Alhamdulillah.

Saudaraku, ketahuilah, sesungguhnya puasa itu memiliki banyak adab sebagai penyempurnanya. Adab-adab tersebut terbagi dua: adab-adab wajib yang harus diperhatikan dan dijaga oleh yang berpuasa, dan adab-adab sunnah yang selayaknya dikerjakan.

Melaksanakan Kewajiban

Di antara adab yang wajib adalah orang yang berpuasa juga harus melaksanakan berbagai ibadah lain yang telah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-wajibkan, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh yang paling penting adalah shalat wajib, di mana shalat merupakan rukun Islam yang paling mendasar setelah dua kalimat syahadat. Ia wajib diperhatikan dengan menjaga rukun, kewajiban, syarat, dan waktu pelaksanaannya di masjid secara berjama’ah. Ini merupakan bagian dari ketakwaan yang juga menjadi alasan diwajibkannya puasa atas umat ini. Menyia-nyiakan shalat akan meniadakan ketakwaan dan menyebabkan terjadinya hukuman.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا . إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا  

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka itu akan masuk Surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (Maryam: 59-60).

Ada orang yang berpuasa tetapi meremehkan shalat berjama’ah, padahal hal itu merupakan kewajibannya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah memerintahkan hal itu dalam Kitab-Nya,

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (Sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata…” (Qs. an-Nisa : 102).

Apabila Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah memerintahkan pelaksanaan shalat berjama’ah dalam kondisi peperangan dan ketakutan, maka pada saat tentram tentu lebih ditekankan.

Disebutkan dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata,

أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ »

Ada seorang lelaki buta datang kepada Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَlalu ia mengatakan, ‘Ya Rasulullah, aku tidak mempunyai penuntun yang membimbingku ke masjid.’ Beliau lalu memberinya keringanan untuk tidak menghadiri shalat berjama’ah. Namun, tatkala dia hendak pergi, Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَmemanggilnya kembali, lalu bertanya, ‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka penuhilah panggilan tersebut.” (HR. Muslim, no. 653)

Lihatlah, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak memberi keringanan terhadap lelaki tadi, padahal dia adalah orang buta yang tidak mempunyai penuntun.

Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah telah menyia-nyiakan suatu kewajiban sekaligus menghalangi dirinya sendiri dari kebaikan yang banyak, berupa berlipat gandanya kebaikan.

Disebutkan dalam ash-Shahihain, dari Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjama’ah itu lebih afdhal dari shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR. al-Bukhori, no. 645 dan Muslim, no. 650).

Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah, berarti ia juga memposisikan dirinya untuk siap menerima hukuman sekaligus meniru tingkah laku orang munafik.

Disebutkan dalam shahih Muslim, dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيُصَلِّىَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِى بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

“Sesungguhnya shalat yang paling berat dikerjakan oleh orang-orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Seandainya mereka mengetahui apa yang ada di dalam keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. Aku benar-benar menginginkan agar shalat didirikan, lantas kuperintahkan seseorang untuk mengimami shalat tadi, lalu aku bersama sejumlah pria yang membawa beberapa ikat kayu bakar pergi ke tempat orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah tersebut, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Muslim. no. 651)

Disebutkan dalam shahih Muslim, dari Ibnu Mas’ud -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata, “Barang siapa yang kelak ingin berjumpa dengan Allah dalam keadaan sebagai Muslim, maka hendaklah ia menjaga shalatnya di tempat berkumandangnya adzan. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan berbagai sunnah yang menjadi petunjuk, di antaranya adalah perkara tadi. Aku melihat bahwa tidak ada yang tertinggal dari shalat jama’ah melainkan orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Dahulu, ada seorang lelaki yang dipapah ke masjid, kemudian diapit oleh dua orang agar dapat berdiri di dalam shaf.”

Ada juga orang yang benar-benar melampaui batas di dalam masalah shalat, sampai-sampai dia shalat di luar waktu yang ditentukan disebabkan tidurnya. Ini adalah suatu kemungkaran yang teramat besar dan benar-benar merupakan sikap menyia-nyiakan shalat. Sebagian ulama berkata, “Barang siapa yang mengakhirkan shalat di luar waktunya tanpa ada udzur syar’i, maka shalatnya tersebut tidak diterima meskipun ia melakukannya sebanyak seratus kali, karena Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718).

