27 Masalah Seputar Menjamak Shalat Karena Hujan

1- Hukum Menjamak Shalat Karena Hujan
Menjamak shalat karena hujan termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Dalam hal ini ada empat pendapat:

Pendapat pertama:
Bahwa menjamak shalat karena hujan lebih utama (daripada tidak menjamaknya). Ini adalah pendapat madzhab sebagian kalangan Malikiyah. Dan, sebagian kalangan di antara mereka menjadikan pendapat ini sebagai pendapat yang dipegang seperti yang disebutkan di dalam Hasyiyah al-‘Adawi. Dan, sebagian mereka menyebutkan dengan tegas akan kesunnahannya, seperti yang disebutkan di dalam al-Mudawwanah.

Pendapat kedua:
Bahwa menjamak shalat karena hujan dibolehkan. Ini adalah madzhab Umar bin Khaththab, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Urwah, dan Aban bin ‘Utsman -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ-, Umar bin Abdil Aziz, Sa’id bin Musayyib, dan pada umumnya kalangan fuqaha Madinah. Dan ini adalah pendapat madzhab Malikiyah.

Pendapat ketiga:
Bahwa menjamak shalat karena hujan dibolehkan, akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya. Ini adalah pendapat sebagian kalangan Malikiyah, madzhab Syafi’iyyah dan dipilih oleh Imam an-Nawawi, Madzhab Hanabilah dan dishahihkan oleh al-Mardawi dan Ibnu Muflih, dan kebanyakan al-Ashab (para rekan-rekan dari kalangan Hanabilah) berpegangan dengan pendapat ini.

Pendapat keempat :
Bahwa tidak boleh menjamak kecuali di ‘Arafah dan Muzdzalifah. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah.

Pendapat yang rajih
Pendapat yang rajih (kuat) di antara pendapat-pendapat tersebut di atas adalah pendapat yang menyatakan bahwa menjamak shalat karena hujan dibolehkan, karena hadits-hadits yang datang di dalam sunnah yang menunjukkan asal hukum melakukan jamak tanpa sebab hujan cukup banyak. Dan, tindakan para sahabat -semoga Allah meridhai mereka- dan para salaf ummat ini menunjukkan pula akan disyariatkannya menjamak shalat disebabkan karena safar, hujan, takut dan lain sebagainya, dan datang keterangan dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa ia mengatakan,

جَمَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِيْنَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ

“Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menjamak shalat antara shalat Zhuhur dan shalat Asar, antara shalat Maghrib dan shalat Isya di Madinah, bukan karena takut dan bukan pula karena hujan.”
Di dalam hadits Waqi’, ia berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa beliau melakukan hal itu ?’ Ia pun menjawab,

كَيْ لَا يُحَرِّجَ أُمَّتَهُ

“Agar tidak memberatkan ummatnya.” (HR. Muslim).
Dipahami dari hadis ini akan bolehnya menjamak shalat karena hujan. Ini yang dinamakan dengan mafhum mukhalafah, di mana hal ini merupakan hujjah menurut jumhur ahli ushul, dan menjamak shalat merupakan rukhshah (keringanan). Dan, baik kita katakan sunnah atau pun rukhshah (keringanan), sesungguhnya (mengambil) keringanan itu dicintai Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- sebagaimana sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ

“Sesungguhnya Allah mencintai rukhshah-rukhshah(keringanan-keringanan)-Nya diambil.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh an-Nawawi dan yang lainnya).

2- Bolehkah menjamak shalat karena diperkirakan akan turun hujan?
Menjamak shalat karena prediksi akan turunnya hujan termasuk perkara yang diperdebatkan oleh para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama:
Dibolehkan. Namun, jika ternyata hujan tidak turun maka shalat yang dilakukan wajib diulang. Ini adalah madzhab Malikiyah.

