Secara umum orang yang menjabat atau ditunjuk sebagai hakim adalah orang yang pandai, berilmu, cerdas dan cerdik, hal ini karena hakim menangani perselisihan dan persengketaan di antara manusia, hakim memutuskan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak, tanpa ilmu dan kecerdikan hakim tidak akan mampu menunaikan tugasnya dengan baik. Namun demikian hakim tetaplah manusia, ada keterbatasannya. Ada saatnya hakim tidak bisa menjawab kata-kata orang yang berperkara di depannya, walaupun orang tersebut adalah orang biasa pada umumnya, dari segi ilmu dan kepandaian dia di bawah bapak hakim, tetapi itulah manusia.

Ali bin al-Qasim al-Qadhi menyampaikan kepada kami, dia berkata, aku mendengar bapakku berkata, “Musa bin Ishak al-Qadhi tidak pernah sekalipun terlihat tersenyum.” Lalu seorang wanita berkata kepadanya, “Wahai Bapak hakim, Anda tidak boleh mengadili di antara dua orang sementara Anda dalam keadaan marah.” Dia bertanya, “Mengapa?” Wanita itu berkata, “Karena Nabi saw bersabda, ‘Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara di antara dua orang, sedang dia dalam keadaan marah’.” Maka Musa sang hakim itu pun tersenyum.

Ismail bin Hamadah bin Abu Hanifah berkata, aku tidak pernah didatangi oleh seorang wanita seperti ini. Wanita itu berkata kepadaku, “Wahai Bapak hakim, sepupuku menikahkanku dengan orang ini, sementara aku tidak mengetahui, dan begitu aku mengetahui maka aku membatalkannya.” Aku bertanya kepadanya, “Kapan kamu membatalkannya?” Dia menjawab, “Ketika aku mengetahui.” Aku bertanya, “Dan kapan kamu mengetahui?” Dia menjawab, “Ketika aku membatalkannya.” Aku berkata kepada diriku, “Aku tidak pernah melihat wanita sepertinya.”

Dari Syaikh Abul Wafa’ bin Aqil berkata, di antara madzhab sebagian hakim madzhab Hanafi adalah jika para saksi diragukan maka mereka dipisahkan. Suatu saat yang menjadi saksi adalah seorang laki-laki dan dua orang wanita dalam perkara di mana kesaksian wanita di dalamnya diterima, seperti biasa hakim madzhab Hanafi hendak memisahkan antara kedua saksi wanita, maka salah seorang dari keduanya berkata, “Bapak hakim, engkau telah salah karena Allah swt berfirman, ‘Supaya jika seorang lupa maka yang lain mengingatkannya’. (Al-Baqarah: 282). Jika engkau memisahkan maka apalah arti ayat itu?” Maka dia tidak melakukannya.

Syuraih al-Qadhi ditanya, “Apakah ada orang yang berbicara kepadamu dan engkau tidak bisa menjawabnya?” Syuraih menjawab, “Aku tidak mengetahui kecuali seorang laki-laki dari pedalaman, dia berperkara di majlisku, dia berkata-kata sambil mengulurkan tangannya, maka aku berkata kepadanya, ‘Jagalah tanganmu karena lidahmu lebih panjang.’ Dia menjawab, ‘Apakah engkau adalah Samiri sehingga tidak tersentuh?” Syuraih berkata, “Aku hanya bisa diam.”

Seorang laki-laki dari pedalaman dihadirkan ke majlis pengadilan dengan bukti sebuah buku yang dia tulis, laki-laki berkata, “Ambillah, bacalah kitabku ini” (Al-Haqqah: 19). Hakim berkata, “Ucapan ini untuk Hari Kiamat.” Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, hari ini lebih buruk daripada Hari Kiamat. Di Hari Kiamat kebaikanku dan keburukanku dihadirkan, sementara hari ini, bapak hakim hanya menghadirkan keburukanku dan meninggalkan kebaikanku.” (Izzudin Karimi)