Shalat yang dikerjakan di luar waktu yang ditentukan itu tidak sesuai dengan perintah Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Oleh karena itu, shalatnya tertolak dan tidak diterima.

Menjauhi Perkara yang Diharamkan

1. Dusta

Di antara adab-adab yang wajib dilakukan orang yang berpuasa yaitu harus menjauhi seluruh perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya, dia tidak boleh berdusta. Dan yang dimaksud dengan dusta adalah memberikan kabar yang tidak sesuai dengan realita. Perbuatan dusta yang paling besar adalah dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, seperti menisbahkan halal atau haramnya suatu perkara kepada Allah atau Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tanpa ilmu.

Allah -سٌبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ . مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.” (an-Nahl: 116-117).

Disebutkan dalam ash-Shahihain dan lainnya, dari Abu Hurairah serta sejumlah Sahabat, bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

‘Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.” (HR. al-Bukhari, no. 1291 dan Muslim, no. 3).

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga secara umum telah memberi peringatan untuk berhati-hati dari dusta, beliau bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Dan berhati-hatilah kalian dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu mengarah kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan ini mengarah kepada Neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan membiasakannya sehingga ia tercatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (Muttafaq ‘Alaih).

2. Ghibah

Orang yang berpuasa juga wajib menjauhi ghibah, yaitu menyebutkan sesuatu yang tidak disukai dari saudaranya tanpa sepengetahuannya, baik itu memang benar atau pun tidak, dan baik itu berkaitan dengan bentuk fisiknya dalam rangka untuk menyebarkan aib atau menghinanya, seperti pincang, juling, dan buta, ataupun berkaitan dengan tingkah lakunya, seperti dungu, bodoh, fasik, dan lain sebagainya. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah bertanya kepada para sahabatnya,

 أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Tahukah kalian apa itu gibah? Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “(Ghibah itu adalah) engkau menyebut saudaramu dengan perkara yang tidak disukainya.“ Ada yang bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika perkataanku tadi memang benar-benar terdapat pada diri saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika perkataanmu itu memang benar-benar terdapat dalam diri saudaramu maka engkau telah berbuat ghibah kepadanya, dan jika tidak, maka engkau telah mengadakan kedustaan tentang dirinya.” (HR. Muslim, no. 2589).

Larangan tentang ghibah juga telah disebutkan dalam al-Qur’an. Sampai-sampai Allah menyerupakan perbuatan tersebut dengan gambaran yang palingan buruk, yaitu seperti seseorang yang memakan daging saudaranya yang telah menjadi bangkai.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujurat: 12).

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga mengabarkan bahwa ketika beliau naik ke langit (pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj), beliau melalui sekelompok orang yang mempunyai kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakari wajah dan dada mereka dengan kuku tersebut. Beliau bertanya,

مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِى أَعْرَاضِهِمْ

Siapakah mereka wahai Jibril? Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (berbuat ghibah) dan menodai kehormatan mereka.” (HR. Abu Dawud).

 

3. Namimah

Orang yang berpuasa juga wajib menjauhi namimah, yaitu menukil perkataan seseorang tentang orang lain untuk merusak hubungan baik di antara keduanya. Perbuatan ini termasuk dalam kategori dosa besar.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

“Orang yang sering melakukan namimah tidak akan masuk Surga. (Muttafaq ‘Alaih).

Di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ia berkata, “Suatu ketika Nabi berjalan melewati dua kuburan lalu bersabda, ‘Kedua penghuni kuburan ini sedang diadzab, dan mereka berdua diadzab dengan sebab dua perkara: yang pertama menerima adzab dengan sebab tidak bersuci setelah buang air kecil, dan yang kedua dengan sebab melakukan namimah.” (HR. al-Bukhari, no. 6052 dan Muslim, no. 292).

Namimah adalah kehancuran bagi individu dan masyarakat, memecah belah kaum muslimin, serta menanamkan rasa permusuhan di antara mereka.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ  .هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ  

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari mengumbar fitnah.” (al-Qalam: 10-11).

Ingatlah, barang siapa menceritakan perkataan jelek mengenai orang lain kepadamu, maka ia juga akan menceritakan perkataanmu kepada orang lain, maka berhati-hatilah.

