Allah adalah pencipta seluruh manusia yang terdiri dari dua jenis: laki-laki dan perempuan, Dia lebih mengetahui tentang manusia dari pada manusia itu sendiri tentang dirinya karena Dia-lah penciptanya, akal sederhana berkata, pencipta sesuatu lebih mengetahui tentang sesuatu itu daripada selainnya. Berdasarkan pengetahuanNya ini Allah meletakkan aturan dan tatanan terbaik demi mengatur dan menata kehidupan manusia sehingga mereka meraih kehidupan terbaik pula.

Melihat perbedaan dasar penciptaan antara laki-laki dengan perempuan, maka Islam sebagai tatanan hidup terbaik yang berasal dari Allah memiliki sebuah prinsip mendudukkan manusia di tempat yang paling pantas dan patut baginya, laki-laki di tempat yang pantas dan patut baginya, perempuan di tempat yang pantas dan patut baginya, inilah keadilan yang mendasar yang tidak dimiliki oleh tatanan dan aturan mana pun di dunia ini.

Dalam perkara wanita, Islam sering dipojokkan dan didiskreditkan, dituding dan dituduh menzhalimi, menganiaya, memasung, menjajah dan menindas wanita, Islam acapkali dikonotasikan sebagai agama yang membuat wanita mundur dan terbelakang, tertindas dan terampas hak-haknya, terpinggirkan dan terisolir, Islam sering dipaksa duduk di kursi pesakitan dan pecundang sebagai terpidana atas pelanggaran terhadap HAWA (Hak Asasi Wanita), tidak sekali dua kali Islam dimeja-hijaukan dengan dakwaan telah berbuat asusila terhadap kaum hawa.

مَالَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وِلاَ لأَبَآئِهِمْ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُوْلُوْنَ إِلاَّ كَذِبًا .

“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Al-Kahfi: 5).

Benar, mereka memang tidak mempunyai pengetahuan tentang itu karena mereka emoh dan menolak melihat, mengkaji dan merenung dengan akal pikiran jernih dan hati yang bersih, akibatnya kata-kata buruklah yang meluncur dari mulut mereka, mereka berkicau kedustaan dan kepalsuan yang dibalut dan dibungkus dengan kedok dan topeng modernisasi, kemajuan dan pembebasan wanita.

Orang-orang jahil itu memang buta, siang bolong tetaplah gelap baginya. Mereka selalu menutup mata dan tidak berkenan menoleh walaupun dengan sebelah mata sekalipun bahwa wanita dalam Islam merasakan dan mengenyam kedudukan dan posisi yang paling bermartabat dan terhormat, bahwa wanita dalam Islam menikmati hidup sebagai saudara atau ibu atau anak atau sebagai muslimah dengan penuh ketenangan dan ketenteraman, bahwa wanita dalam Islam diperlakukan dengan perlakuan terbaik dan tersopan, dipenuhi hak-haknya dengan takaran yang proporsional.

وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الأَذْهَانِ شَيْءٌ
اِذَا احْتَاجَ النَّهَارُ اِلىَ دَلِيْلٍ

Tidak ada sesuatu yang shahih dalam benak
Jika siang perlu dibuktikan dengan argumentasi.

وَكَمْ عَائِبٍ قَوْلاً صَحِيْحًا
وَآفَتُهُ مِنَ الْفَهْمِ السَقِيْمِ

Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang shahih
Sementara kesalahannya terletak pada pemahamannya yang keliru

Sebelum penulis memaparkan dan menyuguhkan bukti-bukti valid lagi akurat yang memastikan kebenaran keterangan di atas, penulis ingin membawa dan mengajak pembaca mundur sedikit ke belakang, kepada masa sebelum Islam, masa pra Islam atau yang dikenal oleh para sejarahwan dengan masa jahiliyah, untuk menengok keadaan dan kondisi para wanita pada masa itu, hal ini berguna agar cakrawala berpikir pembaca terbuka dan terkuak meski sedikit, “Tidak mengenal Islam siapa yang tidak mengenal jahiliyah.” Begitu kata-kata hikmah berbunyi. Orang-orang Arab berkata, “Dengan lawannya sesuatu itu dibedakan.” Setelah itu penulis akan membiarkan pembaca mengambil kesimpulan dengan akal lurus dan hati jernih semoga Allah memberikan bimbinganNya ke jalan yang lurus.

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ .

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaaf: 37)

Janda wafat

Pada masa jahiliyah apabila seseorang meninggal dunia dan dia meninggalkan istri maka istri ini tidak akan pernah mendapatkan hak dari harta suaminya. Harta suami tersebut berada dalam kekuasaan keluarga suami tanpa boleh diganggu gugat. Mereka beralasan bahwa wanita tidak berperang melawan musuh, tidak mendapatkan harta rampasan perang dan tidak melindungi kehormatan keluarga.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, “Ketika ayat faraidh turun, di mana di dalamnya Allah memberikan bagian kepada anak laki-laki dan perempuan, bapak dan ibu, orang-orang atau sebagian dari mereka tidak menyukainya, mereka berkata, ‘Wanita diberi seperempat dan seperdelapan, anak perempuan diberi setengah dan anak kecil juga diberi bagian, padahal tidak seorang pun dari mereka yang berperang dan merebut harta rampasan perang. Diamlah, jangan membicarakan hal ini siapa tahu Rasulullah saw melupakannya, atau kita mengatakannya kepada Rasulullah saw sehingga beliau merubahnya’.”

Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Jabir berkata, istri Saad bin ar-Rabi’ datang kepada Rasulullah saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, ini adalah dua anak perempuan Saad bin ar-Rabi’, bapak mereka gugur bersamamu dalam perang Uhud sebagai syahid, paman mereka mengambil harta peninggalan bapak mereka tanpa menyisakan untuk mereka berdua, padahal keduanya tidak dinikahkan kecuali keduanya mempunyai harta.” Rasulullah saw menjawab, “Allah memutuskan perkara ini.” Jabir berkata, maka turunlah ayat warisan, maka Rasulullah saw bersabda kepada paman dua anak perempuan tersebut, “Berikan dua pertiga kepada dua anak perempuan Saad, seperdelapan kepada istrinya dan sisanya untukmu.”

Tidak sebatas dalam persoalan harta warisan di mana seorang wanita dirampok haknya, lebih dari itu, dalam perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri, seorang wanita tidak memiliki wewenang dan kuasa apapun atas dirinya sendiri, dia berada dalam dalam genggaman keluarga suami ibarat wayang dalam genggaman seorang dalang.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, “Jika seseorang dari mereka meninggal maka keluarga mayit lebih berhak terhadap istrinya, jika sebagian keluarga mayit berkenan maka dia menikahinya, jika mereka berkenan maka mereka menikahkannya dan jika mereka berkenan maka mereka tidak menikahkannya, mereka lebih berhak daripada keluarganya.”

Dari undang-undang ini lahir sebuah tatanan baru yaitu mewarisi janda bapak yang meninggal dunia dengan menikahinya, sebuah tatanan yang berseberangan dengan fitrah lurus dan tabiat bersih.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, “Orang-orang jahiliyah mengharamkan apa yang Allah haramkan kecuali janda bapak dan mengumpulkan dua saudara perempuan dalam satu pernikahan.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah berkata, “Ayat ini –yakni ayat 22 surat an-Nisa`- turun pada Abu Qais bin al-Aslat, dia menyambung pernikahan dengan Ummu Ubaidullah binti Shakhr yang sebelumnya menjadi istri Aslat bapaknya, pada al-Aswad bin Khalaf, dia menyambung pernikahan dengan Binti Abu Thalhah bin Abdul Uzza yang sebelumnya menjadi istri Khalaf bapaknya dan pada Fakhitah binti al-Aswad bin al-Mutthalib, dia adalah istri Umayyah bin Khalaf lalu diteruskan oleh Shafwan bin Umayyah.”

Dan firman Allah, “Terkecuali pada masa yang telah lampau.” (An-Nisa`: 22) menunjukkan adanya adat dan tradisi ini di sebagian kalangan dari mereka.

Ada lagi adat dan tradisi jahiliyah yang harus dilakoni dan dijalani oleh janda wafat, sebuah adat dan tradisi naif yang menyengsarakan dan menyusahkan wanita.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Zaenab binti Abu Salamah berkata, aku mendengar Ummu Salamah berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi saw dan berkata, ‘Ya Rasulullah, putriku ditinggal wafat suaminya, sementara dia sakit mata, apakah kita memberinya celak?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak.” Dua atau tiga kali. Semuanya dijawab oleh Nabi saw, “Tidak.” Kemudian Nabi saw bersabda, “Ia hanyalah empat bulan dan sepuluh hari, sementara di masa jahiliyah salah seorang dari kalian melempar kotoran hewan di awal tahun.” Humaid berkata, aku bertanya kepada Zaenab, “Apa maksud melempar kotoran di awal tahun?” Zaenab menjawab, “Apabila seorang wanita ditinggal wafat suaminya maka dia mengunci diri di ruangan sempit dan memakai pakaian terburuk, dia tidak menyentuh minyak wangi dan tidak pula lainnya sampai satu tahun berlalu kemudian dihadirkan seekor hewan – keledai atau domba atau burung – lalu dia mengusapkan kulitnya kepadanya tidak jarang dia mengusapkannya kepada sesuatu kecuali sesuatu itu mati, kemudian dia keluar lalu dia disodori kotoran hewan maka dia melemparkannya kemudian dia kembali memakai minyak wangi dan lainnya.”