Jawaban Pertama, Tidak, wahai sahabatku! Shalat bukanlah denda materil yang harus dibayar, bukan pula pajak harta yang harus dipungut, tetapi ia adalah amanah (yang ada padamu) dan dilihat Pemiliknya setiap hari sebanyak lima kali. Lalu Dia bersaksi bahwa kamu setia, jujur, ikhlas dan menjaga hak-hak-Nya, kemudian memberimu imbalan sebesar-besar pahala, karena sudah merawatnya dengan baik.

Benar, ia bukanlah pajak, denda atau pun upeti. Ia hanyalah pengakuan terhadap hak, refleksi syukur terhadap suatu kebaikan, bukti kejernihan jiwa dengan berlaku taat terhadap para pemimpin dan melaksanakan perintah-perintah mereka [Maksudnya adalah simbol ketaatan kepada pemimpin, dimana seorang makmum senantiasa mengikuti gerakan imam di dalam shalat, dan tidak sekalipun menyelisihinya, ed.] serta ungkapan rasa cinta dan penghargaan (terhadap sesama Muslim) -semata karena Allah Subhaanahu Wata’ala- yang telah berpadu di dalam hati.

Bagaimana pendapatmu, wahai teman, andaikata ada seseorang menyodorkan kepadamu sebuah permen, membantu mengangkat barang-barangmu, menunjukan jalan, membantumu mendorong mobilmu yang mogok, atau mengambilkan sesuatu yang jatuh darimu? Bukankah kamu akan mengatakan, ‘Terima kasih,’ menghormatinya, menghargai perbuatannya dan berharap dapat membalas kebaikannya dengan sebaik mungkin? Benar, aku juga manusia sepertimu, senantiasa mengingat dan tidak mengingkari jasa baik (seseorang kepadaku), serta berterima kasih atas hadiah yang (aku terima). Semakin besar jasa baik yang aku dapatkan, semakin besar pula rasa terimakasihku.

Siapakah yang sanggup memberikan nikmat seperti Allah Subhaanahu Wata’ala? Yang menganugerahiku akal dan panca indera, melimpahkan rizki yang baik bagiku, menganugerahkan kesehatan dan keselamatan, memberiku petunjuk kepada agama yang benar, memberiku anak dan keluarga, dan menempatkanku di ladang kebaikan di tengah para sahabat yang mulia dan tetangga yang baik?

Tidak, sekali-kali tidak ada di dalam kehidupan ini yang berbuat baik kepadaku seperti kebaikan Allah Subhaanahu Wata’ala. Tidakkah seharusnya aku harus mensyukuri semua nikmat-nikmat ini, karena selama ini pun aku juga berterima kasih kepada selainNya yang memberikan kebaikan yang jauh lebih sedikit dari itu kepadaku? Tidak diragukan lagi, kamu pasti setuju dan mendukungku tentang rasa syukurku kepadaNya, bahkan memaksaku bila aku berbuat kurang optimal dalam melakukannya. Sebab kamu tidak menginginkanku menjadi manusia yang tidak pandai membalas budi dan mengingkari kebaikan.

Sesungguhnya, rasa syukur secara umum selaras dengan nilai sebuah hadiah dan kedudukan pemberi hadiah. Rasa terima kasihku kepada orang yang menyodorkan sebuah permen kepadaku, tidaklah sama dengan rasa terima kasihku kepada orang yang menyodorkan kepadaku sekaleng permen. Ucapanku kepada anak kecil yang mengambilkan penaku yang terjatuh dariku tidak sama dengan ucapanku kepada seorang pembesar yang mengambilkannya untukku.

Sifat yang dicintai Allah Subhaanahu Wata’ala dariku dalam mensyukuriNya atas segala nikmatNya adalah dengan cara meletakkan dahiku di atas tanah, sebagai pengakuan atas RububiyahNya (keberadaanNya sebagai Sang Pencipta), penyucian atas UluhiyahNya (keberadaanNya sebagai satu-satunya sesembahan yang haq) dan pengakuan atas Ihsan (kebaikan)Nya. Sesungguhnya manusia menundukkan diri di hadapan thaghut-thaghut yang menjadi berhala mereka, padahal realitanya tidak memiliki jasa baik apapun terhadap mereka, bahkan thaghut-thaghut itu ia menyesatkan mereka dari kebenaran dan petunjuk.

Kebanyakan mereka membungkuk di hadapan para pemimpin mereka sebagai penghormatan dan pengagungan, padahal bisa jadi mereka itu adalah makhluk Allah Subhaanahu Wata’ala yang paling buruk. Lalu kenapa aku tidak merundukkan badan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala, Pemilik kekuasaan, Pencipta alam semesta, Rabb langit dan bumi, Yang memberikan manfaat dan menimpakan mudharat, Yang memberi dan mencegah, Yang menghidupkan dan mematikan, dan Yang mengadakan perhitungan terhadap hal yang sekecil dan sebesar apapun?.