Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (An-Nur: 27).

Dan Dia juga berfirman,

وَإِذَا بَلَغَ اْلأَطْفَالُ مِنكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَئْذَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (An-Nur: 59).

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu ‘anhu, Dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اْلاِسْتِئْذَانُ ثَلاَثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ، وَإِلاَّ فَارْجِعْ.

‘Meminta izin itu tiga kali, apabila kamu diizinkan (maka kamu berhak masuk), apabila tidak diizinkan, maka hendaklah kamu pulang’.”

Kami meriwayatkan hadits di atas juga dalam ash-Shahihain, dari Abu Sa’id al-Khudri radiyallahu ‘anhu dan lainnya, dari Nabi radiyallahu ‘anhu.

Kami meriwayatkan dalam Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Sahal bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah radiyallahu ‘anhu bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ اْلاِسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ.

‘Sesungguhnya meminta izin (masuk rumah) disyariatkan demi menjaga pandangan mata’.”

Kami juga meriwayatkan hadits al-Isti’dzan tsalatsan dari jalur sanad yang banyak.

Yang sunnah, hendaklah dia mengucapkan salam, kemudian meminta izin, dengan berdiri di samping pintu, di mana dia tidak melihat siapa yang berada di dalam-nya. Kemudian dia berkata, “Assalamu’alaikum (Semoga keselamatan terlimpahkan kepa-damu), bolehkah saya masuk?” Apabila tidak ada seorang pun yang menjawab maka dia mengulanginya lagi untuk kedua kalinya hingga kali ketiga. Apabila tidak seorang pun yang menjawab, maka hendaklah dia pergi.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dengan isnad yang shahih, dari Rib’i bin Hirasy, seorang tabi’in yang mulia, dia berkata,

حَدَّثَنَا رَجُلٌ مَنْ بَنِي عَامِرٍ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَهُوَ فِي بَيْتٍ فَقَالَ: أَأَلِجُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم لِخَادِمِهِ اُخْرُجْ إِلَى هذَا فَعَلِّمْهُ اْلاِسْتِئْذَانَ فَقُلْ لَهُ قُلِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟ فَسَمِعَهُ الرَّجُلُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟ فَأَذِنَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَدَخَلَ.

“Seseorang dari Bani ‘Amir telah menceritakan kepada kami bahwasanya dia meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam -sedangkan beliau berada di rumah- seraya berkata, ‘Apakah saya boleh masuk?’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada pembantunya, ‘Keluarlah menuju kepada laki-laki ini, dan ajarkan-lah kepadanya cara meminta izin, lalu katakan kepadanya, ‘Ucapkanlah, ‘Assalamu’alaikum, apa-kah saya boleh masuk?'” laki-laki tersebut kemudian mendengar ucapannya, maka dia berkata, ‘Assala-mu’alaikum, apakah saya boleh masuk?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mengizinkannya masuk, maka dia pun masuk.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi, dari Kaladah bin al-Hanbal -yang seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ وَلَمْ أُسَلِّمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: اِرْجِعْ فَقُلِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟

“Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu saya langsung masuk dan belum mengucapkan salam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kembalilah (keluar) dan ucapkanlah, ‘assalamu ‘alaikum’, bolehkah saya masuk?'”

At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan”

Riwayat yang kami sebutkan dalam bab mendahulukan “salam” daripada “meminta izin” adalah yang shahih. Al-Mawardi menyebutkan bahwa di dalamnya terdapat tiga versi. Pertama, riwayat mendahulukan salam ini. Kedua, riwayat mendahulukan “meminta izin” daripada “salam”. Ketiga, riwayat memberikan pilihan, apabila mata orang yang meminta izin melihat pemilik rumah sebelum memasukinya, maka dia mendahulukan salam, dan apabila matanya tidak melihatnya maka dia mendahulukan “meminta izin”.

Dan apabila dia sudah meminta izin tiga kali, dan belum diizinkan untuknya, sedangkan dia mengira bahwa pemilik rumah tidak mendengar, apakah dia boleh lebih dari tiga kali? Al-Imam Abu Bakar bin al-Arabi al-Maliki menceritakan bahwa di dalam-nya terdapat tiga madzhab. Salah satunya mengulanginya. Kedua tidak mengulanginya. Dan ketiga, apabila dengan lafazh “meminta izin” yang tersebut di atas, maka dia tidak mengulanginya, dan apabila dengan lafazh selainnya maka dia mengulangi. Dia berkata, “Pendapat yang benar bahwa dia tidak mengulanginya secara langsung.” Pendapat inilah yang dibenarkan olehnya yang ditunjukkan oleh Sunnah. Wallahu a’lam.

Pasal: Dan seyogyanya jika seseorang meminta izin kepada orang lain dengan memberikan salam atau mengetuk pintu, selanjutnya dikatakan kepadanya, “Siapa kamu?” maka hendaklah orang itu menjawab, “Fulan bin Fulan, atau Fulan al-Fulani, atau Fulan yang dikenal dengan nama ini… atau yang semisal itu, di mana menghasilkan pengenalan secara sempurna terhadapnya. Dan dibenci (makruh) sebatas menjawab, “Saya, atau pem-bantu, atau anak-anak, atau orang-orang yang mencintai anda…, dan semisalnya.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam hadits al-Isra‘ yang masyhur, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثُمَّ صَعِدَ بِي جِبْرِيْلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَاسْتَفْتَحَ فَقِيْلَ: مَنْ هذَا؟ قَالَ: جِبْرِيْلُ. قِيْلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ… ثُمَّ صَعِدَ بِي إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ وَالثَّالِثَةِ وَسَائِرِهِنَّ، وَيُقَالَ فِي بَابِ كُلِّ سَمَاءٍ: مَنْ هذَا؟ فَيَقُوْلُ: جِبْرِيْلُ.