Pendapat kedua :
Tidak dibolehkan. Ini adalah madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, karena tidak adanya sebab yang membolehkan untuk menjamak shalat, yaitu, turunnya hujan. Berdasarkan kaedah:

اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا

Keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan ‘illat (sebab) nya. Ada ‘illat ada hukum, tidak ada ‘illat tak ada hukum.

3- Mana yang lebih utama, shalat secara jamak di masjid-masjid dengan berjama’ah ataukah shalat di rumah-rumah tanpa menjamak shalat?
Dalam hal ini ada dua keadaan:

Keadaan Pertama, Jika hujan turun sebelum keluarnya manusia untuk mengerjakan shalat di masjid-masjid, namun sang muadzin menyeru,

أَلَا صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ

Hendaklah kalian shalat di tempat-tempat kalian masing-masing
(Di mana seruan ini adalah sunnah, telah datang keterangannya dari Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – bahwasanya ia menyeru saat mengumandangkan adzan untuk shalat di malam yang sangat dingin, banyak angin, dan turun hujan, ia menyeru di akhir seruannya, أَلَا صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ “Hendaklah kalian shalat di tempat-tempat kalian masing-masing.” Kemudian, beliau -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – pernah memerintahkan sang muadzin (tukang adzan) apabila malam terasa sangat dingin atau turun hujan saat bepergian agar mengucapkan,

أَلَا صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ

“Hendaklah kalian shalat di tempat-tempat kalian masing-masing.” (HR. Muslim). Begitu juga datang keterangan mengenai hal tersebut dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Di mana ini merupakan sunnah yang banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin), maka jika shalat telah ditegakkan sementara seseorang tidak mendapati adanya kesukaran dan kerepotan dalam kepergiannya ke masjid-masjid, maka ia wajib pergi ke masjid. Namun, jika ia mendapati adanya kesukaran dan kerepotan, maka ia boleh mengambil rukhshah (keringanan) dengan mengerjakan shalat di rumahnya, karena hujan merupakan udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, baik di malam hari ataupun di siang hari, baik seseorag tengah bermukim atau pun tengah safar. Ini adalah madzhab para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad -semoga Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- merahmati mereka semuanya-).

Keadaan kedua, Jika hujan turun setelah sampainya manusia ke masjid-masjid mereka, maka disyariatkan melakukan shalat secara jamak ketika itu. Dan shalat yang dilakukan secara berjama’ah dengan menjamak shalat ketika adanya sebab yang membolehkan menjamak shalat merupakan rukhshah dan itulah yang afdhal (yang lebih utama) untuk dilakukan daripada shalat yang dilakukan pada waktunya dengan cara sendiri-sendiri (tidak dengan cara berjama’ah), hal ini merupakan kesepakatan kalangan yang berpendapat bolehnya menjamak shalat.

4- Patokan hujan yang membolehkan menjamak shalat
Hal ini diperselisihkan olah para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Ada tiga pendapat:

Pendapat pertama:
Hendaknya hujan yang turun pada saat itu lebat di mana keadaannya merepotkan orang-orang dalam kepergiannya ke masjid-masjid. Ini adalah pendapat madzhab Malikiyah.

Pendapat kedua :
Hendaknya hujan yang turun tersebut menjadikan pakaian basah. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah.

Pendapat ketiga :
Hendaknya hujan yang turun tersebut menjadikan basah pakaian dan karenanya pula menimbulkan kerepotan. Ini adalah pendapat madzhab Hanabilah dan dipilih oleh Syaikh Ibnu Bazz -رَحِمَهُ اللهُ- dan Syaikh Ibnu Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ-.

Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa berpatokan dengan adanya masyaqqah (kerepotan) adalah pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran-Wallahu A’lam). Adapun menjamak shalat disebabkan karena hujan yang sedikit, maka tidak boleh. Ini adalah madzhab jumhur (mayoritas) fuqaha dan dipilih oleh Syaikh Ibnu Bazz -رَحِمَهُ اللهُ- dan Syaikh Ibnu Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ-.
Namun, tidak sedikit orang yang bermudah-mudahan dalam masalah ini, khususnya di zaman ini, padahal jalan-jalan telah diaspal, sarana transportasi mudah, sehingga tidak ada kerepotan, dan ‘illat atau sebab yang membolehkan melakukan jamak cukup jelas, yaitu adanya masyaqqah (kerepotan), bukan sekedar turunnya hujan semata, seperti safar. Karena sebab dibolehkannya mengerjakan shalat dengan mengqashar dalam perjalanan adalah safar itu sendiri. Pembuat syariat menggantungkan hal tersebut dengan safar bukan dengan adanya masyaqqah (kerepotan). Sehingga setiap orang yang tengah safar boleh mengqashar shalat, baik ia mendapati adanya masyaqqah atau pun tidak. Adapun kasus dibolehkannya menjamak shalat disebabkan karena hujan, maka yang menjadi ‘illat adalah adanya kerepotan, maka kapan kerepotan itu didapatkan maka sebab yang membolehkan untuk menjamak shalat itu ada. Dan, jika hal itu (yakni, adanya kerepotan) terangkat, maka tidak boleh menjamak shalat.
Dan demikian pula halnya seluruh sebab-sebab yang membolehkan melakukan shalat secara jamak, yang menjadi ‘illat di dalamnya adalah adanya kerepotan dan kesulitan. Juga karena apabila yang menjadi maksud dari menjamak shalat adalah hujan itu sendiri maka apa faedah adanya patokan hujan yang membolehkan untuk menjamak shalat dan pandangan-pandang para fuqaha tentang hal itu, serta seruan (yang dikumandangkan oleh muadzin), yaitu,

أَلَا صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ

“Hendaklah kalian shalat di tempat-tempat kalian masing-masing.”
Untuk itu, nasehatku teruntuk para imam agar mereka tidak bermudah-mudah dalam hal tersebut dan membebani diri mereka sendiri dengan sesuatu yang mereka tidak mampu memikulnya berupa bahaya mengimami shalat orang-orang yang berada di di belakangnya tanpa sebab yang secara yakin membolehkan untuk menjamak shalat.

5- Bagaimana kondisi ‘basahnya pakaian’ yang membolehkan untuk menjamak shalat?
Para fuqaha (para ahli fikih) -semoga Allah merahmati mereka semuanya-mengatakan, ‘kondisi basah’ yang membolehkan untuk dilakukannya shalat secara jamak adalah bilamana pakaian yang basah tersebut diperas akan meneteskan air darinya.

6- Keyakinan dan keraguan imam untuk menjamak shalat
Apabila seorang imam yakin adanya udzur dan kerepotan yang membolehkan untuk menjamak shalat, maka dia boleh menjamak shalat. Namun, bila dirinya ragu adanya udzur dan kerepotan maka ia tidak menjamak shalatnya. Karena, pada asalnya adalah tidak menjamak shalat. Dan, pada asalnya pula bahwa setiap shalat itu dilakukan pada waktu-waktunya masing-masing secara tersendiri.

7- Orang (yang berkedudukan sebagai makmum) yang tidak ingin menjamak shalat, apa yang hendaknya dilakukannya?
Orang tersebut memiliki dua keadaan:

Keadaan pertama, Bila mana jamak shalat yang dilakukan sang imam memiliki pembenar secara syar’i yang diakui dan benar, maka yang afdhal (yang lebih utama) baginya adalah ia menjamaknya agar ia mencocoki sang imam. Kecuali apabila ia akan menunaikan shalat yang kedua di tempat lainnya secara berjama’ah, maka ia boleh melakukan hal tersebut. Tidak menjamak shalat bersama sang imam tersebut.

Keadaan kedua, Bila mana ia memandang bahwa sang imam bersikap memudah-mudahkan dalam hal menjamak shalat, akan tetapi bila ia tidak ikut serta menjamak shalat akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) dan fitnah, perselisihan dan kekacauan, maka hendaklah ia shalat dan masuk bersama imam dengan niat shalat sunnah. Terlebih, bahwa masuknya waktu merupakan salah satu syarat dari syarat-syarat shalat berdasarkan ijma’ (kesepakatan), dan tidaklah sah shalat yang dilakukan bukan pada waktunya.

