Tanya :

Apa hukum haji?

Jawab :

Haji adalah fardhu (wajib) hukumnya, sebagaimana ijma’ kaum muslimin. Maksudnya, berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin; ia merupakan salah satu rukun Islam. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang-siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali ‘imran: 97).
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda,

إِنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا. (مسلم)

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji terhadap kalian, maka berhajilah.” (Muslim).

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ.

“Islam dibangun di atas lima pilar, yaitu: Bersaksi bahwasanya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah yang suci.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 8) dalam kitab Al-Iman, Muslim (no. 19-20) dalam kitab Al-Iman.)
Barangsiapa yang mengingkari kewajiban ibadah haji, maka ia kafir dan keluar (murtad) dari Islam, kecuali jika dalam keadaan bodoh tentang kewajiban tersebut, yaitu baik karena memang kebodohannya atau lingkungannya, seperti karena baru masuk Islam, tinggal di desa terpencil hingga tidak mengenal hukum Islam sedikit pun, maka yang demikian itu dimaklumi kebodohannya, namun ia harus dikenalkan kepada ajaran Islam dan diberi penjelasan tentang kewajiban haji. Lalu apabila nanti ia masih bersikeras pada pendiriannya maka boleh divonis sebagai orang yang murtad.

Adapun orang yang meninggalkan ibadah haji karena malas (menganggap remeh) dengan tetap mengakui hukum wajibnya, maka tidak menyebabkannya menjadi kafir, namun ia berada di atas bahaya yang sangat besar, bahkan ada sebahagian ulama yang mengkafirkannya.

( Fatwa Syaikh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin )