Oleh: Muhammad Faiz, Lc., M.SI.

KHUTBAH PERTAMA :

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. اللهم صَل عَلَى مُحَمدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلمْ.

Jamaah Jum’at yang Dimuliakan Allah

Sesungguhnya tauhid yang benar yang membuahkan amal shalih dan memberikan manfaat kepada makhluk secara umum adalah ibadah atau ketaatan yang paling mulia. Sebaliknya menye-kutukan Allah dalam rububiyah, uluhiyah, asma` dan sifatNya adalah merupakan kemungkaran yang paling mungkar, tauhid sekali-kali tidak akan bisa bertemu dengan syirik.

Demikianlah jika tauhid ini diterapkan apa adanya sesuai pe-tunjuk Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi faktanya, banyak sekali saudara-saudara kita kaum Muslimin yang masih belum mampu untuk mentauhidkan Allah secara benar dan lurus sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, karenanya tidak jarang kita temui bahkan begitu sering kita dapatkan sebagian saudara kita yang Muslim masih terjebak dalam kesyirikan, wal iyadzu billah.

Dalam kaitannya dengan pemurnian tauhid ini, ada satu per-masalahan yang perlu kita luruskan, perlu kita tebalkan ilmu ten-tangnya agar kita terhindar dari kesalahan dalam beragama, yang bahkan bisa menyeret kita kepada perbuatan syirik, kita mohon perlindungan kepada Allah darinya. Masalah yang kami maksud adalah Tawassul.

Hadirin yang Dimuliakan Allah

Tawassul artinya taqarrub yaitu upaya mendekatkan diri ke-pada Allah. Sedangkan wasilah adalah sebab yang bisa mendekat-kan kita kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Tawassul diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana FirmanNya :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah Kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya, dan berjihadlah pada jalanNya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 35).

Para ulama ahli tafsir menerangkan bahwa yang dimaksud dengan wasilah dalam ayat ini adalah amal shalih. Al-Hafidz Ibn Jarir mengatakan, “Firman Allah اتَّقُوا اللهَ َ [bertakwalah kepada Allah] artinya penuhilah Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Sedangkan وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ [carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya] yaitu, amal shalih.

Hadirin Sekalian yang Dirahmati Allah

Jika kita perhatikan diri dan kondisi kita sekarang ini, khusus-nya kaum Muslimin di negeri kita, jelaslah bagi kita fungsi dan manfaat dari belajar tentang tawassul yang benar, kami katakan yang benar karena faktanya memang terdapat jenis tawassul yang tidak benar.

Masyarakat kafir jahiliyah telah tersesat jalan dalam masalah tawassul, mungkin mereka beranggapan bahwa diri mereka kotor penuh dosa, karenanya tak pantas jika langsung menghadap Allah Subhanahu wata’ala. Mereka mengukur hal ini dengan apa yang terjadi pada manusia, jika ada seseorang yang berpenampilan miskin, tidak rapi sama sekali, atau banyak melakukan kesalahan dan melanggar hukum, tentu ia tidak akan bisa menghadap seorang raja, jangankan meng-hadap, baru melongok-longok di depan istana pun telah diusir oleh pengawal kerajaan, syukur kalau hanya diusir, kalau diten-dang sana tendang sini, jotos sana jotos sini, tentu akibatnya lebih buruk lagi. Jika dengan seorang raja saja tidak pantas, maka bagai-mana pula dengan Allah, Sang Pencipta para raja? Orang yang menghadap Allah Subhanahu wata’ala haruslah bersih, tidak punya salah dan dosa. Inilah yang melatarbelakangi mereka untuk mencari wasilah. Akan tetapi karena tidak didasari petunjuk Nabi, maka mereka pun tersesat jalan hingga jatuh pada kubangan syirik.
Perhatikanlah perilaku mereka dalam masalah ini, sebagai-mana difirmankan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam surat az-Zumar :

أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ مَانَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى اللهِ زُلْفَى

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az-Zumar: 3).

Saudara-saudara Sekalian

Tentu masalahnya berbeda! Allah Subhanahu wata’ala bukan makhluk, Allah Maha Penyayang terhadap hambaNya, siapa pun bisa langsung meng-hadapNya tanpa harus ada perantara, bahkan disebutkan dalam hadits tentang orang yang dalam keadaan kumal, rambut awut-awutan, pakaian kotor penuh debu karena sedang bepergian jauh, kemudian mengangkat kedua tangan ke langit berdoa….akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram, maka bagaimana mungkin bisa dikabulkan doanya?