8- Apabila sang imam berpandangan menjamak shalat dan menyelisihi pendapat para makmum, maka apa yang hendaknya mereka lakukan?
Jawabannya adalah bahwa yang menjadi rujukan adalah pendapat sang imam, karena sang imam dijadikan untuk diikuti, dan karena dialah shahibul waliyah (pemilik kekuasaan) (dalam shalat).

9- Para makmum ingin menjamak, sang imam menolak menjamak
Apabila sang imam enggan menjamak shalat sementara para makmum menginginkan untuk menjamak shalat, maka masalah ini termasuk hal yang diperselisihkan oleh para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Ada dua pendapat:

Pendapat pertama :
Bahwa mereka boleh menjamak shalat tanpa sang imam. Dan ini merupakan zhahir pilihan pendapat Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah-رَحِمَهُ اللهُ-) karena shalat yang dilakukan secara berjama’ah itu lebih utama daripada shalat yang dilakukan sendiri-sendiri di dalam rumah-rumah, dan karena tidak dipersyaratkan satunya imam dalam mengerjakan dua shalat yang dijamak. Dan, pendapat ini dipilih oleh Ibnu Qudamah-رَحِمَهُ اللهُ- dan merupakan madzhab Hanabilah.

Pendapat kedua :
Bahwa mereka terlarang menjamak shalat, dan hendaknya mereka mengerjakan shalat yang kedua di rumah-rumah mereka. Pendapat ini dipilih oleh syaikh kami Syaikh Ibnu Utaimin -رَحِمَهُ اللهُ-.

Pendapat yang lebih dekat (dengan kebenaran, Wallahu A’lamadalah para makmum tidak menjamak shalat, dan pendapat inilah yang lebih selaras dengan maqashid syari’ah dan pokok-pokoknya, karena dilakukannya jamak oleh para makmum di dalamnya terdapat penyelisihan terhadap sang imam, dan karena sabda beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dan karena sang imam adalah pemilik wilayah (kekuasaan) di masjid dan shalat tersebut, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh al-Mawardi – رَحِمَهُ اللهُ-. Dan karena dalam tindakan menjamak shalat (yang dilakukan para makmum) terdapat tindakan sembrono terhadap imam masjid tersebut. Imam masjid tersebut adalah sultan (penguasa) di masjid tersebut. Karena itu, tidak boleh bagi seorang pun untuk bertindak sembrono terhadap penguasanya. Dan oleh karena hal itu akan menimbulkan kerusakan dan persengketaan. Dan, kaedah mengatakan:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menolak kerusakan lebih diprioritaskan atas diperolehnya kemaslahatan.”
Dan dengan mereka tidak menyelisihi sang imam, mereka diberi pahala dan mereka pun berarti menunaikan sunnah yang lainnya, yaitu, (memenuhi seruan sang muadzin),

أَلَا صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ

“Hendaklah kalian shalat di tempat-tempat kalian masing-masing.”
Dan mereka pun -dengan demikian- keluar dari perbedaan pendapat secara fikih dan penyelisihan yang bersifat pribadi yang bisa jadi akan merusak hati.

10- Sahkah menjamak shalat orang yang tidak repot (untuk datang ke masjid untuk shalat pada waktunya) seperti orang yang tinggal di samping atau di dekat masjid atau tinggal di masjid, dan orang yang mudah untuk sampai ke masjid?
Masalah ini termasuk hal yang diperselisihkan oleh para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Ada tiga pendapat:

Pendapat pertama:
Bahwa ‘sah’ untuk menjamak shalat selagi rukhshah ada. Ini adalah pendapat sebagian kalangan Malikiyah, dan merupakan madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Pendapat kedua:
Bahwa ‘tidak sah’ untuk menjamak shalat kecuali orang yang mendapatkan kerepotan. Ini adalah madzhab Imam Syafi’i yang lama, dan Iman an-Nawawi membelanya. Dan, merupakan satu wajah di kalangan Hanabilah.

