Oleh: Izzudin Karimi, Lc.

KHUTBAH PERTAMA:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah!
Masyarakat Muslim yang baik merupakan idaman setiap Muslim, dan seperti kita ketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan dari rumah, ini berarti kebaikan masyarakat kembali kepada kebaikan rumah. Dan rumah seperti yang kita ketahui memiliki anggota-anggota, di mana masing-masing memikul tanggung jawab sesuai dengan posisi yang ditempatinya, dan kebaikan rumah kembali kepada peran aktif anggotanya dalam memikul tanggung jawab tersebut. Bapak adalah penanggung jawab umum dan utama dalam sebuah rumah, di tangannya arah sebuah rumah ditentukan, dan tanggung jawab utamanya adalah menjaga dan melindungi, sebagaimana Firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluarga-mu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendur-hakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).

Sementara ibu juga memiliki tanggung jawab yang sebanding, tanggung jawabnya adalah kepada rumah. Tentang prinsip tang-gung jawab ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ … وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَـنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا.

“Masing-masing dari kalian adalah penanggung jawab dan masing-masing dari kalian bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya…. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab terhadap keluarganya dan dia bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya, seorang wanita adalah penanggung jawab di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya.” (Muttafaq ‘alaihi dari Ibnu Umar. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 472; dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1201).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam perlu menyinggung tanggung jawab bapak dan ibu karena besarnya pengaruh dan peranan keduanya dalam membentuk anak yang merupakan amanah dari Allah. Adakah pengaruh yang lebih besar daripada menjadikan anak yang lahir di atas fitrah menyimpang dari fitrah tersebut?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ وَاقْرَؤُوْا إِنْ شِئْتُمْ : فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

“Tidak ada anak kecuali dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi, sebagaimana binatang ternak melahirkan anaknya dalam keadaan lengkap. Apakah kamu melihat kekurangan padanya?” Kemudian Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bacalah jika kalian mau, ‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah’.” (HR. Muslim, Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1852).

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Anak adalah amanat Allah kepada kita, masing-masing dari kita berharap anaknya menjadi anak yang baik, dan demi itu dibutuhkan optimalisasi tanggung jawab dan peran dari orang tua. Meskipun pada dasarnya seorang anak lahir di atas fitrah, akan tetapi ini tidak berarti kita membiarkannya tanpa pengarahan dan bimbingan yang baik dan terarah, karena sesuatu yang baik jika tidak dijaga dan dirawat, ia akan menjadi tidak baik akibat pengaruh faktor-faktor eksternal. Pendidikan dan pengarahan yang baik terhadap anak sebenarnya sudah harus dimulai sejak anak tersebut belum lahir bahkan sebelum anak tersebut ada di dalam kandungan yaitu dengan memilih ibu yang merupakan sekolah pertama bagi anak. Dari sini kita memahami mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau memaparkan alasan seorang wanita dinikahi, mendorong agar alasan agama diletakkan dalam skala prioritas. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut, Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilih-lah wanita yang agamis, niscaya kamu beruntung.” (Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1750; dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 798).

Dari sini kita bisa memahami larangan al-Qur`an menikahi wa-nita musyrik dan pernyataannya bahwa budak yang beriman adalah lebih baik darinya. Firman Allah Ta’ala,

وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai me-reka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221).
Sebagaimana kita memahami larangan al-Qur`an menikahi wanita pelaku kemaksiatan. Firman Allah Ta’ala,

الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang Mukmin.” (An-Nur: 3).

Pendidikan dan pengarahan seperti apa yang diharapkan dari seorang pezina, sedang dia merupakan sekolah pertama bagi anak-nya, sementara dia sendiri seperti itu? Ada benarnya juga kata pepatah, ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Pepatah Arab berkata, ‘Bejana memberikan rembesan sesuai dengan isinya’.

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Ada satu perkara yang patut kita perhatikan dalam menyiapkan dan memilih sekolah pertama yang baik bagi anak, yaitu hendaknya kita memperbaiki diri kita terlebih dahulu, karena inilah titik tolak yang memberi pengaruh besar kepada sekolah pertama anak dan kepada anak itu sendiri. Karena sudah menjadi sunna-tullah kebaikan berpasangan dengan kebaikan, dan orang yang baik akan dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan. Hal ini diisyaratkan dengan jelas oleh Firman Allah Ta’ala,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (An-Nur: 26).

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Dari segi ini, maka dalam fikih pernikahan terdapat pemba-hasan tentang kafa`ah atau kufu`, dan kami bisa mengerti pendapat sebagian ulama –dan ini adalah pendapat yang rajih- yang memper-timbangkan agama dan akhlak sebagai dasar bagi kafa`ah. Katanya, “Laki-laki fajir tidak sekufu` dengan wanita afifah (wanita baik).” Oleh sebab itu, Rasulullah a mendorong para wali agar menikah-kan anaknya dengan orang yang beragama dan berakhlak baik. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَــزَوِّجُوْهُ .

“Jika datang kepadamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlak-nya maka nikahkanlah dia.” (HR. at-Tirmidzi, no.1086, dia ber-kata, “Hadits hasan gharib”).

Kebaikan diri juga berimbas kepada anak. Ada pepatah mengatakan, orang yang tidak memiliki tidak memberi.

Bagaimana Anda bisa membuat anak Anda baik sementara Anda tidak memiliki kebaikan? Tahukah kita siapa yang mengucapkan doa berikut ini?

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً

“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan ketu-runan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74).

Mereka adalah ibadur Rahman, para hamba Allah yang Maha-rahman, para pemilik sifat-sifat mulia dan terpuji yang Allah jelas-kan di akhir surat al-Furqan.

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Di samping itu, diperlukan pula pemberian imunisasi kepada anak agar mereka terbentengi dari keburukan, sebab upaya meraih kebaikan pada anak harus dibarengi dengan membentenginya dari keburukan, kebaikan tidak terwujud jika keburukan tidak dihadang, dan sumber keburukan adalah setan, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan suami istri agar berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri yang menjadi sebab kelahiran seorang anak, karena doa terse-but merupakan benteng dari setan bagi si anak.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَمَا لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ يَقُوْلُ حِيْنَ يَأْتِيْ أَهْلَهُ:

“Ketahuilah, seandainya salah seorang dari kalian ketika mendatangi (mencampuri) istrinya mengucapkan,

بِاسْمِ الله، اللهم جَنِّبْنِي الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا،

‘Dengan Nama Allah, ya Allah, jauhkanlah setan dariku dan jauh-kanlah setan dari apa (anak) yang Engkau anugerahkan kepada kami’,

ثُمَّ قُدِّرَ بَيْنَهُمَا فِي ذٰلِكَ، أَوْ قُضِيَ وَلَدٌ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا.

kemudian ditakdirkan atau ditetapkan seorang anak untuk mereka, niscaya setan tidak memudharatkannya selama-lamanya.” (Muttafaq ‘alaihi. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1768; dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 828).

Upaya perlindungan ini tidak sebatas dalam kondisi tersebut, lebih dari itu ia harus dilakukan ketika anak tersebut telah lahir, hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kedua cucunya Hasan dan Husain.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُوْلُ: إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ،

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa untuk melindungi Hasan dan Husain, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya bapak kalian berdoa mengucapkannya sebagai perlindungan kepada Ismail dan Ishaq,

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ الله التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ.

‘Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari segala setan, binatang yang berbisa dan pandangan mata yang mengakibatkan sakit (mata hasad)’.” (HR. al-Bukhari, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1354).

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Kelahiran adalah awal kehidupan seorang anak di dunia, demi kebaikan dan untuk memberikan keberkahan kepadanya dalam kehidupan selanjutnya, maka pada saat dia lahir, orang tuanya dianjurkan melakukan beberapa perkara seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ada akikah, ada cukur rambut, pemberian nama dan tahnik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى.

“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, ia disembelih untuk-nya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya dan dia diberi nama.” (HR. Abu Dawud, no. 2837; dan at-Tirmidzi, no. 1525: dari Samurah bin Jundub, dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan sanad-nya shahih menurut al-Arna`uth di dalam Tahqiq Zad al-Ma’ad, 2/297).

Dari Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Anakku lahir lalu aku mem-bawanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau memberinya nama Ibrahim, beliau mentahniknya dengan sebiji kurma, mendoakannya dengan keberkahan dan menyerahkannya kepadaku.” (Muttafaq alaihi, Mukhtasyar Shahih al-Bukhari, no. 1822; dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1403).

Hal yang sama juga dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah bin az-Zubair, ketika dia dilahirkan oleh ibunya, Asma` binti Abu Bakar, dan nama Abdullah adalah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1400).

Juga kepada putra pasangan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim. Anas berkata, “Lalu Ummu Sulaim melahirkan anak laki-laki. Abu Thalhah berkata kepadaku, ‘Bawalah dia kepada Rasul.’ Lalu aku membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan beberapa biji kurma. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menggendongnya dan bertanya, ‘Ada sesuatu bersamanya?’ Mereka menjawab, ‘Ya, beberapa biji kurma.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihiwasallam mengam-bilnya dan mengunyahnya kemudian mengambilnya dari mulutnya dan memasukkannya ke mulut anak itu dan beliau menamakannya Abdullah.” (HR. Muslim, Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1401).

