Adab-adab Pelajar dan Penghafal al-Qur’an

  1. Berdoa kepada Allah dengan tulus dan ikhlas agar berkenan memberinya pertolongan untuk menghafal al-Qur’an, dan hendaklah niatnya itu semata-mata mencari keridhaan Allah dalam amal dan ilmunya.
  2. Menghafal dan mengamalkan al-Qur`an itu hendaklah dapat menambah ketinggian dan keluhuran derajatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    إِنَّ اللّٰهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا ، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

    “Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) sebagian kaum dengan al-Qur’an ini, dan menjatuhkan (derajat) sebagian yang lainnya dengannya.” [1]

  3. Menghindari sebab-sebab yang dapat menyibukkan diri (lalai) dari usaha meraih kesempurnaan ilmu.
  4. Hendaklah berusaha menghafal dengan talaqqi (langsung bertemu guru ahli al-Qur’an).
  5. Mewaspadai masuknya rasa putus asa ke dalam hati karena lamanya masa menghafal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

    “Sesungguhnya ilmu itu hanya (dapat diraih) dengan belajar.” [2]

  6. Membaca tafsir dari ayat-ayat yang ingin dihafalnya.
  7. Menyusun waktu yang di dalamnya bisa memusatkan diri untuk membaca dan menghafal al-Qur’an.
  8. Hendaklah tetap menjaga (disiplin) membaca al-Qur’an dan memperbanyaknya; karena hafalan al-Qur’an itu lebih mudah lepas daripada unta dalam ikatannya, serta selalu menjaga jarak waktu untuk mengkhatamkannya.
  9. Membaca al-Qur’an secara tartil (perlahan-lahan). Allah Ta’ala berfirman,

    أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

    “Dan bacalah al-Qur`an itu dengan tartil (perlahan-lahan).” (Al-Muzzammil: 4).

    Apabila melewati ayat rahmat, maka hendaklah memohon karunia kepada Allah, dan sebaliknya apabila melewati ayat azab maka hendaklah berlindung kepada Allah darinya. Hendaklah menghadap kiblat dengan khusyu’, tenang dan penuh wibawa.

  10. Disunnahkan membaca al-Qur’an berdasarkan urutannya, dan bila melewati ayat yang di dalamnya ada sujud tilawah, maka disunnahkan baginya untuk bersujud, dan bila seseorang mengucapkan salam kepadanya ketika sedang membaca al-Qur’an, maka hendaklah dia menjawab salamnya, kemudian dia membaca isti’adzah (ta’awwudz) dan menyempurnakan bacaannya.
  11. Mendirikan shalat dengan membaca ayat yang dihafalnya dalam shalat sunnah malam hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    إِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ، وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ

    “Apabila penghafal al-Qur’an mendirikan shalat, lalu membacanya di malam dan siang hari, niscaya dia akan mengingatnya, dan apabila tidak mendirikan shalat dengan membacanya, niscaya dia akan melupakannya.” [3]

  12. Waspada terhadap perbuatan-perbuatan maksiat; karena di antara akibat buruknya adalah (gampang) lupa ilmu dan hafalan.
  13. Duduk bersimpuh di hadapan gurunya sebagaimana duduknya seorang pelajar, tidak mengeraskan suaranya dengan sangat keras tanpa ada suatu keperluan, tidak tertawa-tawa, tidak banyak berbicara, dan tidak menoleh ke kanan atau ke kiri tanpa ada kebutuhan.
  14. Tidak (memaksa) membaca al-Qur’an ketika guru sedang sibuk batinnya dan mengalami kejemuan, dan hendaklah menahan diri (bersabar) menghadapi sikap keras dan akhlak buruk gurunya; apabila gurunya bersikap keras terhadapnya, hendaklah dia lebih dahulu memulai minta maaf.
  15. Apabila datang ke majelis gurunya dan tidak mendapatkan gurunya, maka hendaklah dia (bersabar) menunggunya dan senantiasa berada di depan pintu (tempat biasa gurunya datang). Apabila mendapatkan gurunya sedang sibuk, hendaklah meminta izin kepadanya untuk menunggu.
  16. Tidak masuk ke dalam ruang gurunya tanpa meminta izin, kecuali apabila berada di tempat yang tidak dibutuhkan meminta izin, dan tidak mengganggu gurunya dengan banyak meminta izin.
  17. Hendaklah bersikap rendah hati (tawadhu’) dan penuh adab kepada gurunya, sekalipun usia gurunya lebih muda daripadanya.
  18. Hendaklah dia tetap semangat dan antusias dalam belajar, dan tidak merasa cukup dengan yang sedikit padahal dia sangat mungkin (sanggup) untuk mengemban yang lebih banyak. Juga tidak membebankan pada dirinya apa yang tidak dia sanggupi; karena khawatir akan mengakibatkan munculnya rasa bosan dan menyia-nyiakan sesuatu yang telah didapatkannya.
  19. Hendaklah bersikap rendah hati (tawadhu’) kepada orang-orang shalih, orang-orang baik, dan orang-orang miskin.
  20. Hendaklah para penghafal dan orang-orang mempelajari al-Qur’an dalam kondisi lahir dan batin yang paling baik, serta menghindarkan dirinya dari segala sesuatu yang dilarang oleh al-Qur’an.
  21. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

