Pariaman, Tim Al-Sofwa. ”Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah (ABS, SBK)”, inilah motto yang akan anda temui ketika anda berkunjung ke nagari minang. Menyebut kota Padang, Pariaman dan kota lainnya di Sumatera Barat akan segera tergambar di dalam benak tentang masyarakatnya yang islami. ABS SBK merupakan gambaran tentang kehidupan masyarakat yang taat menjalankan syari’at-syari’at Allah Ta’ala, masyarakat yang benar-benar menerapkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu maupun masyarakat. Namun demikian, Allah takdirkan negeri ini menjadi sasaran gempa yang begitu dahsyat dan telah menelan banyak korban jiwa. Apakah motto itu sesuai dengan kenyataan di masyarakat? Bukankah sebuah negeri yang menjalankan syari’at Allah Ta’ala secara benar akan menjadi negeri yang ”Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur” , negeri yang penuh dengan keberkahan dan rahmat Allah? Lalu ada apa dengan nagari minang?

Kabupaten Pariaman adalah daerah yang terparah tingkat kerusakannya akibat gempa. Oleh karena itulah Yayasan Al-Sofwa memusatkan penyaluran bantuan di sana. Ketika Tim Al-Sofwa akan memasuki Kota Pariaman, terpampang rambu lalu lintas penunjuk jalan ke arah makam Syaikh Burhanuddin di Ulakan, yang rupanya menjadi ikon wisata religi.

Ternyata tempat-tempat seperti ini jumlahnya sangat banyak di Pariaman, mulai dari makam tokoh-tokoh besar hingga makam tokoh-tokoh setingkat kampung atau nagari. Yang memilukan adalah hampir semua tempat tersebut dijadikan sarana untuk tempat bernadzar, menyembelih, meminta, bertabarruk dan berdoa kepada selain Allah. Bahkan tak tanggung-tanggung lagi, acara ziarah seperti itu dipimpin oleh ulama atau bahkan doktor lulusan perguruan tinggi Islam.

Apa yang terjadi di Pariaman ini sungguh bertolak belakang dengan apa yang kita bayangkan sebelumnya tentang negeri yang bersandar pada syari’at. Bahkan bila kita lebih dalam lagi menengok kehidupan keseharian masyarakat di Pariaman benar-benar sangat memilukan. Hampir setiap rumah makan yang kita temui, mereka menggantungkan jimat-jimat baik berupa bungkusan, rajah, ataupun foto copy salinan tujuh surat Al-Qur’an dilengkapi gambar seorang syaikh atau wali karamat yang semasa hidup dikatakan memiliki kesaktian, seperti Syaikh Shalaih Kiramatullah. Kesemua itu dianggap sebagai bentuk sarana untuk penglaris dagangan.

Selain itu masih adalagi adat kebiasaan masyarakat di sepanjang Padang hingga Pariaman, yaitu kebiasaan mendatangi dukun ketika sakit di mana sang dukun atau biasa dipanggil sebagai Tuanku akan menyembelih seekor ayam dan membedah ayam tersebut untuk mengetahui penyakit yang diderita pasien. Kewibawaan dukun ini di kalangan masyarakat pedesaan bahkan bisa melebihi seorang tokoh agama. Seorang da’i yang dianggap bertentangan dengan ”Tuanku” ini bisa diusir dari masyarakat dari tempat tinggalnya.

Belum cukup dengan tiga perbuatan kesyirikan di atas, di jalur Padang – Pariaman juga ada keyakinan seorang anak kecil akan selamat dari bala jika memakai kalung jimat berisi rajah dari seorang ”Tuanku”. Beberapa anak yang ditemui Tim Al-Sofwa juga memakai kalung-kalung serupa itu.

Sungguh sangat ironis, ternyata masyarakat Pariaman menjadi salah satu dari sekian banyak masyarakat indonesia yang kehidupannya sarat dengan kesyirikan, bid’ah dan khurafat serta berbagai bentuk pelanggaran syari’at lainnya. Kesemua itu benar-benar tersembunyi di balik kata-kata ” Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah”.

Realitas ini akan kita dapatkan dan kita lihat sendiri ketika datang ke tempat ini. Mungkinkah hal-hal tersebut sebagai faktor terbesar yang memicu kemurkaan Allah Ta’ala sehingga bencana datang memporak-porandakan nagari ini? Wallahu a’lam. (an/sd)