Bisyr bin al-Harits, salah satu rekan Imam Ahmad, dikenal juga dengan Bisyr al-Hafi, arti al-Hafi adalah orang yang tidak beralas kaki, berkata, “Aku mengunjungi rumah al-Muafa bin Imran. Aku mengetuk pintu. Dari dalam terdengar suara, ‘Siapa?” Aku menjawab, “Bisyr al-Hafi.” Seorang bocah perempuan dari dalam rumah berkata, “Seandainya Bapak membeli sandal dengan harga dua daniq -mata uang Persia sama dengan seperenam dirham- niscaya bapak tidak lagi dipanggil al-Hafi.”

Suatu hari Ibnus Simak berbicara, sementara seorang hamba sahaya miliknya mendengar pembicaraannya. Setelah pembicaraan selesai, Ibnus Simak bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu mendengar ucapanku?” Dia menjawab, “Betapa bagusnya kalau engkau tidak sering mengulang-ulangnya.” Ibnus Simak berkata, “Aku mengulang-ulangnya agar orang yang belum paham bisa memahaminya.” Dia berkata, “Sampai yang belum paham menjadi paham, orang yang sudah paham akan merasa bosan.”

Ibnu Qutaibah berkata, “Seorang hamba sahaya memberiku hadiah. Aku katakan kepadanya, ‘Majikanmu telah mengetahui kalau aku tidak menerima hadiah’.” Dia bertanya, “Mengapa?” Aku berkata, “Aku takut dia mengambil ilmu dariku dengan hadiahnya.” Dia berkata, “Orang-orang mengambil ilmu lebih banyak dari Rasulullah saw, sementara beliau tetap menerima hadiah.” Maka aku pun menerima hadiahnya. Ternyata dia lebih pintar dariku.”

Seorang wanita makelar datang kepada suatu kaum membawa misi dari seorang laki-laki yang melamar salah seorang gadis dari kaum tersebut, wanita itu berkata, “Aku utusan seorang laki-laki yang ingin melamar kepada kalian, laki-laki ini menulis dengan besi dan menstempel dengan kaca.” Maka mereka menerimanya dan menikahkannya, ternyata laki-laki tersebut adalah tukang bekam.

Dari Abdurrazzaq berkata, hamba sahaya Ali bin al-Husain bin Ali yang dikenal dengan Zainal Abidin menuangkan air untuknya. Tetapi kendinya jatuh dari tangannya ke wajahnya dan melukainya. Hamba sahaya itu berkata, “Allah berfirman, ‘Dan orang-orang yang menahan amarahnya’.” Zaenal Abidin berkata, “Aku telah menahannya.” Dia berkata, “Allah berfirman, ‘Dan orang-orang yang memaafkan kesalahan orang’.” Zaenal Abidin berkata, “Aku telah memaafkanmu.” Dia berkata, “Allah berfirman, ‘Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik’.” Zaenal Abidin berkata, “Kamu merdeka.”

Harun al-Rasyid mempunyai seorang hamba sahaya hitam yang buruk rupa. Suatu hari al-Rasyid menebar dinar di antara para hamba sahaya. Maka mereka memunguti dinar-dinar itu. Sementara hamba sahaya hitam itu tetap berdiri melihat wajah al-Rasyid. Al-Rasyid bertanya, “Mengapa kamu tidak memunguti dinar-dinar?” Dia menjawab, “Keinginan mereka adalah dinar. Sementara aku menginginkan pemiliknya.” Al-Rasyid mengaguminya dan setelah itu memberikan kedudukan khusus kepadanya.

Seorang laki-laki dari Syam berkata, “Aku datang di kota Madinah lalu aku menuju rumah Ibrahim bin Harimah. Aku bertemu dengan putri kecilnya yang sedang bermain lumpur. Aku bertanya, “Di mana bapakmu?” Dia menjawab, “Dia pergi menemui orang-orang dermawan. Maka kami tidak mengetahuinya sejak beberapa waktu.” Aku berkata kepadanya, “Sembelihkan onta betina untuk kami. Kami ini tamumu.” Dia menjawab, “Kami tidak punya.” Aku berkata, “Domba.”Dia menjawab, “Kami tidak punya.” Aku berkata, “Ayam.” Dia berkata, “Demi Allah kami tidak punya.” Aku berkata, “Telor.” Dia menjawab, “Demi Allah, kami tidak punya.” Aku berkata, “Kalau begitu bapakmu telah berbohong ketika berkata,
Berapa banyak onta betina dan onta jantan
yang aku tusuk lehernya di awal musim dingin
.”
Dia menjawab, “Perbuatan ayahku itulah yang menyebabkan kami tidak memiliki apa pun.”

Dari an-Nisa` adz-Dzakiyyat, Qasim Asyur. (Izzudin Karimi)