Beberapa hukum penting berkaitan dengan puasa:

  • Tidak mengapa bagi orang yang sedang berpuasa mencicipi makanan bila perlu, seperti mencicip dengan lidah untuk diketahui manis, asin atau tidak-nya. Hanya saja ia tidak boleh menelan sedikitpun dari padanya, dan ia harus meludahkan atau menge-luarkannya dari mulutnya. Dan ini tidak merusak atau membatalkan puasanya.(78)
  • Jika seorang suami memaksa istrinya bersetubuh, padahal keduanya puasa, maka puasa sang istri tetap sah dan ia tidak wajib membayar kafarat, sedangkan suami wajib membayar kafarat karena persetubuhan yang ia lakukan, jika hal tersebut di siang hari Ramadhan. Kafaratnya adalah membebaskan seorang hamba sahaya wanita, dan jika tidak mampu maka puasa dua bulan penuh secara berturut-turut, dan jika tidak juga mampu maka memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin.(79)
  • Orang sakit, apabila ia tidak kuat untuk melakukan puasa Ramadlan dan kecil harapan kesembuhannya, maka gugur kewajiban puasanya, dan ia wajib mem-berikan makanan dari tiap hari (sebanyak jumlah hari Ramadlan) kepada seorang faqir miskin, berupa makanan seperti kurma atau gandum atau beras sebanyak ½ sha’ (cukup untuk keperluan sehari) atau makanan yang serupa dari makanan yang biasa dikonsumsi oleh keluarganya menurut kemampuannya. Demikian pula orang yang lanjut usia yang tidak mungkin melakukan puasa.(80)
  • Orang sakit yang berat baginya puasa, maka diper-bolehkan iftar (berbuka), dan apabila telah sehat wajib mengganti (mengqadha’)nya. Sebab Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
    “Barangsiapa sakit atau dalam bepergian (safar), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggal itu pada hari-hari yang lain.”(81)
  • Jika wanita yang sedang hamil khawatir terhadap diri-nya atau terhadap janinnya bila berpuasa, maka boleh berbuka (ifthar) dan hanya wajib menggantinya saja. Kedudukannya sama seperti orang yang tidak kuat berpuasa atau yang khawatir terhadap jiwanya akan terjadi madharat yang akan terjadi bila berpuasa. Allah berfirman:
    “Dan barang siapa sakit atau dalam bepergian maka, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggal itu pada hari-hari yang lain.” Dan demikian pula ibu menyusui, jika khawatir akan terjadi bahaya terhadap dirinya atau terhadap anaknya jika ia berpuasa, maka ia boleh berbuka (ifthar), dan ia wajib mengqadha’nya saja.(82)
  • Puasa enam hari pada bula Syawal tidak akan teraih pahalanya kecuali apabila seseorang telah menyem-purnakan puasa Ramadhan. Maka barang siapa yang punya hutang puasa Ramadhan, ia tidak boleh berpuasa enam hari bulan Syawal kecuali setelah mengqada’ hutang puasanya terlebih dahulu. Sebab Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
    “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal …”.

    Berdasarkan hadits tersebut dapat dimengerti bahwa, barang siapa yang punya hutang puasa Ramadhan, ia harus membayar (mengganti) nya terlebih dahulu, kemudian berpuasa enam hari dari bulan Syawal. Apabila puasa enam hari itu bertepatan dengan hari Senin dan Kemis, maka ia mendapat dua pahala, pahala puasa senin dan kamis dan pahala enam hari Syawal asal melakukannya dengan dua niat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
    “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh sesuatu menurut niatnya”.(83)

  • Puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunnah (tradisi agama) yang tetap dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam itu boleh dilakukan secara berurutan dan boleh juga berselang-seling. Karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menyebutkannya secara umum, beliau tidak menyebutnya harus berurutan dan tidak pula berselang-seling, dimana beliau bersabda:
    “Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diikuti dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia seperti melakukan puasa sepanjang masa”.(84)