Apakah Hati Kita Sehat ?

Kondisi ‘sehat’, merupakan sesuatu yang pasti diharapkan setiap orang. Mengapa? Karena, itu adalah nikmat yang agung. Dengannya, banyak hal menjadi semakin terasa nikmat. Makan-minum, terasa sedemikian nikmat kala diri kita dalam kondisi sehat. Berbeda ketika sakit, terlebih bila sakit kita tersebut berhubungan dengan sarana yang secara langsung menjadi tempat masuknya makan dan minuman ke dalam tubuh kita, yaitu mulut. Misalnya saja, indra pengecap pada mulut kita, yaitu lidah kehilangan rasa, tidak bisa merasakan rasa-rasa yang berbeda-beda, rasa manis, rasa pahit, rasa asin, rasa asam, rasa pedas dan rasa umami (gurih). Tentunya, hal ini akan mengurangi rasa nikmat makanan dan minuman yang kita masukkan ke dalam tubuh kita, meskipun dahaga itu hilang dan perut kita terasa kenyang. Karena itulah, setiap kita tentunya tidak menginginkan tubuhnya sakit. Setiap kita menginginkan kondisi tubuhnya sehat selalu.

 

Hati yang Sehat adalah Nikmat

Jika kondisi tubuh yang sehat, merupakan nikmat yang agung, denganya banyak hal menjadi semakin terasa nikmat, maka begitu pula halnya dengan hati yang sehat. Pemiliknya akan mendapatkan banyak kebaikan dalam kehidupannya di dunia ini. Kenikmatan yang ia dapatkan niscaya akan semakin terasa nikmat. Bahkan, musibah keburukan yang menimpanya pun boleh jadi menjadi sebuah nikmat meskipun di awalnya terasa berat. Kata Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal darah, apabila ia baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila ia rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan, dalam kehidupan berikutnya setelah ia meninggalkan kehidupan dunianya, ia pun bakal mendapatkan kebaikan yang banyak pula. Ia bakal mendapatkan nikmat yang berlipat-lipat.

Allah -عَزَّ وَجَلَّ- berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ . إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim.” (Qs. asy-Syu’ara: 88-89).

Sa’id bin al-Musayyib –semoga Allah meridhainya- berkata, “Hati yang salim, yaitu hati yang sehat, dan itulah hati orang yang beriman….” (Ma’alim at-Tanzil, 6/119). Bukankah Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman, pemilik hati yang sehat  itu beragam bentuk kebaikan dan kenikmatan itu di akhirat dalam firman-Nya,

وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan (akan mendapat) Surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus si Surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (Qs. At-Taubah: 72).

Yakni, Allah menjanjikan orang-orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (baik laki-laki maupun perempuan) Surga, mengalir di bawah istana-istana dan pohon-pohonnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya, dan mendapatkan kenikmatan yang tidak akan putus. Mereka akan memiliki tempat tinggal yang bagus dan kediaman yang baik di dalam Surga. Namun yang lebih besar dari semua kenikmatan itu adalah mereka mendapat keridhaan Allah. Janji Allah dengan memberikan pahala di akhirat ini adalah keberuntungan yang sangat besar. (at-Tafsir al-Muyassar, 3/314).

 

Tanda-tanda Hati yang Sehat

Apakah hati kita sehat?, sebuah pertanya yang boleh jadi kita tidak dapat menjawabnya karena ketidaktahuan kita tentang kondisi hati kita sejatinya, apakah hati kita sehat ataukah justru hati kita sakit. Namun, demikian barangkali kita bisa mendeteksinya dengan mengenali tanda-tandanya. Di antara tanda hati yang sehat adalah:

Pertama, Banyak berdzikir kepada Allah –عَزَّ وَجَلَّ- dalam setiap kedipan mata.

Karena hati, seperti yang dikatakan, “seperti wadah, dan lidah adalah gayungnya”. Maka lisan mengeluarkan apa yang ada di dalam hati, baik manis maupun pahit. Apabila hati sehat dipenuhi oleh rasa cinta kepada Rabbnya, lisan pasti akan tergerak untuk berdzikir. Namun apabila hati sakit dipenuhi oleh perkara lainnya, berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan, maka lisan akan tergerak untuk ghibah, namimah (mengadu domba), mengucapkan perkataan keji dan kotor, dan lain sebagainya.

Kedua, Senantiasa berdetak mengingatkan pemiliknya, hingga ia menyerahkan diri kepada Allah -عَزَّ وَجَلَّ- dan terikat dengan-Nya, dengan keterikatan seorang pecinta yang tergantung dengan kekasihnya, yang tidak ada kehidupan baginya, tidak ada kenyamanan, dan tidak ada kebahagiaan kecuali dengan ridha-Nya, kedekatan dengan-Nya dan kelembutan dari-Nya. Hanya dengan-Nya ia merasa tentram, kepada-Nya ia merasa tenang, kepada-Nya ia berlindung, dengan-Nya ia bahagia, kepada-Nya ia tawakkal, kepada-Nya ia percaya, hanya kepada-Nya ia berharap, dan dari-Nya ia merasa takut.

