Jawaban Kelima, Shalat juga bukan perkara mubah seperti urusan kehidupan; siapa yang mau, boleh melakukannya tapi tidak diberi ganjaran, dan siapa yang tidak melakukannya, maka tidak berdosa. Tetapi ia adalah perintah tegas dan pasti, memiliki waktu tertentu, gerakan khusus, cara yang spesial dan langkah yang terencana. Kamu tidak berhak mengubahnya, baik dengan menambahi atau menguranginya. Saya tidak melihat perlu menggantinya dengan mendahulukan atau mengakhirkannya. Ia seperti sesuap makanan yang jalur masuknya dari mulut, bukan telinga. Dan juga seperti udara yang masuk ke dalam paru-paru dari mulut atau hidung, bukan dari lekuk telapak kedua kaki. Bila kamu memiliki hak berpendapat tentang mengempis atau mengembangnya jantungmu, atau memiliki hak intervensi dalam mengembang atau menyempitnya paru-parumu, maka ketika itu boleh kamu memiliki pandangan dalam perkara shalat.

Shalat adalah seperti aktifitasmu dalam melakukan pekerjaanmu -jika kamu seorang karyawan-, ataupun seperti transaksi jual-belimu, bila kamu seorang pedagang. Bila kamu konsisten dengan pekerjaanmu dan menunaikan kewajiban, maka kamu akan diupah di akhir bulan dengan menerima gajimu atau kamu akan mengisi kantongmu dengan keuntungan yang teraih. Dan jika kamu absen dari pekerjaanmu dan melalaikan kewajibanmu, maka gajimu akan dipotong sesuai dengan jumlah absenmu dan tingkat kelalaianmu, dan kamu akan rugi karena tidak meraih keuntungan yang sebelumnya kamu angan-angankan.

Seringkali orang memperhitungkan hal yang mubah seperti memperhitungkan hal yang wajib. Bagaimana pendapatmu bila setelah pertengahan malam, kamu mengambil radio, lalu kamu putar volumenya hingga terdengar sangat kencang suaranya, atau kamu bernyanyi dengan suara sekeras mungkin, pastilah para tetangga akan terganggu, mengumpatimu dan mengetuk pintumu, memintamu mengecilkan volume radio atau mengurangi volume suaramu. Jika tidak, pasti kamu akan mendapat sanksi. Bukankah aktifitasmu mendengar radio merupakan hal yang mubah bagimu di mana kamu boleh mendengarkannya kapan mau dan bagaimana pun caranya? Kalau begitu, kenapa kamu kekang kebebasanmu?.

Jawabannya adalah, karena kamu telah diikat dengan peraturan khusus ataupun umum yang tidak boleh kamu langgar, maka apalagi dengan apa yang telah diwajibkan Allah Subhaanahu Wata’ala kepada para hambaNya yang beriman kepada Uluhiyah dan RububiyahNya serta ridha terhadap syariat dan dien (agama)Nya? Apakah mereka itu adalah orang-orang yang bebas dalam melakukan ibadah dan shalat kepadaNya? Ataukah mereka orang-orang yang terikat dengan perintah-perintahNya dan harus melaksanakannya?