompok bid’ah itu sudah sirna dan sudah menjadi koleksi sejarah masa lalu. Entah karena kejahilan mereka atau karena pura-pura tidak tahu! Asumsi seperti itu jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu masih tetap ada sampai sekarang di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan semakin banyak, semakin berbahaya dan semakin menyimpang. Rafidhah dengan sekte-sektenya yang batil serta golongan Syi’ah lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah, Ahli Kalam, kaum sufi dan ahli filasafat, masih berusaha menyesatkan umat. Bahkan mereka mulai berani menampakkan taring, mempromosikan aqidah mereka dengan cara yang lebih keji dari pada sebelumnya. Karena pada hari ini, mereka mengklaim ajaran mereka sebagai ilmu pengetahuan, wawasan dan pemikiran. Di samping minimnya pemahaman kaum muslimin tentang agama mereka dan kejahilan mereka tentang aqidah yang benar. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.