MENGAMBIL UPAH
ATAS BACAAN AL-QUR’AN

1. Hukum Mengambil Upah Atas Bacaan al-Qur’an

Tidak boleh bagi seorang qari’ untuk mengambil upah atas bacaan al-Qur’an yang dibacanya, baik diberikan sebelum membaca atau setelahnya. Baik bacaannya tersebut saat shalat atau bacaan untuk mayat. Karenanya tidak ada seorangpun dari para ulama mengecualikan perkara mengambil upah untuk bacaan al-Qur’an. Adapun upah yang diberikan kepada para imam masjid dan juru adzan dari Baitul Maal, bukan termasuk dalam pembahasan ini, karena pada dasarnya upah yang diberikan kepada mereka bukanlah upah untuk bacaan yang mereka baca dalam shalat, atau upah untuk shalatnya, akan tetapi merupakan upah untuk waktunya yang dicurahkan untuk menjalankan fardhu kifayah atas kaum muslimin, dengan meninggalkan kesibukan pribadinya. Termasuk dalam hal ini adalah upah yang diberikan kepada khalifah kaum muslimin dari Baitul Maal, yang merupakan upah untuk kesibukannya mengurus pemerintahan Islam sehingga ia harus meninggalkan kesibukan pribadinya untuk mencari penghidupan untuk dirinya. Adalah Umar bin Khaththab radhiyallhu ‘anhu memberikan upah kepada para mujahidin dan orang-orang yang berjasa bagi Islam, diambilkan dari uang Baitul Maal berdasarkan besarnya jasa dari masing-masing mereka yang diberikan kepada kaum muslimin dengan mendatangkan suatu manfaat yang luas. Terlebih lagi, bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menentukan bagian bagi orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan mengelola zakat meskipun mereka termasuk orang kaya, karena mereka telah berbuat suatu kewajiban Islam kepada kaum muslimin baik yang miskin maupun yang kaya. Kesibukan mereka mengurusi zakat menjadikan mereka tidak sempat mengurusi penghidupan bagi diri mereka sendiri. [1]

2. Mengupah Qari’ untuk Membaca al-Qur’an

Mengupah seorang qari’ untuk membacakan al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal termasuk bid’ah dan makan harta manusia dengan tidak benar. Karena bila seorang qari’ membacakan al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan upah atas bacaannya, maka perbuatannya termasuk kebathilan, karena ia menginginkan harta dan kehidupan dunia dari perbuatannya tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ‏

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. 11:15-16)

Perkara ibadah termasuk membaca al-Qur’an tidak boleh dilakukan dengan tujuan duniawi dan mencari harta, akan tetapi harus dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Seorang qari’ yang membaca al-Qur’an dengan diupah, maka tiada pahala baginya, dan bacaannya tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal. Harta yang dikeluarkan merupakan harta yang sia-sia, tidak bermanfaat. Kalaulah harta itu digunakan untuk suatu sedekah atas nama orang yang meninggal, sebagai ganti dari mengupah seorang qari’, maka inilah perbuatan yang disyari’atkan dan bisa mendatangkan suatu manfaat bagi orang yang telah meninggal.

Maka menjadi kewajiban bagi para qari’ untuk mengembalikan harta yang telah mereka peroleh dari manusia sebagai upah atas bacaan yang mereka lakukan atas orang yang telah meninggal, karena menggunakan harta tersebut tergolong makan harta manusia dengan cara tidak benar. Dan hendaknya mereka takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan memohon kepada-Nya untuk memberikan rizki kepada mereka dengan cara selain cara yang haram tersebut.

Bagi setiap muslim hendaknya tidak makan harta manusia dengan cara yang tidak disyari’atkan sedemikian ini. Benar bahwa membaca al-Qur’an termasuk salah satu ibadah yang utama. Barangsiapa membaca satu huruf dari al-Qur’an maka akan mendapatkan suatu kebaikan, dan suatu kebaikan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat. Tapi itu bagi orang yang niatnya benar dan hanya menginginkan keridhaan Allah semata serta tidak menginginkan suatu tujuan duniawi.

Mengupah seorang qari’ untuk membacakan al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal, pertama termasuk perbuatan bid’ah. Tidak ada dari para salaf shalih yang melakukannya. Kedua, bahwa perbuatannya termasuk memakan harta manusia dengan cara tidak benar, karena suatu ibadah dan ketaatan tidak boleh mengambil upah karenanya. [2]

3. Mengupah Qari’ untuk Membacakan al-Qur’an pada Acara-acara Perayaan dan Sejenisnya

Membaca al-Qur’an termasuk ibadah mahdhah dan cara seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Rabbnya. Pada dasarnya dalam membaca al-Qur’an dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya, hendaknya seorang muslim melakukannya untuk mencari keridhaan Allah dan pahala yang disediakan di sisi-Nya, dan tidak untuk mencari balasan atau ucapan terima kasih dari makhluk. Karena itu kita tidak mendapatkan riwayat yang menyatakan bahwa para salaf shalih mengupah para qari’ untuk membacakan al-Qur’an dalam acara-acara dan perayaan-perayaan walimah, juga tidak kita dapatkan ada salah seorang imam yang menganjurkannya atau memberi keringanan padanya. Tidak ada cerita bahwa seseorang di antara mereka mengambil upah atas bacaan al-Qur’an yang dibacakan pada acara perayaan dan pesta. Akan tetapi mereka membacakan al-Qur’an untuk mencari pahala yang disediakan Allah Subhanahu wa ta’ala di sisi-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada manusia yang membaca al-Qur’an untuk meminta kepada Allah dan mem-peringatkan agar tidak meminta kepada manusia. At- Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Umran bin Hushain, bahwasanya ia melewati seorang hakim (qadhi) yang sedang membaca al-Qur’an, kemudian ia meminta-minta, maka Umran bin Hushain mengucapkan ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’ kemudian berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ فَإِنَّهُ يَجِيْءُ أَقْوَامٌ يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ يَسْأَلُوْنَ بِهِ النَّاسَ

“Barangsiapa membaca al-Qur’an hendaknya ia meminta kepada Allah dengannya, karena sesu-ngguhnya akan datang suatu kaum yang membaca al-Qur’an yang dengannya mereka meminta-minta kepada manusia.”

Adapun mengambil upah atas pekerjaan mengajarkan al-Qur’an atau meruqyah dan sejenisnya, yang mana manfaatnya tidak terbatas pada pembacanya saja, maka telah ada hadits-hadits shahih yang menunjukkan kebolehannya, seperti hadits Abu Sa’id yang mengambil sejumlah kambing karena ia telah menyembuhkan seseorang dengan meruqyahnya dengan surat al-Fatihah. Juga hadits riwayat dari Sahl tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menikahkan seorang wanita dengan laki-laki dengan mahar mengajarkan al-Qur’an. Barangsiapa mengambil upah atas bacaan al-Qur’an atau mengupah sekumpulan orang untuk membacakan al-Qur’an, maka perbuatan ini telah menyalahi ijma’ para salaf shalih ridhwanullah ‘alaihim. [3]

Catatan Kaki

[1] Fatawa Lajnah ad-Da’imah, no. 179.

[2] Fatawa Syaikh al Fauzan -Nur ‘Alad Darbi- Juz I, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah.

[3] Fatawa Lajnah ad-Da’imah, no. 1268.