‘Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit dunia (yang paling rendah), kemudian ditanya-kan kepadanya, ‘Siapa ini?’ Dia menjawab, ‘Jibril.’ Kemudian ditanyakan kepadanya, ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia menjawab, ‘Muhammad.’ …Kemudian dia naik bersamaku ke langit kedua, ketiga, dan semuanya. Pada setiap pintu langit ditanyakan kepadanya, ‘Siapa ini?’ Maka dia menjawab, ‘Jibril”.”

Kami meriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, hadits Abu Musa:

لَمَّا جَلَسَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم عَلَى بِئْرِ الْبُسْتَانِ، وَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ، فَاسْتَأْذَنَ، فَقَالَ: مَنْ؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. ثُمَّ جَاءَ عُمَرُ، فَاسْتَأْذَنَ، فَقَالَ: مَنْ؟ عُمَرُ…ثُمَّ عُثْمَانُ كَذلِكَ.

“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas sumur sebuah kebun (sumur Aris pent.), dan datanglah Abu Bakar, maka dia meminta izin. Nabi bertanya, ‘Siapa?’ Dia menjawab, ‘Abu Bakar.’ Kemudian datanglah Umar, maka dia juga meminta izin. Nabi bertanya, ‘Siapa?’ Dia menjawab, ‘Umar’ …kemudian Utsman demikian juga’.”

Kami juga meriwayatkan dalam Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir radiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم، فَدَقَقْتُ الْبَابَ، فَقَالَ: مَنْ ذَا؟ فَقُلْتُ: أَنَا. فَقَالَ: أَنَا أَنَا؛ كَأَنَّهُ كَرِهَهَا.

p]“Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka saya pun mengetuk pintu. Nabi bertanya, ‘Siapa ini?’ maka saya menjawab, ‘Saya’ Nabi pun berkata, ‘Saya, saya’. Seolah-olah beliau membenci jawaban itu.”

Pasal: Diperbolehkannya bagi orang yang meminta izin untuk memberikan sifat dirinya yang dikenal, selama orang yang diajak bicara tidak mengenal sifat tersebut untuk selainnya, walaupun dalam sifat tersebut terdapat bentuk penghormatan baginya dengan memberikan kunyah pada dirinya, atau menjawab, “Saya Mufti fulan” atau “Hakim fulan” atau “Syaikh fulan” atau semisalnya.

Kami meriwayatkan dalam Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ummu Hani` binti Abi Thalib radiyallahu ‘anha, dan namanya adalah Fakhitah berdasarkan pen-dapat yang masyhur, dan dalam riwayat lain dikatakan, Fathimah, dan dalam riwayat lain dikatakan, Hindun. Dia berkata,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم وَهُوَ يَغْتَسِلُ، وَفَاطِمَةُ تَسْتُرُهُ، فَقَالَ مَنْ هذِهِ؟ فَقُلْتُ: أَنَا أُمُّ هَانِئٍ.

“Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan beliau sedang mandi, dan Fathimah menutupinya, maka beliau bertanya, ‘Siapa ini?’ Saya menjawab, ‘Saya Ummu Hani`’.”

Kami meriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Dzar radiyallahu ‘anhu dan namanya adalah Jundab atau Jundub, dan dalam riwayat lain disebut, Burair -bentuk tashghir dari Barr-. Dia berkata,

خَرَجْتُ لَيْلَةً مِنَ اللَّيَالِي، فَإِذَا رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم يَمْشِي وَحْدَهُ، فَجَعَلْتُ أَمْشِي فِي ظِلِّ الْقَمَرِ، فَالْتَفَتَ، فَرَآنِي، فَقَالَ: مَنْ هذَا؟ فَقُلْتُ أَبُو ذَرٍّ.

“Saya keluar suatu malam, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan sendirian, maka saya menjadi-kan diriku berjalan di bawah bayangan bulan sehingga ketika beliau menoleh, beliau melihatku. Beliau bertanya, “Siapa ini?” Saya menjawab, “Abu Dzar”.

Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah al-Harits bin Rib’i radiyallahu ‘anhu, dalam hadits tentang tempat wudhu yang mencakup banyak mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbagai jenis disiplin ilmu. Abu Qatadah berkata di dalamnya..

فَرَفَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم رَأْسَهُ، فَقَالَ: مَنْ هذَا؟ قُلْتُ: أَبُوْ قَتَادَةَ.

“Maka Nabi mengangkat kepala, seraya bertanya, ‘Siapa ini?’ Aku menjawab, ‘Abu Qata-dah’.”

Saya berkata, “Hadits-hadits semisal ini banyak, dan sebabnya adalah faktor kebu-tuhan, dan tidak adanya keinginan untuk membanggakan diri.”

Dan yang mendekati ini adalah apa yang kami riwayatkan dalam kitab Shahih Muslim. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dan namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr, berdasarkan pendapat yang lebih shahih- dia berkata,

قُلتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَهْدِيَ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ …وَذَكَرَ الْحَدِيْثَ إِلَى أَنْ قَالَ: فَرَجَعْتُ، فَقُلتُ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ قَدِ اسْتَجَابَ اللهُ دَعْوَتَكَ وَهَدَى أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ.

“Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah…’-dan dia menyebutkan hadits sampai berkata- ‘maka saya kembali kepada beliau seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah mengabulkan doamu dan memberikan hidayah kepada ibu Abu Hurairah’.”

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky