PARIS–Wanita pertama adalah seorang pengusaha yang mengelola perusahaan sendiri, kemudian wanita lainnya adalah ibu rumah tangga dan wanita ketiga adalah seorang janda yang membesarkan anak-anaknya seorang diri. Seperti halnya dua ribu wanita muslim yang terbiasa mengenakan penutup wajah dengan bebas di Prancis, kini kehidupan mereka akan segera berubah dan merasa khawatir.

Pada hari Rabu (19/5), Menteri Kehakiman Prancis, Michele Alliot-Marie mempresentasikan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang kerudung atau cadar seluruh wajah untuk umat muslim ke hadapan parlemen. Aturan formal pertama itu akan melarang pemakaian cadar di seluruh tempat publika di Prancis. Dengan denda sekitar 150 Euro bagi wanita yang sulit untuk menolak perintah pemakaian cadar tersebut.

Secara khusus, delik dalam RUU itu menyebutkan “tindakan menghasut untuk menyembunyikan wajah” dan siapapun yang terbukti memaksa seorang wanita untuk menggunakan sejenis cadar berisiko penjara selama satu tahun dan denda sebesar 15.000 Euro.

“Warga negara seharusnya menikmati suasana tanpa ada wajah yang tertutupi. Tak ada solusi lain, namun melarangnya di tempat publik,” ujar Presiden Prancis, Nicolas Sarkozy di hadapan sidang parlemen.

Sementara itu, pengajuan denda akibat pelanggaran itu akan diajukan ke parlemen pada bulan Juli, meskipun akan ada debat sengit namun hal tersebut hampir dipastikan akan menjadi UU. Sarkozy yang mengatakan cadar menekan wanita, ingin UU itu segera diresmikan.

“Jika UU itu disetujui, saya tidak akan melepas cadar saya. Tak ada yang bisa mendikte bagaimana saya menjalani hidup selain Tuhan,” ujar janda berusia 45 tahun, Najat. Dia adalah bagian dari enam orang wanita yang bersedia diwawancara mengenai kekhawatiran mereka akibat dari pemberlakuan UU tersebut.

Ketegangan Meningkat
Seperti wanita lain yang diwawancara, dia menolak memberikan nama lengkap. Mereka mengaku takut terhadap faktor keamanan seiring dengan meningkatnya ketengangan. Najat adalah sebagian yang mengatakan mengalami peningkatan perlakukan tak menyenangkan setelah perdebatan mengenai RUU itu yang dimulai sejak tahun lalu.

Amnesti Internasional meminta pembuat UU di Prancis untuk menolak pemberlakukan denda. Organisasi yang berbasis di London itu mengutip perkataan dari seorang Ahli mengenai diskriminasi di Eropa, John Halhuisen yang meyakini, pelarangan total akan melanggar hak atas kebebasan berekspresi dan beragama bagi wanita yang mengenakan cadar sebagai ekspresi dari identitas atau kepercayaan.

Sebuah kelompok anti-rasis di Prancis, MRAP yang menentang penggunaan cadar mengatakan, UU tersebut tak akan berguna dan berbahaya.

Sarkozy menerima usulan denda dan mengatakan langkah pemerintah untuk memulai “hanya sebagai pembuka jalan” dan mendesak parlemen untuk mengambil “tanggungjawab moral” dan menyetujuinya.

Kalimat terakhir dari RUU tersebut menulis, Prancis sebagai pendiri prinsip kesetaraan kebebasan dan persaudaraan tengah mempertaruhkan nilai-nilai yang menjamin “pakta sosial”.

Para wanita tersebut kemudian meminta perubahan RUU, mengklaim Prancis tengah mengkhianati diri sendiri.

“Kebebasan. Saya berada di Prancis, tanah kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Saya merasa tengah hidup didalamnya,” ujar Oum Al Khyr dari Montreuil di kawasan pinggiran timur Paris.

Setelah sampai di Parlemen dan menunggu proses selanjutnya termasuk penundaan serta perlawanan dari para wanita, artinya UU itu tak akan berlaku hingga awal tahun 2011.

Prancis telah melarang penggunaan penutup kepala serta berbagai simbol religius di kelas sejak tahun 2004.

Menolak Tegas
Najat yang memiliki ibu asal Prancis dan ayah dari Maroko mengatakan, dia sudah menutup wajahnya sejak 10 tahun yang lalu. “Saya tidak akan pergi di Prancis jika aturan cadar diberlakukan. Mengapa saya harus pergi?” ujarnya sambil melambaikan paspor Prancis.

Para wanita itu memperkirakan saudara-saudara wanita yang menggunakan penutup wajah serta yang memutuskan sendiri akan bersembunyi di rumah sehingga tak akan tertangkap. Sebagian lagi mengatakan, mereka akan membawa kasusnya ke Pengadilan hak asasi manusia di Eropa jika tertangkap.

“Dengan UU tersebut, mereka memberikan hak untuk orang lain menyerang kami,” ujar Kenza Drider dari kawasan utara Avignon yang menikah yang memiliki empat anak. Dia merupakan satu-satunya wanita dengan penutup wajah penuh yang diwawancara oleh sidang parlemen pada penyelidikan selama enam bulan.

“Untuk mengatakan pada seorang saudara, Anda tidak dapat menggunakan cadar sama dengan mengatakan Anda tidak dapat melakukan ibadah agama Anda,” ujar Oum Al Khyra.

Pemberlakuan denda itu kemudian menjadi isu “harga diri seseorang” dibandingkan isu keamanan yang tersebar luas. Tak jelas apakah hal itu membuatnya lebih rentan diserang secara konstitusional.

Enam orang wanita yang berbicara dengan reporter AP, Selasa (18/5) menyanggah argumen tersebut dengan mengatakan harga diri mereka tidak bisa didikte oleh negara. Mereka bukan perwakilan dari ancaman teroris dan sekularime seharusnya memberi mereka hak untuk mempraktikkan agama sesuai dengan pandangan masing-masing.

“Mereka mengatakan mereka akan membebaskan kami. Namun, negara memaksa kami terkukung. Kami akan menuntut atas perampasan,” ujar Drider.

Karima yang menjalankan perusahaan ekspor-impor mengatakan dia telah menggunakan penutup wajah semacam burka selama 16 tahun lebih yaitu setengah dari usianya. “Saya bahkan tidak tahu bagaimana membukanya,” ujar Karima. (AP/RS)