Pendapat ketiga:
Bahwa ‘tidak sah’ menjamak kecuali orang yang shalat bersama jama’ah yang akan mendapatkan bahaya (jika tidak menjamak shalat), walau pun orang tersebut sendiri tidak akan mendapat bahaya, hakum orang ini mengikut kepada orang-orang yang bakal mendapatkan bahaya. Ini adalah madzhab Malikiyah dan satu pendapat sebagian kalangan Hanabilah.

Pendapat yang rajih (kuat) Wallahu A’lam– adalah pendapat pertama, karena hukum berlaku secara umum, dan karena Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjamak shalat padahal rumah-rumah beliau bersebelahan dengan masjid, dan karena didapatkannya shalat berjama’ah itu lebih baik daripada shalat sendiri-sendiri. Dan karena tidak datang keterangan dari para sahabat yang ikut serta menjamak shalat bahwa mereka mengecualikan keabsahan shalat secara jamak bagi orang-orang yang tinggal berdampingan atau berdekatan dengan masjid.

11- Hukum menjamak shalat orang yang tidak wajib hadir berjama’ah di masjid
Kaum wanita di rumah dan orang-orang yang berudzur untuk meninggalkan shalat berjamaah di masjid, mereka tidak menjamak shalat karena hujan, karena yang menjadi maksud adalah diperolehnya shalat berjama’ah dan terangkatnya kesempitan dan kerepotan.

12- Apabila seorang wanita hadir dan shalat di masjid, dan sang imam ternyata menjamak shalatnya, bolehkah si wanita tersebut menjamak shalatnya bersama imam?
Dalam masalah ini ada dua pendapat menurut kalangan Malikiyah, sebagaimana disebutkan di dalam Syarh at-Talqin. Dan, pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran-Wallahu A’lam) adalah bahwasanya boleh bagi wanita tersebut untuk menjamak shalat. Dan karena hukum itu bersifat umum.

13- Orang-orang yang berkumpul di suatu tempat di mana mereka mengerjakan shalat berjama’ah bersama-sama di tempat tersebut, seperti para pegawai, para siswa, dan selain mereka, dan mereka tidak keluar ke masjid, maka mereka memiliki dua keadaan:

Keadaan pertama:
Jika mereka di setiap dua waktu shalat yang bisa dijamak akan tetap berada di tempat-tempat mereka, maka mereka tidak menjamak shalatanya, mereka mengerjakan setiap shalat pada waktunya. Karena yang menjadi maksud adalah didapatkanya jama’ah dan terangkatnya kesempitan dan kerepotan. Sementara di sini, dalam keadaan ini, kedua hal tersebut (kesempitan dan kerepotan) ternafikan.

Keadaan kedua:
Jika mereka akan keluar setelah shalat yang pertama, dan pada galibnya di masjid-masjid dilakukan shalat secara jamak, maka mereka boleh mengerjakan shalat secara jamak dan didapatkannya jama’ah itu lebih utama. Pedapat ini dipilih oleh Syaikh Ibnu Utaimin -رَحِمَهُ اللهُ- dan jika mereka akan mendapatkan orang-orang yang mengerjakan shalat berjama’ah pada waktunya maka mereka tidak menjamak shalatnya.

14- Bolehkah menjamak shalat Zhuhur dan shalat Ashar saat turun hujan?
Masalah ini termasuk hal yang diperselisihkan di kalangan para ulama semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Ada dua pendapat:

Pendapat pertama, ‘Tidak boleh.’ Ini adalah madzhab Malikiyah dan Hanabilah.

