Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melepaskan menantunya Abu al-Ash bin ar-Rabi’ suami Zaenab putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari belenggu tawanan setelah beliau tersentuh oleh tebusan putrinya untuk suaminya, di mana di antara harta tebusan terdapat kalung hadiah sang ibu, Khadijah, saat dia menikah dengan Abu al-Ash, beliau meminta persetujuan kaum muslimin dan mereka tidak keberatan. Abu al-Ash pulang ke Makkah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil syarat atasnya, hendaknya dia mengirimkan Zaenab istrinya ke Madinah sesampainya dia tiba di Makkah.

Adalah Hind binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb, sebelum masuk Islam, wanita ini terkenal dengan permusuhannya kepada Islam dan kaum muslimin, dan puncaknya di perang Badar ini Hind ini kehilangan bapaknya, saudaranya dan pamannya di ujung pedang kaum muslimin, dia pun meradang, dia berkeliling di majlis-majlis Quraisy dan perkumpulan-perkumpulan mereka dalam rangka mengobarkan api balas dendam dan menyalakan bara peperangan.

Tiba di Makkah, Abu al-Ash segera meminta istrinya Zaenab untuk bersiap-siap, dia mengatakan kepada sang istri bahwa utusan bapaknya akan menjemputnya di tempat anu dan anu, dan sebelumnya Nabi shallallah memang telah mengutus orang untuk menjemputnya dan membawanya ke Madinah.

Saat itu pasca Badar di mana darah orang-orang Quraisy belum kering, kesedihan mereka belum sirna, kemarahan mereka belum reda dan luka mereka belum sembuh, Hind yang memendam dendam dan amarah terhadap kaum muslimin yang telah menghabisi tiga laki-laki di dekatnya, berpapasan dengan Zaenab putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saat itu sedang bersiap-siap untuk menyusul ayahandanya di Madinah, sebelum ini Hind sudah mendengar persiapan Zaenab untuk menyusul bapaknya. Apa yang dilakukan oleh Hind?

Dalam benak sebagian orang, inilah saat yang tepat untuk membalas dendam terhadap Muhammad, melalui putrinya Zaenab. Bukankah yang membuatnya harus kehilangan bapak, saudara dan pamannya adalah Muhammad dan kawan-kawannya? Kalau tidak bisa balas dendam terhadap Muhammad, melampiaskan amarah terhadap putrinya bisa sedikit mengobati luka dalam dalam dada, biar Muhammad tahu bagaimana rasanya disakiti melalui orang dekatnya.

Ternyata semua itu tidak dilakukan olehnya, rupanya dia sadar bahwa salah sasaran bila dia melampiaskan dendamnya kepada Zaenab, karena Zaenab tidak tahu-menahu dalam urusan ini. Hind bersikap ksatria dengan hanya mau melampiaskan amarahnya terhadap orang-orang yang mencelakai tiga orang dekatnya secara langsung, dan saat itu pun tiba manakala dia berhasil menemukan jasad Hamzah bin Abdul Muththalib di Uhud dan akhirnya dia melakukan apa yang dia lakukan, Hind sadar bahwa pelampiasan dendam kepada sesama wanita tidak patut dan salah alamat.

Saat bertemu Zaenab, Hind berkata kepadanya, “Putri Muhammad, aku mendengar dirimu hendak menyusul bapakmu, wahai sepupuku, bila kamu membutuhkan sesuatu yang membantu perjalananmu atau uang yang membantumu sampai kepada bapakmu, maka apa yang kamu butuhkan ada padaku, jangan malu-malu, urusan sesama wanita tidak sama dengan urusan dengan laki-laki.”

Zaenab berkata dalam hati, “Demi Allah, menurutku dia berkata demikian karena dia hendak melakukan.”

Di hari keberangkatan Zaenab, orang-orang Quraisy menghadangnya, mereka hendak menghalang-halanginya, mereka menerornya dengan mengacung-ngacungkan senjata di wajahnya, akibatnya Zaenab ketakutan dan diapun terjatuh dari untanya, padahal saat itu dia sedang mengandung, maka Zaenab mengalami pendarahan.

Hind yang saat itu tidak berada di tempat kejadian, begitu mendengar maka dia pun bergegas ke tempat kejadian, dia mengangkat suaranya dengan lantang di depan kaumnya, “Beraninya kalian melawan wanita tak bersenjata? Di mana keberanian kalian di Badar?”

Hind menghalang-halangi kaumnya dan merangkul Zaenab, dia membantunya mengatasi apa yang dialaminya dan menenangkannya, sampai akhirnya Zaenab bisa berjalan untuk bertemu dengan bapaknya dalam keadaan aman dan nyaman. Wallahu a’lam.