    يَنْبَغِي لِحَامِلِ الْقُرْآنِ أَنْ يُعْرَفَ بِلَيْلِهِ إِذِ النَّاسُ نَائِمُوْنَ، وَبِنَهَارِهِ إِذِ النَّاسُ مُفْطِرُوْنَ، وَبِحُزْنِهِ إِذِ النَّاسُ يَفْرَحُوْنَ، وَبِبُكَائِهِ إِذِ النَّاسُ يَضْحَكُوْنَ، وَبِصَمْتِهِ إِذِ النَّاسُ يَخْلِطُوْنَ، وَبِخُشُوْعِهِ إِذِ النَّاسُ يَخْتَالُوْنَ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ بَاكِيًا مَحْزُوْنًا حَكِيْمًا عَلِيْمًا سَكِيْنًا، وَلَا يَكُوْنَ جَافِيًا وَلَا غَافِلًا وَلَا صَاخِبًا وَلَا صَيَّاحًا وَلَا حَدِيْدًا

    “Hendaklah orang yang menghafal al-Qur’an itu dikenal (giat shalat sunnah) pada malam harinya ketika orang-orang tengah tertidur lelap, dikenal (giat berpuasa sunnah) di siang hari ketika orang-orang berbuka (tidak puasa), dikenal dengan (mudah) bersedih (karena merasa sedikit beramal kebaikan) ketika orang-orang tengah bergembira ria (karena tidak peduli), dikenal (mudah) me-nangis (karena takut akan azab Allah) ketika orang-orang tertawa, dikenal diam ketika orang-orang ngoceh mengacau, dan dikenal khusyu’ ketika orang-orang bersikap angkuh. Hendaklah penghafal al-Qur’an itu menjadi seorang yang banyak menangis, gampang bersedih (tersentuh hati), bijak, berilmu, tenang, dan (sebaliknya) janganlah dia menjadi seorang yang berperangai kasar, lalai, gaduh, berteriak-teriak, dan keras kepala.” [4]

  22. Memuliakan orang-orang yang ahli al-Qur’an, dan melarang untuk menyakiti mereka.

 

Keterangan:

[1] Diriwayatkan oleh Muslim.

[2] Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni. (Penerjemah menambahkan: hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq, dalam Bab al-Ilm Qabla al-Qaul wa al-Amal. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata ketika mensyarahnya, “Ini juga hadits yang marfu’ [kepada Nabi a] yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dan ath-Thabrani dari hadits Mu’awiyah…” lalu menyebutkan lafazh-nya secara utuh, kemudian al-Hafizh berkata, “dan isnadnya hasan, hanya saja di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak jelas, tetapi diperkuat oleh adanya jalan periwayatan lain. Al-Bazzar juga meriwayatkan hadits serupa dari Ibnu Mas’ud secara mauquf, tetapi al-Ashbahani meriwayatkannya secara marfu’. Dalam masalah ini juga ada hadits dari riwayat Abu ad-Darda` dan lainnya.” Demikian al-Hafizh. Dan hadits ini dihasankan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 342; dan Shahih al-Jami’, no. 2328).

[3] Diriwayatkan oleh Muslim, 6/76, dan as-Silsilah ash-Shahihah, no. 597.

[4] Al-Adab asy-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali (w. 763 H.), Np: Alam al-Kutub, t.th, 2/301.

 

Referensi:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan  VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)