Beberapa hukum berhubungan dengan janazah:

  • Tidak mengapa bagi seorang istri memandikan suami-nya dan melihatnya, sebagaimana tidak mengapa bagi suami memandikan istri dan melihatnya. Karena Asma’ binti Umais telah memandikan suaminya, Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiallaahu anhu, dan Fatimah Radhiallaahu anha pun berwasiat kepada suaminya Ali Radhiallaahu anhu agar memandikannya (bila ia wafat).(70)
  • Ta ‘ziah itu tidak mempunyai waktu tertentu dan juga tidak mempunyai hari-hari khusus, namun ia tetap disyari’atkan (diperintahkan) mulai dari waktu kema-tian seseorang sebelum dishalatkan dan sesudahnya, sebelum dikebumikan dan sesudahnya. Dan segera melakukan ta’ziah itu lebih afdhal disaat musibah sedang memukul. Dan boleh dilakukan sesudah tiga hari dari kematian seseorang, karena tidak ada dalil yang membatasinya.(71)
  • Berkumpul di rumah orang yang kematian untuk makan-makan, minum atau membaca Al-Qur’an ada-lah bid’ah, dan demikian pula melakukan pertemuan untuk melakukan shalat hadiah dan melakukan do’a bersama (tahlilan), semua itu bid’ah. Sesungguhnya keluarga korban dikunjungi adalah untuk ta’ziah dan mendo’akan mereka dan memohonkan rahmat atas yang meninggal, menghibur keluarga korban dan menganjurkan mereka agar tetap tabah dan sabar. Adapun datang ke rumah mereka untuk berkumpul bersama dalam rangka makan-makan, melakukan do’a-do’a (zikir-zikir) tertentu, membaca shalawat tertentu atau membaca Al-Qur’an, maka semua itu tidak ada dasar hukumnya.(72)
  • Tidak boleh meratapi mayit, merobek-robek pakaian, memukul-mukul pipi atau perbuatan yang serupa (karena kematian), karena terdapat hadits dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’udru, bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

    “Bukan golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek baju dan menyerukan kepada seruan-seruan jahiliyah”.

    Juga terdapat hadits shahih dari rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang menyatakan bahwasanya beliau telah mengutuk wanita peratap dan yang mendengarnya. Dan juga ada riwayat shahih yang menyatakan bahwasanya beliau bersabda:

    “Sesungguhnya mayyit disiksa di dalam kuburnya karena ratapan terhadapnya”.(73)

  • Memakai pakaian hitam pada watku musibah (hari berkabung) adalah syi’ar yang batil dan tidak mem-punyai dasar hukum. (74)
    Hukum Hidad (berkabung) bagi wanita yang suaminya meninggal:
    Wajib bagi wanita selama masa hidad menghindari perhisan, berupa pakaian kecantikan, perhiasan, make up dan berhias diri dan yang serupa. Dan tidak boleh keluar rumah kecuali karena kepentingan mendesak (darurat) dan juga tidak boleh berwangi-wangian dan menampakkan diri di hadapan kaum lelaki asing. Namun ia boleh berbica dengan sanak kerabatnya yang bukan mahram dibalik tabir atau melalui telepon atau lainnya.(75)