4. Tipu Daya dalam Muamalah

Pelaku puasa juga wajib menjauhi tipu daya dalam seluruh mu’amalah, baik itu di dalam jual beli, sewa-meyewa, kerajinan tangan, pegadaian, ataupun selainnya.

Perbuatan ini termasuk dosa besar, di mana Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – telah berlepas diri dari pelakunya. Beliau bersabda,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan kami.

Dan dalam lafazh yang lain,

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى

“Barangsiapa yang menipu maka ia tidak termasuk dari golonganku. (HR. Muslim, no. 102).

Tipu daya itu akan menghilangkan amanah dan kepercayaan manusia. Dan setiap penghasilan yang didapat dari tipu daya adalah penghasilan yang haram dan kotor, tidak akan menambah pemiliknya kecuali hanya semakin jauh dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

5. Alat Musik

Berikutnya, pelaku puasa juga wajib untuk menjauhi segala bentuk dan jenis alat musik yang menjerumuskan seseorang itu dalam kelalaian, baik itu berupa kecapi, rebab, gitar, biola, piano, dan sebagainya. Itu semua adalah haram. Dosa dan keharamannya akan bertambah jika diiringi nyanyian pembangkit hawa nafsu yang dilagukan dengan suara yang indah.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.“ (Luqman: 6).

Telah shahih dari Ibnu Mas’ud -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, ketika beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab, “Demi Allah, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan hanya Dia, hal itu adalah nyanyian.”

Hal yang serupa juga diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ dan Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. Ibnu Katsir -رَحِمَهُ اللهُ– menukilkan hal yang sama dari Jabir, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, dan Mujahid.

Al-Hasan berkata, “Ayat ini diturunkan untuk masalah nyanyian dan seruling (alat musik).”

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – telah memberi peringatan untuk berhati-hati dari alat-alat musik dan beliau menyertakan penyebutannya bersama zina. Beliau bersabda,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Akan datang beberapa golongan dari ummatku yang menghalalkan zina, sutra, khamer, dan alat-alat musik. (HR. al-Bukhari, no. 5590).

Kata al-Hir artinya adalah kemaluan, maksudnya adalah zina. Dan makna ‘menghalalkannya’ adalah melakukannya tanpa peduli, seperti layaknya orang yang menghalalkan. Hal ini telah terjadi di zaman kita ini, ada sebagian orang memainkan alat musik atau mendengarkannya seolah-olah itu adalah perkara yang halal. Musuh-musuh Islam telah berhasil dalam hal ini, mereka melakukan tipu daya kepada kaum Muslimin untuk mencegah mereka dari berdzikir kepada Allah serta berbagai pekerjaan lainnya, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Banyak kaum Muslimin yang lebih senang mendengarkan musik dibandingkan mendengarkan al-Qur’an, hadis, dan perkataan ahli ilmu, yang mengandung penjelasan hukum-hukum syariat sekaligus berbagai hikmahnya.

Wahai kaum Muslimin, berhati-hatilah kalian dari perkara yang membatalkan atau mengurangi (pahala) puasa. Jagalah ia dari perbuatan serta perkataan yang keji dan dusta. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan pengamalannya, serta kejahilan, maka Allah tidak membutuhkan amalannya dalam meninggalkan makan dan minum (puasa).” (HR. al-Bukhari, no. 1903).

Jabir -رَضِيَ اللهُ عَنْهُberkata, “Jika engkau berpuasa, maka hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu juga berpuasa dari dusta serta perkara-perkara yang diharamkan. Janganlah menyakiti tetangga, dan hendaklah engkau terhiasi dengan kewibawaan dan ketenangan. Jangan sampai hari puasamu sama dengan hari di mana engkau tidak berpuasa.”

Ya Allah, jagalah agama kami, cegahlah anggota-anggota tubuh kami dari perakara yang membuat Engkau murka, ampunilah dosa kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Mahapenyayang di antara para penyayang.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya. Amin. Wallahu A’lam. (Redaksi)

Sumber :

Majalis Syahri Ramadhan, al-Majlis al-‘Asyir: Fi Adabi ash-Shiyam al-Wajibah,  Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 67-73.