Kami meriwayatkan dalam Kitab Ibn as-Sunni, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم رَأَى رَجُلاً مَعَهُ غُلاَمٌ، فَقَالَ لِلْغُلاَمِ، مَنْ هذَا؟ قَالَ: أَبِيْ. قَالَ: فَلاَ تَمْشِ أَمَامَهُ، وَلاَ تَسْتَسِبَّ لَهُ، وَلاَ تَجْلِسْ قَبْلَهُ، وَلاَ تَدْعُهُ بِاسْمِهِ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki bersama anak kecil, lalu beliau bertanya kepada anak kecil tersebut, ‘Siapa ini?’ Dia menjawab, ‘Bapakku.’ Beliau bersabda, ‘Maka janganlah kamu berjalan di depannya, janganlah mengundang celaan untuknya, jangan duduk sebelum dia duduk, dan jangan memanggilnya dengan namanya’.”

Dhaif mauquf dan marfu’: Sumber poros hadits ini adalah pada Hisyam bin Urwah. Mereka berbeda pendapat di dalamnya yang terbagi menjadi empat macam:

Pertama, Yang diriwayatkan Abdurrazzaq, no.20134; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no.7894: dari jalur Ma’mar, darinya, dari seorang laki-laki, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut secara mauquf. Hadits ini mauquf dhaif dikarenakan seorang laki-laki yang tidak diketahui.

Kedua, Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad,no.44:dari jalur Ismail bin Zakariyya, darinya, dari bapaknya atau yang lainnya, dari Abu Hurairah. Al-Albani menshahihkan isnadnya, padahal dia tidak shahih. Ismail melakukan kesalahan sedikit dan ragu-ragu. Maka seharusnya bersandar pada perkataan Ma’mar yang menegaskan ketidakjelasan syaikhnya Hisyam.

Ketiga, Hadits yang diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath no. 4171, Ali telah menceritakan kepada kami, Amr bin Muhammad bin ‘Ar’arah bin al-Birindi menceritakan kepada kami, Muhammad bin Husain al-Muzani al-Wasithi telah menceritakan kepada kami, Hisyam telah menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari Aisyah dengan hadits tersebut secara marfu’. Al-Haitsami 8/140 berkata, “Ali bin Sa’id bin Basyir lemah, Ibnu Daqiq al-Id telah menukil bahwa dia di tsiqahkan, sedangkan Muhammad bin Urwah bin al-Birindi maka saya belum mengenalnya, sehingga riwayat ini dhaif”.

Keempat, Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni no.395, dari jalur Qais bin ar-Rabi’,dari Hisyam, dari Ayyub bin Maisarah, dari abu Hurairah dengan hadits tersebut secara marfu’. Qais mengalami perubahan hafalan ketika tua, dan haditsnya dicampuri dengan hadits perawi lain. Sedangkan Ayyub adalah majhul, maka sanadnya adalah dhaif.

Hadits tersebut terdapat pada ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath no. 6853 dari jalur Hisyam bin Ammar, al-Walid bin Muslim menceritakan kepada kami, dari Abu Ghanam al-Kala’i dari Abu Ghassan adh-Dhabbi, dari Abu Hurairah dengan semisalnya secara mauquf. Akan tetapi al-Haitsami berkata, “Abu Ghassan dan Abu Ghanam, maka saya tidak mengenal keduanya.” Saya berkomentar, Hisyam berubah hafalannya dan terpengaruh oleh perawi lain, sedangkan al-Walid melalaikan tadlis taswiyah dan telah meriwayatkan dengan an’anah, sehingga sanadnya gelap gulita.

Secara global semua jalur yang empat adalah lemah, dan adanya perselisihan menambahkan kedhaifan padanya. Sedangkan sanad lain untuk hadits tersebut sangat lemah sehingga tidak satu pun dari salah satu jalur ini yang memperkuat jalur lainnya, dan kolektifitasnya tidak menambahkan sesuatu melainkan hanya kelemahan dan kemungkaran. Wallahu A’lam.

Saya berkata, Kata ‘لاَ تَسْتَسِبَّ لَهُ’ bermakna, “Janganlah kamu mengerjakan perbuatan yang membuat ayahmu mencelamu sebagai cacian dan pelajaran bagi perbuatanmu yang jelek.”

Mungkin juga mengandung makna, “Janganlah kamu meyebabkannya mendapat celaan dikarenakan celaan orang dan penghinaan mereka terhadapnya,” sebagaimana terdapat dalam nash-nash yang lain, bahkan inilah makna yang lebih rajih(kuat-ed).

Kami meriwayatkan di dalamnya, dari as-Sayyid yang agung, hamba yang shalih yang telah disepakati keshalihannya, Ubaidullah bin Zahrin radiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Dikatakan,

مِنَ اْلعُقُوْقِ: أَنْ تُسَمِّيَ أَبَاكَ بِاسْمِهِ وَأَنْ تَمْشِيَ أَمَامَهُ فِي طَرِيْقٍ

‘Yang termasuk perbuatan durhaka adalah engkau memanggil ayahmu dengan namanya, dan engkau berjalan di depannya di satu jalan’.”

Maqthu’ munkar: Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni no. 396, dengan sanad yang hasan secara mauquf atas Ibnu Zahr.Secara zahir, Ibnu Zahr adalah seorang laki-laki yang shalih menurut dirinya, akan tetapi dia tidak memiliki sifat-sifat tersebut yang diberikan oleh an-Nawawi kepadanya. Saya juga tidak melihat adanya kesepakatan para ahli sejarah tentang keshalihannya. Dia juga bukan termasuk ulama alim yang beramal yang layak dikumpulkan perkataan dan fatwanya. Bahkan dia adalah rawi yang di dalamnya terdapat kelemahan, dan di dalam haditsnya terdapat kemungkaran. Pendek kata, dia shalih dalam syawahid.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky