Umair bin Saad memilih pergi ke pinggiran Madinah dan tinggal di sana, Umar bin al-Khatthab sebagai khalifah hendak mengetahui keadaan laki-laki yang pernah menjadi gubernurnya tersebut, maka Umar berkata kepada orang kepercayaannya yang bernama al-Harits, “Wahai Harits, pergilah kepada Umair bin Saad, tinggallah di sana seolah-olah kamu adalah tamu, jika kamu melihat tanda-tanda kenikmatan maka pulanglah seperti kamu datang. Namun jika kamu mendapatkan keadaan yang sulit maka berikanlah dinar-dinar ini kepadanya.” Lalu Umar memberikan sebuah kantong berisi dinar kepadanya.

Al-Harits berangkat hingga dia tiba di kampung Umair, dia bertanya tentangnya maka seseorang menunjukkannya kepadanya. Ketika al-Harits bertemu dengannya, dia berkata, “Assalamu alaika wa rahmatullah.” Umair menjawab, “Wa alaikas salam wa rahmatullah wa barakatuh. Dari mana kamu?” Al-Harits menjawab, “Madinah.” Umair bertanya, “Bagaimana kamu meninggalkan kaum muslimin?” Al-Harits menjawab, “Baik.” Umair bertanya, “Bagaimana Amirul Mukminin?” Al-Harits menjawab, “Sehat lagi baik.” Umair bertanya, “Bukanlah dia menegakkan hukuman had?” Al-Harist menjawab, “Benar, dia telah mencambuk anaknya karena melakukan perbuatan keji.” Umair berkata, “Ya Allah, bantulah Umar, karena aku tidak mengetahui kecuali bahwa dia sangat menyintaiMu.”

Al-Harits tinggal sebagai tamu bagi Umair bin Saad selama tiga malam, setiap malam Umair menyediakan beberapa roti kecil dari gandum. Di hari ketiga seorang laki-laki penduduk kampung berkata kepada al-Harits, “Engkau telah membuat susah Umair dan keluarganya, mereka tidak mempunyai apa pun selain roti-roti kecil yang mana mereka lebih mementingkan dirimu daripada diri mereka, kelaparan dan kemiskinan telah menyulitkan mereka. Apabila engkau berkenan maka pindahlah kepadaku dari mereka.”

Pada saat itu al-Harits mengeluarkan dinar dan menyerahkannya kepada Umair. Umair bertanya, “Apa ini?” Al-Harits menjawab, “Amirul Mukminin mengirimkannya kepadamu.” Umair bertanya, “Kembalikan ia kepadanya, sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya, ‘Umair tidak memerlukannya.”

Maka istrinya yang mendengar perbincangan Umair dengan tamunya berkata, “Wahai Umair, terimalah ia, jika engkau memerlukan maka gunakanlah, jika tidak maka letakkanlah ia di tempatnya, orang-orang yang membutuhkan di sini berjumlah banyak.”

Manakala al-Harits mendengar ucapan istrinya, dia meninggalkan dinar di depan Umair dan dia pun pergi. Umair mengambilnya dan membagi-bagikannya dalam kantong-kantong kecil, dia tidak bermalam di hari malam itu kecuali dia sudah membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan, khususnya anak-anak para syuhada`.

Al-Harits pulang ke Madinah, Umar bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lihat wahai Harits?” Dia menjawab, “Keadaan yang sangat sulit wahai Amirul Mukminin.” Umar bertanya, “Apakah kamu menyerahkan dinar itu kepadanya?” Dia menjawab, “Ya, wahai Amirul Mukminin.” Umar bertanya, “Lalu apa yang dia lakukan terhadapnya?” Dia menjawab, “Tidak tahu, tetapi aku mengira bahwa dia tidak menyisakan satu dirham pun untuk dirinya.”

Maka Umar menulis kepada Umair, dia berkata, “Jika kamu telah menerima suratku ini maka jangan meletakkannya dari tanganmu sebelum kamu datang kepadaku.”

Umair bin Saad menuju ke Madinah, dia menemui Amirul Mukminin, Umar menyambutnya dengan hangat dan mendudukkannya di sampingnya, kemudian Umar bertanya, “Apa yang kamu lakukan terhadap dinar itu wahai Umair?” Umair menjawab, “Umar, apa urusanmu terhadapnya? Bukanlah engkau seudah mengeluarkannya?” Umar berkata, “Aku meminta kepadamu dengan sangat agar kamu mengatakan kepadaku apa yang kamu lakukan terhadapnya.” Umair menjawab, “Aku menyimpannya untuk diriku agar aku bisa mengambil manfaatnya di hari di mana harta dan anak-anak tidak berguna lagi.”

Dan Umar pun menangis dan dia berkata, “Aku bersaksi bahwa kamu termasuk orang-orang yang mementingkan orang lain sekalipun dirinya sendiri memerlukan.”

Kemudian Umar memberinya dua wasaq makanan dan dua helai kain. Umair berkata, “Adapun makanan maka aku tidak memerlukannya wahai Amirul Mukminin, aku telah meninggalkan dua sha’ gandum pada keluargaku, sebelum ia habis Allah Azza wa Jalla sudah memberikan rizki kepada kami. Adapun dua kain ini maka aku menerimanya karena baju Ummu fulan, yakni istrinya, sudah usang dan dia hampir telanjang.”

Tidak berlangsung lama dari pertemuan Umar dengan Umair, Allah Ta’ala memanggil Umair untuk menyusul Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam. Umair pulang meniti jalan akhirat dengan jiwa yang tenang dan pikiran yang yakin, pundaknya tidak memikul beban dunia dengan berat, punggungnya tidak menanggung tanggung jawab dunia yang tidak ringan. Dia berpulang tanpa membawa apa pun selain cahayanya, petunjuknya, kebersihan hati dan ketakwaannya.

Manakala berita kematiannya tiba di telinga al-Faruq, wajahnya dipayungi oleh kesedihan dan duka cita menyayat hatinya, dia berkata, “Aku berharap mempunyai orang-orang seperti Umair bin Saad, aku bisa meminta bantuan mereka untuk menunaikan tugas-tugas kaum muslimin.”

Dari Shuwar min Hayat ash-Shahabah, Dr Abdurrahman Ra`fat Basya.