Pendapat kedua, ‘Boleh.’ Ini adalah madzhab Syafi’iyyah dan satu riwayat di kalangan Hanabilah, dan dipilih oleh Syaikh Bin Baz -رَحِمَهُ اللهُ – dan Syaikh Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ –.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, berdasarkan hadits Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata,

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menjamak antara shalat Zhuhur dan Asar, shalat Maghrib dan Isya di Madinah, bukan karena takut dan bukan pula karena hujan.” (HR. Muslim).

15- Menjamak shalat Maghrib dan Shalat Isya karena hujan diperbolehkan. Ini adalah madzhab Jumhur (mayoritas) fuqaha (ahli fikih). Berdasarkan beberapa dalil yang telah lalu dan berdasarkan riwayat yang datang dari Nafi’, ia meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- apabila para umara (penguasa) menjamak antara shalat Maghrib dan shalat Isya karena turun hujan, maka beliau menjamak shalat bersama mereka. (HR. Imam Malik).

16- Apakah boleh melakukan jamak takdim dan jamak ta’khir?
Boleh melakukan jamak takdim. Ini adalah madzhab Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Adapun jamak ta’khir. Maka, hal ini diperselisihkan oleh para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Ada dua pendapat:

Pendapat pertama: boleh melakukan jamak ta’khir. Ini merupakan pendapat lama dalam madzhab Syafi’iyyah dan merupakan pendapat madzhab Hanabilah, seperti halnya keadaan safar (yakni, boleh menjamak takhir saat safar).

Pendapat kedua: tidak boleh melakukan jamak ta’khir. Ini merupakan pendapat baru di madzhab Syafi’iyyah. Hal itu karena, bisa jadi hujan telah berhenti, sehingga udzur (yang membolehkan menjamak shalat) telah hilang dari sebagian waktu shalat yang pertama, yang berarti bahwa seseorang mengakhirkan shalat tanpa udzur. Dan, batallah jamak shalat.

Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa masalah ini mengandung kemungkinan-kemungkinan dan yang lebih diprioritaskan dan merupakan tindakan yang lebih berhati-hati adalah menjamak takdim, karena itulah yang diamalkan para salaf dan karena hal itulah yang lebih toleran bagi orang-orang.

17- Apabila hujan berhenti -menurut pendapat yang membolehkan ta’khir-bolehkah dilakukan jamak ta’khir?
Hal ini diperselisihkan oleh para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Boleh. Ini merupakan madzhab Syafi’iyyah, karena (kebolehan menjamak ta’khir) tidak dipersyaratkan bersambungnya turunnya hujan.

Pendapat kedua: Tidak boleh. Ini merupakan madzhab sebagian kalangan Syafi’iyah dan madzhab Hanabilah, karena (kebolehan menjamak ta’khir) dipersyaratkan bersambungnya turunnya hujan hingga dilakukannya shalat yang kedua.

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua. Maka, jika hujan berhenti sebelum keluarnya waktu shalat yang pertama, seseorang harus menunaikan shalat yang pertama, karena sebab yang membolehkan melakukan jamak telah hilang.

18- Apakah dipersyaratkan dalam hal menjamak shalat (karena hujan) hendaknya dilakukan secara berjama’ah?
Hal ini diperselisihkan oleh para ulama-semoga Allah merahmati mereka semuanya. Ada dua pendapat,
Pendapat pertama :
Dipersyaratkan melakukannya dengan cara berjama’ah. Adapun secara individual, maka tidak melakukan shalat secara jamak (karena hujan). Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) fuqaha dan satu wajh di kalangan Hanabilah.
Pedapat kedua :
Tidak dipersyaratkan dilakukan secara berjama’ah. Boleh bagi individu menjamak shalat. Ini adalah madzhab Hanabilah. Alasannya, karena ia telah mendapati adanya sebab yang membolehkan untuk menjamak shalat, yaitu hujan.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama. Karena, yang menjadi maksud dari dilakukannya shalat secara jamak (karena hujan) adalah diperolehnya shalat secara berjama’ah dan terangkatnya kesempitan dan kerepotan. Sementara, hal itu ternafikan dari orang yang melakukannya secara sendiri.

19- Orang yang masuk bersama imam pada shalat yang kedua dari shalat yang dijamak, seperti shalat Asar dan shalat Isya, ia ketinggalan shalat yang pertama, yaitu, shalat Zhuhur dan Shalat Maghrib, apakah ia menjamaknya setelah menyelesaikan shalat yang pertama?
Dalam hal ini ada dua keadaan:

Keadaan pertama, Jika ia tidak mendapati jama’ah setelah itu agar ia dapat mengerjakan shalat bersama jama’ah tersebut. Ini diperselisihkan di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat, orang tersebut boleh menjamaknya. Ini adalah madzhab Hanabilah, dan dipilih oleh Syaikh Ibnu Baz -رَحِمَهُ اللهُ-. Ada yang berpendapat, orang tersebut tidak menjamaknya. Ini adalah madzhab Malikiyah dan dipilih oleh Syaikh Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ-dalam salah satu pendapatnya.

Keadaan kedua, Jika ia mendapati jama’ah lainnya setelah itu agar ia dapat mengerjakan shalat bersama jama’ah tersebut, maka orang tersebut boleh menjamaknya menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat di kalangan ahli ilmu tentang bolehnya mengulangi shalat secara berjama’ah di dalam masjid setelah jama’ah yang pertama selesai, dan ini merupakan madzhab Syafi’iyyah.

20- Kalau seseorang shalat Maghrib sendirian, kemudian ia mendapati jama’ah sedang menunaikan shalat Isya secara jamak disebabkan karena hujan, apakah orang tersebut boleh menjamak shalat bersama mereka?
Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan Malikiyah, dan pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran, Wallahu A’lam) adalah bahwa orang tersebut boleh melakukan hal tersebut, karena diperolehnya jama’ah lebih utama daripada keadaannya mengerjakan shalat Isya secara sendirian.

21- Kalau orang-orang telah manjamak shalat dan sebagian orang di antara mereka duduk-duduk di dalam masjid hingga masuk waktu shalat Isya, apakah mereka mengulang kembali shalat Isya ?
Mereka mengulang shalat Isya. Ini adalah madzhab Malikiyah. Namun, yang benar adalah tidak mengulanginya. Karena, ketika mereka menjamak shalat Isya dan shalat Maghrib, jamaknya disebabkan karena sesuatu yang diizinkan oleh syariat. Kalau ia telah shalat Isya di masjid, maka ia masuk bersama mereka dengan niat shalat sunnah. Adapun pengulangannya sebagai shalat fardhu oleh orang-orang yang telah menjamaknya, maka hal tersebut tidak disyariatkan. Dan karena tidak dipersyaratkan adanya udzur tersebut sampai masuknya waktu shalat yang kedua.

22- Barang siapa mendapati imam pada tasyahud akhir dari shalat yang pertama, ia boleh untuk menjamak shalatnya. Ini adalah madzhab Hanabilah dan satu pendapat kalangan Syafi’iyyah.

23- Barang siapa telah menunaikan shalat di sebuah masjid yang mana ia belum menjamak shalatnya kemudian ia keluar dari masjid tersebut dan mendapatkan jama’ah lain yang sedang menjamak shalat, ia boleh masuk bergabung bersama mereka dan menjamak shalatnya tersebut (dengang shalat yang telah dilakukan di masjid sebelumnya) dengan syarat jeda waktu antara shalat yang pertama dan shalat yang kedua tidak lama karena muwalat (berkesinambungan antara satu shalat dengan shalat berikutnya) merupakan syarat (dalam shalat jamak). Ini adalah pendapat Jumhur fuqaha. Jeda waktu yang memisahkan antara satu shalat dengan shalat berikutnya yang tidak keluar dari makna jamak tidaklah membahayakan.

24- Apakah boleh bagi jama’ah yang kedua untuk menjamak shalat?
Iya, boleh’-menurut pendapat yang benar. Karena tidak adanya penghalang secara syar’i yang menghalangi mereka (jama’ah yang kedua) untuk menjamak shalat.