Dari hadits ini, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa di an-tara sebab terkabulnya doa adalah kondisi kita yang memprihatin-kan, tampak dari kita sesosok makhluk yang hina, dalam keadaan safar, lusuh, mengangkat dua tangan, dan sedikit memaksa dalam berdoa, makan dan minuman yang halal, yang demikian ini lebih layak untuk diterima doanya. Manusia jika terus menerus diminta, pasti akan marah, tetapi Allah semakin sering diminta, Dia semakin cinta kepada hambaNya.

Dari keterangan di atas, tawassul terbagi menjadi dua; pertama tawassul yang diperintahkan (Tawassul Masyru’). Kedua, tawassul yang dilarang (Tawassul Mamnu’).
Tawassul yang diperintahkan bisa dikelompokkan dalam em-pat bentuk atau macam;

Pertama: Tawassul dengan Nama-nama Allah atau Sifat-sifatNya

Seperti disebutkan dalam FirmanNya :

وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asma`ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma`ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-‘Araf: 180).
Dalam doa yang diajarkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam :

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ.

“Wahai Yang Mahahidup dan tak henti mengurusi makhlukNya, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan.” (HR. Tirmidzi, no. 3524 dan dihasankan oleh al-Albani).
Dalam doa yang lain, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita :

اللهم إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.

“Ya Allah Engkau Maha Pengampun lagi banyak memberi, Engkau suka memaafkan, maka ampunilah daku.” (HR. Tirmidzi, no. 3513; Ibnu Majah, dan Ahmad, dan dishahihkan oleh al-Albani).
Dalam doa lain disebutkan :

اللهم اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan rizkiMu yang halal dari sesuatu yang Kau haramkan, dan cukupkanlah aku dengan karuniaMu dari (meminta kepada) selainMu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; dan diha-sankan oleh al-Albani).

Dan masih banyak lagi doa maupun dzikir yang berisi tawas-sul dengan nama atau sifat-sifat Allah Subhanahu wata’ala.

Kedua: Tawassul dengan Amal Shalih

Tawassul jenis ini bisa kita dapatkan dalam Firman Allah Subhanahu wata’ala juga sunnah RasulNya, di antaranya yang disebutkan Allah Subhanahu wata’ala dalam FirmanNya pada surat Ali Imran ayat 53 :

رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآأَنزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

“Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami telah ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (Ali Imran: 53).

Dalam ayat ini tawassul yang digunakan adalah iman dan mengikuti Rasulullah, yang mana itu merupakan ibadah paling agung, keduanya dijadikan sarana atau penghubung sebelum ma-suk kepada doa.
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

رَّبَّنَآإِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ

“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang me-nyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Rabbmu’, maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Ali Im-ran: 193).

Lagi-lagi Allah mengajarkan kepada kita melalui lisan Rasu-lullah sallallahu ‘alaihi wasallam, agar kita berdoa kepada Allah dan menjadikan amal shalih yaitu iman untuk mendekat kepadaNya sebelum kita memulai masuk dalam doa dan permohonan.

Sedangkan contoh dari sunnah, dalam hal ini terdapat sebuah riwayat shahih yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, sebuah hadits yang panjang yang artinya:

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tersebutlah tiga orang dari umat sebelum kalian, mereka keluar hingga bermalam dalam sebuah gua, (ketika) mereka telah masuk ke dalamnya, tiba-tiba batu besar jatuh dari atas gunung menutup pintu gua. Mereka saling berkata, ‘Sesungguhnya tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian dari terjebak dalam gua ini selain kalian berdoa memohon kepada Allah dengan amal shalih kalian.’ Sese-orang dari mereka berkata, ‘Wahai Allah, aku punya dua orang tua yang sudah lanjut usia, aku tidak memberi minum (susu) di sore hari kepada keluarga atau sahayaku sebelum memberinya kepada mereka berdua. Suatu hari aku pergi mencari kayu hingga jauh, padahal aku belum memberi minum keduanya. Aku segera pulang, kemudian aku ambilkan segelas su-su, tetapi aku mendapati keduanya telah tertidur, aku tidak berani mem-bangunkan keduanya, begitu juga aku tidak ingin memberi minum keluar-gaku atau sahayaku sebelum memberi keduanya, maka aku terus memegang gelas minuman tersebut semalaman menunggu mereka bangun. Fajar pun menyingsing, sementara anak-anak kecilku bergelayutan menangis di ka-kiku karena lapar, mereka berdua terbangun, kemudian aku sodorkan minu-man kepada keduanya. Ya Allah, jika aku melakukan itu karena mengharap WajahMu, maka bukalah batu yang menutup pintu gua ini!’ Batu itu pun bergeser sedikit tetapi mereka masih belum bisa keluar darinya.
Yang kedua berkata, “Wahai Allah, aku punya saudari sepupu (anak perempuan paman) yang sangat aku cintai -dalam riwayat lain, aku men-cintainya sebagaimana layaknya lelaki mencintai wanita- aku ingin meng-ajaknya berzina tetapi dia menolak. Hingga pada suatu hari saat dalam masa paceklik, dia pun datang menemuiku (meminta bantuan), maka aku berikan kepadanya 120 dinar dengan syarat dia serahkan dirinya padaku, dia pun menyetujui, setelah aku menguasainya -dalam riwayat lain, aku duduk di atas kedua kakinya- dia berkata, ‘Takutlah kepada Allah, jangan memakai cincin, kecuali dengan hak!’, maka aku segera meninggalkan dirinya, padahal aku sangat menginginkannya, aku tinggalkan uang emas yang aku berikan padanya. Ya Allah, jika aku lakukan yang demikian ka-rena mengharap WajahMu, maka berilah kami jalan keluar dari tempat ini!’ Batu yang menutupi pintu tersebut bergeser, tetapi mereka masih belum bisa keluar darinya.
Yang ketiga berkata, ‘Ya Allah aku menyewa para pekerja dan aku telah bayarkan hak-hak mereka, kecuali satu orang, dia pergi tanpa me-ngambil upahnya, maka aku investasikan hingga menjadi harta yang berlimpah. Pada suatu hari ia datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai hamba Allah, bayarkan upahku!’ aku menjawab, ‘Semua yang kamu lihat ini, baik onta, sapi atau kambing, semuanya berasal dari upahmu!’ Dia ber-kata, ‘Wahai hamba Allah, jangan kau cemooh diriku!’ Aku menjawab, ‘Aku tidak mencemooh dirimu, memang semua ini milikmu!,’ maka dia pun mengambil semua harta tersebut tanpa menyisakan sedikit pun. Ya Allah, jika aku lakukan itu karena mengharap WajahMu, maka berilah kami jalan kelaur dari tempat ini!’ kemudian batu itu pun bergeser lagi hingga akhirnya mereka bisa keluar dari dalam gua tersebut.”

Saudara-saudaraku yang Dirahmati Allah

Perhatikanlah kisah yang disampaikan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits tadi…. begitu jelas dan gamblang, menunjukkan pada kita banyak pelajaran di antaranya,

1). Tiga orang tersebut adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah Subhanahu wata’ala dalam keadaan senang, sehingga Allah mengingat me-reka dalam keadaan sulit.

2). Takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya, merupakan se-bab adanya solusi dan kemudahan, sebagaimana FirmanNya Subhanahu wata’ala :

وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya.” (Ath-Thalaq: 2).
Juga dalam FirmanNya :

وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan mudahkan uru-sannya.” (Ath-Thalaq: 4).

3). Hadits di atas jelas sekali menunjukkan kepada kita bahwa ketiga orang yang terjebak dalam gua tersebut berdoa kepada Allah dan mencari wasilah dengan amal-amal shalih mereka, yang pertama dengan berbakti kepada orang tua, kedua dengan menjaga kesucian dari perbuatan yang diharamkan Allah, dan ketiga dengan sifat amanah. Semua ini adalah amal shalih yang mereka lakukan dan mereka yakini keikhlasannya karena Allah, dan Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.

Ketiga: tawassul dengan doa orang shalih yang masih hidup

Tawassul dengan doa orang shalih ini ada dua kategori; per-tama dibolehkan yaitu ketika orang tersebut masih hidup. Yang kedua tidak boleh, yaitu apabila ia telah meninggal dunia.

Mengapa harus dibedakan? Tentu perbedaannya sangat jelas, orang yang masih hidup bisa melakukan sesuatu dalam batas ke-mampuannya yang menjadi sebab untuk mendatangkan manfaat atau menghindarkan bahaya, seperti dengan berdoa atau menjadi pembela dan sebagainya. Adapun orang yang sudah meninggal tentu dia tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan manfaat atau menghindarkan bahaya. Contohnya ketika seseorang datang pada si fulan yang dianggap shalih mengharapkan bantuan-nya agar menjadi penengah antara dirinya dengan orang lain yang dia kenal, maka hal itu bisa ia lakukan. Lain halnya jika ia sudah meninggal dunia, jika ada yang datang ingin meminta bantuannya untuk menjadi penengah antara dirinya dan orang lain, tentu saja ia tidak akan mampu melakukannya.

Demikianlah yang dipahami oleh generasi sahabat, seperti Umar bin al-Khaththab dalam riwayat yang shahih dan masyhur dalam Shahih al-Bukhari :

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ: اللهم إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا، فَاسْقِنَا قَالَ: فَيُسْقَوْنَ.

