Anjuran Untuk Mendengar Hadits, Menyampaikan Dan Menulisnya Dan Ancaman Dari Berdusta Atas Nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

 

(89) – 1 : Hasan Lighairihi

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نَضَّرَ اللّٰهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

“Semoga Allah memuliakan (mengangkat derajat) seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu dia menyampaikannya seperti yang didengarnya, berapa banyak orang yang disampaikan lebih mengerti dari-pada pendengar (pertama).”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud[1] , at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya, hanya saja dia berkata,

رَحِمَ اللّٰهُ امْرَأً   

“Semoga Allah merahmati seseorang.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”

Ucapannya (نَضَّرَ) dengan dhad dibaca tasydid dan boleh tanpa tasydid, begitu yang dikatakan oleh al-Khaththabi. Maknanya adalah doa agar dia memperoleh “nadharah” yang berarti kenikmatan, keindahan dan kebaikan. Jadi maknanya adalah, semoga Allah menghiasinya dan menjadikannya indah. Ada pula yang mengatakan lain.

(90) – 2 : Shahih

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نَضَّرَ اللّٰهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَبَلَّغَهُ غَيْرَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ، ثَلَاثٌ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ. وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا نِيَّتَهُ، فَرَّقَ اللّٰهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ، جَمَعَ اللّٰهُ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

“Semoga Allah memuliakan seseorang yang mendengarkan suatu hadits dari kami lalu dia menyampaikannya kepada orang lain. Berapa banyak pembawa fikih yang membawanya kepada orang yang lebih fakih darinya dan berapa banyak pembawa fikih yang sama sekali tidak fakih. Ada tiga perkara yang mana hati seorang Muslim tidak akan dihinggapi dengki karenanya: Mengikhlaskan amal karena Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin, dan berpegang teguh (bersama) jamaah karena doa mereka mengelilingi dari belakang mereka. Barangsiapa niatnya adalah dunia, maka Allah akan menceraiberaikan perkaranya, menjadikan kemiskinannya di antara kedua matanya, dan dunia tidak mendatanginya kecuali apa yang telah dituliskan untuknya. Barangsiapa niatnya adalah akhirat, maka Allah akan menyatukan perkaranya, menjadikan kekayaannya di dalam hatinya, dan dunia mendatanginya walaupun ia membenci.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan al-Baihaqi dengan lafazh yang sebagian didahulukan dan ada yang diakhirkan.

Permulaan hadits ini sampai ucapannya, “tidak fakih“, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dia menghasankannya, an-Nasa`i dan Ibnu Majah dengan tambahan atas keduanya.

(91) – 3 : Shahih Lighairihi

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah pada kami di Masjid Khaif di Mina, beliau bersabda,

نَضَّرَ اللّٰهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا، ثُمَّ ذَهَبَ بِهَا إِلَى مَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

‘Semoga Allah memuliakan seseorang yang mendengar ucapanku lalu dia menghafalnya dan memahaminya, lalu dia membawanya kepada orang yang tidak mendengarnya; berapa banyak pembawa fikih yang tidak paham (ilmu fikih) dan berapa banyak pembawa fikih yang membawanya kepada orang yang lebih paham (ilmu fikih) darinya’.” Al-Hadits.

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath.

(92) – 4 : Shahih Lighairihi

Dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di masjid Khaif di Mina,

نَضَّرَ اللّٰهُ عَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا، وَبَلَّغَهَا مَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَا فِقْهَ لَهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، ثَلَاثٌ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُؤْمِنٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِهِٰلِ، وَالنَّصِيْحَةُ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تَحُوْطُ مَنْ وَرَاءَهُمْ

“Semoga Allah memuliakan seorang hamba yang mendengar ucapanku lalu dia menghafalnya, memahaminya dan menyampaikannya kepada orang yang tidak mendengarnya; berapa banyak pembawa fikih yang tidak memiliki fikih, dan berapa banyak pembawa fikih yang membawanya kepada orang yang lebih fakih darinya. Ada tiga perkara yang mana hati seorang Muslim tidak akan dihinggapi dengki karenanya: Mengikhlaskan amal untuk Allah, memberi nasihat kepada para imam kaum Muslimin dan berpegang teguh (bersama) jamaah mereka, karena doa mereka meliputi orang yang berada di belakang mereka.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir secara ringkas dan panjang, hanya saja dia berkata, “تُحِيْطُ”  dengan ya’ setelah ha’[2], mereka semua meriwayatkannya dari Muhammad bin Ishaq dari Abdussalam[3]  dari az-Zuhri dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya.

Hadits ini di Ahmad memiliki jalan periwayatan lain dari Shalih bin Kaisan dari az-Zuhri dan sanad ini adalah hasan.

(93) – 5 : Shahih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila anak cucu Adam mati, maka amalnya terputus kecuali dari tiga: Sedekah jariyah atau ilmu yang dapat diambil manfaatnya, atau anak shalih yang mendoakannya.”

Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya.

Hadits ini telah disebutkan, begitu pula hadits-hadits yang semakna dengannya, dan hadits-hadits seperti ini akan hadir dalam bab Anjuran Menyebarkan Ilmu dan lain-lainnya, insyaallah.

Al-Hafizh berkata, “Orang yang menulis ilmu yang berguna, dia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang membacanya atau menulisnya atau mengamalkannya sesudahnya selama tulisannya masih ada dan ia diamalkan berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits sepertinya. Orang yang menulis ilmu yang tidak berguna yang mendatangkan dosa, dia memikul dosanya dan dosa orang yang membacanya atau menulisnya atau mengamalkannya sesudahnya, selama tulisannya masih ada dan ia diamalkan berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu, “Barangsiapa memulai sunnah yang baik… atau sunnah yang buruk…” Wallahu a’lam.

(94) – 6 : Shahih

Darinya berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka hendaknya dia memilih tempat duduknya di neraka.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lain-lain.

Hadits ini telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat dalam kitab-kitab shahih, Sunan, Musnad, dan lain-lainnya sehingga ia mencapai derajat mutawatir. Wallahu a’lam.

(95) – 7 : Shahih

Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْن

“Barangsiapa menyampaikan suatu hadits dariku yang diduga[4]  bahwa ia adalah dusta, maka dia adalah salah seorang pendusta.” [5] 

Diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain.

(96) – 8 : Shahih

Dari al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas salah seorang (dari kalian). Barangsiapa berdusta atas namaku, maka hendaknya dia memilih tempat duduknya di neraka.”

Diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain. [6]

 

Referensi:

SHAHIH AT-TARGHIB WA AT-TARHIB (1) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran & Janji Pahala, Ancaman & Dosa, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani; Darul Haq, Jakarta, Cet. V, Dzulhijjah 1436 H. / Oktober 2015 M.

 

Keterangan:

[1]     Saya berkata, “Menyebutkan Abu Dawud di sini adalah kekeliruan, sebab dia tidak meriwayatkannya dari hadits Ibnu Mas’ud, tetapi dari hadits Zaid bin Tsabit yang berikutnya.”

[2]     Saya berkata, “Pengecualian ini tidak berdasar. Hadits ini dalam al-Mu’jam al-Kabir milik ath-Thabrani, 1/77/41 dan no.1541 cetakan saudara kami Hamdi as-Salafi dengan rangkaian yang disebutkan oleh penulis, dan di dalamnya terdapat lafazh kedua, “تُحِيْطُ”, dan itu ia adalah lafazh Ibnu Majah, no. 3056 dan lainnya yang tidak disebutkan oleh penulis. Adapun lafazh pertama: “تَحُوْطُ “, maka aku tidak melihatnya. Dan dalam Manuskrip (Makhthuthah) perpustakaan azh-Zhahiriyah tertulis “تَحْفَظُ “, dan maknanya sama. Lafazh Ahmad adalah, فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ مِنْ وَرَائِهِ “Karena doa mereka berada di belakangnya,” dan itu riwayat lain milik ath-Thabrani. Kalau memang rangkaian redaksi hadits ini adalah miliknya, maka sebaiknya penulis memberi isyarat kepadanya, lebih-lebih pengecualiannya di atas bisa dipahami oleh pembaca bahwa rangkaian redaksi itu bukan miliknya. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh al-Haitsami adalah baik manakala dia mengisyaratkan itu dengan ucapannya 1/139, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ahmad.” Lalu dia mendahulukan siapa yang semestinya disebutkan terakhir untuk memberi isyarat kepada apa yang kami sebutkan.

[3]     Dalam sanad Ahmad tidak terdapat Abdussalam -yaitu bin Abul Janub- dan ia adalah riwayat ath-Thabrani ini, akan tetapi saya menetapkannya dalam riwayat yang lain miliknya no. 1542.

[4]     An-Naji, hal. 20 berkata, “يُرَى”, dengan ya` dibaca dhammah, sebagian dari mereka membolehkan membacanya fathah maknanya, menduga.

[5]     Dengan kata jamak (اَلْكَاذِبِيْنَ). Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Mustakhraj ala Shahih Muslim dari riwayat Samurah dengan lafazh (اَلْكَاذِبَيْنِ) dengan shighat mutsanna (bentuk dua). Kemudian dia meriwayatkan dari riwayat al-Mughirah dengan (اَلْكَاذِبَيْنِ) atau (اَلْكَاذِبِيْنَ) dengan keraguan pada keduanya.

[6]     Saya berkata, “Ini adalah kekurangan karena ia diriwayatkan oleh al-Bukhari juga. Padanya terdapat ungkapan yang berisi, “Niyahah (meratapi orang mati)”. Dia menyebutkannya dalam Kitab al-Jana’iz, juga dalam Shahih Muslim di tempat lain, ia disebutkan oleh penulis di akhir kitab dan dia menisbatkannya kepada asy-Syaikhain.”