25- Apakah shalat Asar dijamak dengan shalat Jum’at?
Hal ini diperseliskan oleh para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Ada dua pendapat:

Pendapat pertama:
Tidak boleh menjamak shalat Asar dengan shalat Jum’at. Ini adalah madzhab Hanabilah dan Malikiyah.

Pendapat kedua :
Boleh menjamak shalat Asar dan shalat Jum’at. Ini adalah madzhab Syafi’iyyah dan satu pendapat Imam Ahmad.
Sebab terjadinya perbedaan pendapat ini adalah apakah shalat Juma’at merupakan ganti shalat Zhuhur ataukah bukan?

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama. Dan, pendapat tersebut dipilih oleh Syaikh Bin Baz -رَحِمَهُ اللهُ- dan Syaikh Ibnu Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ-. Inilah pendapat yang lebih berhati-hati, dan keluar dari perbedaan pendapat.

26- Apakah dikumandangkan adzan dan iqomah untuk setiap shalat yang dijamak?
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama -semoga Allah merahmati mereka semuanya-. Ada dua pendapat:

Pendapat pertama :
Setiap shalat dikumandangkan adzan dan iqomah. Ini adalah madzhab Malikiyah dan satu riwayat di kalangan Hanabilah.

Pendapat kedua :
Cukup dikumandangkan adzan satu kali untuk dua shalat dan dikumandangkan iqomah untuk masing-masing shalat. Ini adalah madzhab Jumhur fuqaha, dan satu pendapat di kalangan Malikiyah.

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang kedua, berdasarkan perbuatan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di Arafah, di mana beliau shalat secara jamak dengan satu kali adzan dan dua kali iqomah, sebagaimana dalam hadits Jabir dalam kisah haji beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

27- Apa sajakah syarat menjamak shalat?
1. Niat
Dipersyaratkan niat menjamak shalat sedari awal mengerjakan shalat yang pertama. Ini adalah madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Ada yang berpendapat, sah berniat sebelum salam dari shalat yang pertama. Ini adalah madzhab Syafi’iyyah.
Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan untuk berniat sedari awal shalat. Karena itu, kalau berniat setelah selesai dari shalat yang pertama, maka sah. Ini adalah satu pendapat kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyyah -رَحِمَهُ اللهُ-. Dan, inilah pendapat yang rajih (kuat), karena mempersyaratkan (niat) sedari awal shalat membutuhkan sebuah dalil, dan karena tidak dinukil berita dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- oleh para sahabat tentang keinginan beliau untuk menjamak shalat sebelum mengerjakan shalat yang pertama.

2. Adanya udzur
Ada dua keadaan:
Keadaan pertama, Kalau hujan berhenti turun sebelum ditunaikanya shalat yang pertama, maka tidak boleh menjamak shalat. Hal ini disepakati oleh para fuqaha.
Keadaan kedua, Dipersyaratkan adanya hujan ketika pembukaan dua shalat yang dijamak. Ini adalah pendapat Madzhab Syafi’iyyah. Inilah pendapat yang rajih (kuat), karena hujan apabila berhenti turun, dan hilang adanya kerepotan disebabkan karenanya, maka tidak ada faedah dari tindakan menjamak shalat.

3. Tartib (berurutan)
Ini adalah madzhab jumhur fuqaha. Didasarkan pada tindakan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ketika menjamak shalat-shalat.

4. Muwalat (berkesinambungan)
Ini adalah madzhab jumhur fuqaha. Dan, jeda waktu yang memisahkan antara dua shalat tidak lama yang tidak mengeluarkan dari makna menjamak shalat maka tidak membahayakan. Wallahu A’lam. (Redaksi)

Sumber:
Imta’ an-Nazhari Bi-Ahkami al-Jam’i Fi al-Mathari, Fahd bin Yahya al-‘Umari -حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى-. Dengan ringkasan.