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Termasuk perkara yang penting terkait dengan kelahiran adalah pemberian nama kepada anak. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada anak Asma` dan Ummu Sulaim seperti yang dijelaskan dalam dua hadits di atas. Dalam pemberian nama kepada anak, hendaknya kita memperhatikan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah teladan bagi kita. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai nama yang baik, beliau menyatakan bahwa nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Beliau menamakan anak Abu Musa, Ibrahim, nama yang sama yang beliau berikan kepada salah seorang putra beliau yang meninggal semasa kecil. Beliau menganjurkan agar memberikan namanya kepada anak-anak. Semua itu adalah nama-nama yang baik, lebih dari sekedar cukup sehingga kita tidak memerlukan nama-nama yang diimpor dari orang-orang yahudi dan nasrani, karena hal itu mengandung sikap mengikuti tradisi-tradisi mereka yang dicela. Nama, seperti kata Ibnul Qayyim, membawa dan menunjukkan makna, maka hikmah menuntut adanya keterkaitan dan kesesuaian antara keduanya. Nama, masih kata Ibnul Qayyim, memiliki pengaruh kepada pemiliknya dan pemilik nama terpengaruh dengan namanya dalam kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, nama yang baik merupakan harapan baik dan nama yang baik adalah nama yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam..

فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ

Khutbah yang kedua

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَلَّى اللَّّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah!
Harapan orang tua kepada anak adalah agar anak menjadi anak yang shalih. Ini karena hanya anak shalih yang berguna bagi orang tua, agar harapan tersebut terwujud, maka hendaknya mendidiknya dengan mengenalkan dan menanamkan aturan-aturan agama kepada anak jika anak memang telah nalar, orang tua memerintahkannya melakukan perintah agama, meskipun belum wajib atasnya agar jika dia kelak dewasa, dia terbiasa dan tidak canggung. Begitu pula orang tua membiasakannya meninggalkan larangan-larangan agama agar kelak bila dia telah dewasa dia memahami batasan-batasan agama yang tidak boleh dilanggar. Shalat sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang tua agar membiasakan anak shalat mulai umur tujuh tahun.
Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya , dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

“Perintahkanlah anak-anakmu shalat sementara mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah karenanya (jika mereka meninggalkan) sementara mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah di antara mereka di tempat tidur.” (HR. Abu Dawud, no.495, dihasankan oleh an-Nawawi di dalam Riyadh ash-Shalihin, no. 4/301; dan didukung oleh al-Arnauth).

Dalam hal larangan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan teladan ketika cucunya al-Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma mengambil kurma sedekah dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُخْ كُخْ اِرْمِ بِهَا، أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ.

“Hus, hus, buanglah ia, ketahuilah bahwa kita tidak makan sedekah.” (Muttafaq ‘alaihi, dengan lafazh Muslim. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 715; dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 515).

Kaum Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Di samping anak dikenalkan dan dibiasakan terhadap perintah dan larangan, hendaknya dia juga diajari adab-adab yang bermanfaat. Al-Qur`an telah memberikan salah satu contoh pengajaran adab kepada anak, yaitu adab isti`dzan. Firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِن قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ الظَّهِيرَةِ وَمِن بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاء ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَّكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُم بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat Shubuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya`. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Menge-tahui lagi Mahabijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah men-jelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha-bijaksana.” (An-Nur: 58-59).

Contoh yang sama telah diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun dalam bidang yang berbeda, yaitu adab makan, beliau ajarkan adab ini kepada anak dari istrinya Ummu Salamah, yaitu Umar bin Abu Salamah.
Dari Umar bin Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كُنْتُ غُلاَمًا فِي حَجْرِ رَسُوْلِ الله ، وَكَانَتْ يَدِي تَطِيْشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِيْ رَسُوْلُ الله: يَا غُلاَمُ، سَمِّ الله، وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ.

“Aku adalah anak kecil dalam asuhan Rasulullah a. (Suatu ketika pernah) tanganku ngacak ke sana kemari di nampan (saat makan ber-sama), maka Rasulullah a bersabda kepadaku, ‘Wahai nak, ucapkan-lah, ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang dekat denganmu.” (Muttafaq alaihi, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1801; dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1300).

Semua ini membantah anggapan sebagian orang, bahwa anak tidak perlu dilarang dan diperintah, biarkan saja katanya, kasihan biar dia bebas, sebab kalau anak diperintah dan dilarang, maka hal itu akan mengekangnya, mematikan kreatifitas dan energinya. Di samping itu, anak belum terkena beban taklif untuk apa dia di-larang dan diperintahkan? Saya katakan kepada orang yang berpendapat demikian, di mana letak pendidikannya kalau begitu? Pendidikan adalah bimbingan dan arahan di mana salah satunya adalah perintah dan larangan. Membiarkan anak tanpanya adalah tidak mungkin. Anak yang belum memahami kemaslahatan dirinya mesti diarahkan dan dibimbing, hanya saja persoalannya terletak pada cara dan metode larangan dan perintah. Bagaimana pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mengetahui tentang anak daripada mereka dan beliau mengarahkan dengan memerintah dan melarang, bagi seorang Muslim beliau adalah imam dan teladan.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ تَسْلِيمًا كَثِيرًا وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ اْلحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالمَِينَ.

(Dikutib dari Buku Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi ke-2, Darul Haq Jakarta).