Oleh: Dilal Abdullah

Tidak disangsikan lagi bahwa sebagian pakar dan cendekiawan pura-pura tidak mengetahui akan pandangan Islam tentang sanksi fisik sebagai salah satu cara dalam memberikan pelajaran yang sangat berguna bagi siswa ataupun anak. Tentu saja, dengan sejumlah batasan yang mesti diperhatikan.
Hal itu menjadi semakin tegas, ketika kita membaca hadits.

Nabi yang kita cintai, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
(( مروا أولادكم بالصلاة لسبعٍ، واضربوهم عليها لعشرٍ، وفرّقوا بينهم في المضاجع ))

Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah jika ia tidak shalat pada usia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.

Di sisi lain, pandangan dan teori-teori pendidikan kontemporer, secara generik, lebih cenderung untuk menjauhi penggunaan jenis sanksi fisik dalam pendidikan siswa dan anak-anak. Hal ini karena memukul bisa menimbulkan kebencian kepada guru dan kepada ayah, dimana hal itu juga bisa merusak hubungan diantara mereka. Sanksi fisik juga akan menjadikan sang siswa atau anak merasa takut dan mengalami kegoncangan jiwa, yang akhirnya menjadikan mereka suka berdusta, menipu, munafiq, dan akhirnya menumbuhkan kepribadian yang jahat atau tidak baik.

Pandangan yang demikian didukung oleh banyak orang, khususnya para pakar psiko-sosial. Mereka mendukung pendapat demikian, karena mereka memfokuskan perhatian kepada keselamatan siswa atau anak dan menghargai perasaan mereka tanpa mengetahui secara menyeluruh akan dimensi yang digunakan praktisi pendidikan dalam menghadapi sebagian pelajar yang sikap dan perilakunya sudah melebihi batas kriminal dan norma.

Diantara hal yang diakui bersama adalah bahwa memukul atau sanksi fisik bukan satu-satunya solusi atau cara yang bajik, jika hanya digunakan sendirian tanpa menggunakan cara pendidikan lainnya, metode tambahan, sebagai inti dalam metode pendidikan. Apabila metode pendidikan yang santun digunakan bersamaan dengan sanksi fisik yang tidak membahayakan sang siswa atau anak sebagai solusi terakhir, maka bisa diterima. Yaitu, tidak diperkenankan menggunakan sanksi fisik hanya karena sebab yang sepele, dan menjauhi tindak kekerasan dengan sejauh-jauhnya dengan berbagai aspeknya.
Dan solusi yang santun yang tidak bisa diingkari oleh semua orang adalah: Hendaklah seorang pendidik menjadi contoh yang baik bagi para siswanya, baik dari perilaku, ucapan maupun akhlaqnya, seraya mengharap pahala dari Allah ta’alaa; menghargai sang siswa seperti anaknya sendiri. Dengan hal ini, tanpa diragukan sedikitpun, maka perasaan siswa atau anak akan merasa dilindungi, diayomi, disayang oleh pendidik atau orang tua melalui ucapan, perbuatan, hata dalam pukulannya sekalipun.

Dan urgen untuk diketahui oleh seorang pendidik, bahwa mendidik adalah aktivitas pokok dan inti; dan ilmu tidak mungkin bisa dicerna dengan pemaksaan.
Dan pertanggungjawaban –tidak diragukan lagi– adalah sangat besar; evaluasi dan perbaikan untuk generasi ini (anak dan siswa -pent) butuh akan sikap sabar, hikmah, dan lapang dada, serta perhatian yang besar dan besar.

Akan tetapi, kita tidak boleh lupa akan sanksi fisik dalam metode pendidikan, akan tetapi dengan sejumlah syarat:

  • Tidak boleh dilakukan terhadap anak-anak dibawah usia 10 tahun, sebab memukul pada usia-usia tersebut tidak ada manfaat positifnya sama sekali;
  • Harus ringan; tidak boleh kasar, berat apalagi sampai melukai;
  • Tidak boleh menggunakan cara ini kecuali setelah menggunakan segala cara dan metode serta kesabaran yang panjang; dan
  • Tidak boleh memberikan sanksi fisik kepada semua jenis kesalahan yang dilakukan siswa atau anak, kecuali dan hanya pada masalah yang besar dan serius yang memang layak untuk itu. (Abm)

Sumber: Majalah Al-Da’wah (Riyadh-KSA) No. 1923/24101424H/18122003M