“Bahwasanya Umar bin al-Khaththab, jika manusia mengalami masa kekeringan, maka dia meminta kepada Abbas bin Abdul Muththalib untuk minta doa agar turun hujan, dia mengatakan, ‘Wahai Allah, dulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami, dan Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Maka saat ini kami bertawas-sul kepadaMu dengan paman Nabi kami, turunkanlah hujan kepada kami.’ Dan hujan pun turun kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 954)

Marilah kita pikirkan dalam-dalam sikap Umar, sahabat yang mulia ini, bagaimana ia membedakan antara Nabi ketika masih hidup di tengah-tengah mereka dan sesudah beliau wafat. Andai-kan tawassul dengan doa orang shalih yang sudah meninggal itu boleh, tentu Umar, juga para sahabat yang lain akan segera mela-kukannya dengan menjadikan Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah meninggal seba-gai wasilah, karena Nabi bukan sekedar orang shalih. Tetapi karena hal itu tidak bermanfaat dan tidak boleh, maka Umar pun memilih orang shalih yang masih hidup untuk dijadikan wasilah dalam me-mohon turunnya hujan kepada Allah, yaitu paman Nabi al-Abbas bin Abdul Muththalib.

Siapakah yang lebih pintar, lebih dalam iman dan ilmunya, lebih bersih hatinya, lebih tinggi takwanya, bahkan telah dijamin masuk surga? Orang-orang yang membolehkan tawassul kepada mayit ataukah Umar yang lebih segala-galanya? Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa bertawassul dengan doa orang shalih harus mem-bedakan apakah ia masih hidup sehingga bisa berdoa untuk kita, ataukah sudah meninggal dunia sehingga dia membutuhkan doa dari kita.

Keempat: Tawassul dengan Keadaan Diri

Yaitu tawassul dengan keadaan diri yang menyedihkan, mem-prihatinkan, atau perubahan yang dialami yang menunjukkan be-tapa butuhnya ia kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Dalam hal ini Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Maryam menceri-takan tentang kondisi Zakaria :

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُن بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا . وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَآءِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا.

“Dia berkata, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawali (penerus)ku sepeninggalanku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera’.” (Maryam: 4-5).

Dalam ayat ini dijelaskan, perubahan keadaan yang dialami oleh Nabi Zakaria, dan betapa ia membutuhkan anugerah dari Allah Subhanahu wata’ala agar diberikan seorang putra, maka beliau sebutkan kondisi dirinya yang demikian sebelum masuk pada doa yang beliau inginkan.

Jama’ah Sekalian yang Dimuliakan Allah

Inilah macam dan jenis tawassul yang diperintahkan oleh Allah, jika setiap kita dengan ikhlas menjalankannya, niscaya hal itu telah cukup, tidak perlu lagi kita mengada-ada dalam masalah tawassul, karena agama yang dibawa oleh Rasulullah begitu jelas dan terang, sempurna dan paripurna tidak lagi membutuhkan tambahan, tidak pula dibolehkan melakukan pengurangan. Orang yang berbahagia dan selamat adalah orang yang teguh mengikuti petunjuk Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap istiqamah di atas jalanNya, jalan yang telah ditunjukkan oleh baginda Nabi yang mulia, amin ya Rabbal alamin.

بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَجَعَلَنَا اللهُ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِـرُ الله لِيْ وَلَكُمْ.

KHUTBAH KEDUA :

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،
قَالَ الله تَعَالَى: يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ:

Setelah kita mengenal bentuk-bentuk tawassul yang diperin-tahkan oleh syari’at, maka selain yang telah disebutkan adalah ter-masuk tawassul mamnu’ atau terlarang, karena bid’ah dan bahkan berupa kesyirikan.

Misalnya yang banyak dilakukan kaum Muslimin, berupa bertawassul dengan kedudukan Syaikh Abdul Qadir Jaelani, pergi ke kuburan-kuburan wali dan seterusnya. Ada juga yang mencari wasilah dengan mengorbankan seekor kambing yang dilemparkan ke tengah luapan lumpur lapindo, atau sesaji yang dilemparkan ke kawah gunung dan sebagainya. Semuanya adalah perbuatan bid’ah, bahkan merupakan syirik yang dilarang syariat.

Semoga Allah Subhanahu wata’ala memantapkan keimanan dan petunjuk di hati kita, juga saudara-saudara kita kaum Muslimin, dan menuntun kita kepada segala yang Dia ridhai dan cintai, amin.

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللهم اغْـفِـرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْـفِـرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. اللهم إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.