Apabila hubungan suami istri telah sangat memburuk dan istri sudah tidak sanggup lagi hidup mendampingi suaminya disebabkan ia tidak suka (tidak cinta) kepadanya, bukan karena suami cacat melainkan karena masalah lain, yaitu sang istri memang tidak suka kepadanya, atau karena sang istri ingin merealisasikan keinginan (cita-cita) pribadinya, maka ia boleh mengajukan khulu’ (minta cerai) dari suaminya agar ia bisa terjaga dari sesuatu yang tidak diinginkan yang akan timbul bila tetap hidup bersama suami yang tidak ia cintai. Namun, supaya talak (khulu’) dapat dilakukan maka istri membayar uang atau apa saja yang ia ridoi sebagai ganti rugi, akan tetapi besarnya tidak melebihi mahar yang pernah ia terima dari suami. Dan itu tidak apa-apa bagi suami menerimanya, karena permintaan cerai datang dari pihak istri, bukan karena suami selalu menyusahkannya.

Oleh kerena itu semua, maka adil kalau secara bersamaan tidak terjadi dua musibah, yaitu musibah perceraian yang dilakukan oleh istri di mana suami belum pernah secara sengaja menyakitinya dalam bentuk apapun juga, dan musibah kehilangan harta tanpa ada dosa yang suami lakukan.

Oleh karena tidak halal bagi suami mengambil sedikit pun dari mahar yang telah ia berikan kepada istrinya atau benda lainnya apabila suami secara sengaja menceraikannya, maka sebaliknya, suami boleh mengambil tebusan yang dibayar oleh istrinya kepadanya agar suami menceraikannya apabila istri meminta cerai darinya tanpa alasan yang masuk akal. Agar lebih jelas, ada peristiwa di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Jamilah, saudari Abdullah bin Ubay bin Salul, yaitu istri Tsabit bin Qais pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata kepadanya, “Tsabit bin Qais (suamiku), aku tidak mencela prilaku atau agamanya, namun aku tidak sanggup hidup bersamanya bukan karena aku tidak suka kepadanya, namun aku sangat tidak suka berbuat durhaka di dalam Islam ini.” Nabi bersabda, “Apakah kamu akan mengembalikan kebunnya?” (Kebun itu dahulu adalah maharnya). Jamilah menjawab, “Ya.”, lalu Nabi bersabda, “Terimalah (wahai Tsabit) kebun itu dan talaklah istrimu talak satu.”

Suami juga tidak boleh dengan sengaja berlaku buruk di dalam mempergauli istrinya dengan maksud agar istri menyerahkan harta (mahar)nya kepadanya sebagai ganti rugi atas permintaan cerainya. Allah Subhaanahu Wata’ala telah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya…” (An-Nisa’: 19).

Maksudnya adalah seorang suami tidak boleh dengan sengaja berbuat tidak menyenangkan di dalam mempergauli istrinya dan melakukan sesuatu yang membuatnya gelisah supaya dengan begitu istri terpaksa harus minta cerai dan sebagai tebusannya adalah membayar mahar atau pemberian yang telah ia terima darinya.