Ketiga, Jasadnya akan mengikuti dalam ketaatan, dan hati ini tidak pernah merasa bosan.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah melakukan shalat hingga kedua kakinya bengkak, kemudian Rasul ditanya mengenai hal itu, dan beliau menjawab :

أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur.” (HR. Al-Bukhari).

Seakan-akan hati beliau yang sehat dan bersih itu tidak bosan untuk melakukan ketaatan tersebut.

Ibnu Mas’ud -semoga Allah meridhainya- berkata kepada serorang lelaki, “Obatilah hatimu, karena kepentingan Allah terhadap hamba-hamba-Nya adalah kebaikan hati mereka.” Yakni, hal yang dikehendaki Allah dan diminta dari mereka. Kebaikan hati adalah ketika hati dipenuhi oleh rasa cinta kepada Rabb -عَزَّ وَجَلَّ-. Barangsiapa yang mencintai Allah -عَزَّ وَجَلَّ-, ia akan merasa cinta berkhidmat kepada-Nya, serta menjadi makanan hatinya dan jiwanya. Sebagaimana diungkapkan:

وَكُنْ لِرَبِّكَ ذَا حُبٍّ لِتَخْدِمَهُ      إِنَّ الْمُحِبِّيْنَ لِلْأَحْبَابِ خُدَّامُ

Jadilah pecinta Rabbmu untuk melayani-Nya

Sungguh orang yang mencintai adalah pelayan bagi yang dicintainya.

Ibnul Mubarak –semoga Allah merahmatinya-mengatakan :

تَعْصِي الْإِلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ      هَذَا لَعَمَرِي فِي الْقِيَاسِ بَدِيْعُ

لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ            إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ

Engkau durhaka kepada Rabbmu, tapi engkau mengira mencintai-Nya

Sungguh ini adalah qiyas yang menakjubkan

Kalaulah cintamu benar, niscaya engkau akan mentaati-Nya

Sesungguhnya pecinta akan mentaati yang dicintainya.

Keempat, Merasakan rindu untuk melayani (Allah) melebihi kerinduan orang yang lapar terhadap makanan dan minuman.

Karena seorang hamba apabila sudah merasakan manisnya bermuamalah dengan Allah, dengan terus menerus berada dalam ketaatan, akan mencintai ketaatan. Kemudian tidak akan pernah merasa cukup dengannya walaupun sebentar saja. Apabila dia mendapati dirinya terhenti (dari khidmat) dalam perkara selain ketaatan pada Allah, dadanya menjadi sesak, lalu mendapatkan dorongan dari dalam dirinya yang mendorongnya menuju ketaatan kepada Allah. Seperti nasehat seorang wanita shalihah dari kalangan salaf kepada anak-anaknya, ia berkata kepada mereka:

“Kembalilah kalian pada cinta kepada Allah dan taat kepada-Nya, karena orang-orang bertakwa terbiasa dengan ketaatan, mereka akan merasa kesepian tanpanya. Apabila orang-orang yang terkutuk menyodorkan kemaksiatan kepada mereka, kemaksiatan itu akan lewat di hadapan mereka dengan rasa malu, karena mereka mengingkarinya.”

Kelima, Apabila ia memulai shalatnya, maka hilanglah kegelisahan dan kesedihannya karena dunia, ia menemukan ketenangan dan kenyamanan di dalam shalatnya. Seperti yang disabdakan Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – :

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

“Dan dijadikan penyejuk hatiku ada dalam shalat.” (HR. an-Nasai dan Ahmad).

KeenamDia menjadi orang yang pelit dengan waktunya apabila digunakan diluar ketaatan kepada Allah, melebihi pelitnya orang yang paling pelit dengan hartanya. Karena harta seorang hamba adalah waktunya. Setiap helaan nafas dari umurnya adalah permata yang sangat berharga. Ia sadar bahwa dirinya bakal dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah -عَزَّ وَجَلَّ-, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bersabda,

لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اِكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan kemana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (HR Tirmidzi dan ad Darimi).

Maka hati yang sehat adalah hati yang membenarkan sabda Rasul ini dan menerimanya dengan penerimaan yang baik, ia tidak akan meluangkan sisa umurnya, waktu-waktu dan helaan nafasnya kecuali untuk ketaatan kepada-Nya. Dia akan pelit dengan sisa umurnya, waktu dan helaan nafasnya untuk digunakan dalam hal selain ketaatan kepada Allah. Dalam hal ini ia lebih pelit dari orang yang paling pelit dengan hartanya.

Ketujuh, Perhatiannya dalam memperbaiki amal lebih besar dari perhatiannya terhadap amal itu sendiri, karena ibrah tidak terletak pada banyaknya amal, akan tetapi ibrah terletak pada baiknya amal dan menjaganya dari perkara yang meruntuhkannya. Maka, dia akan menekuni untuk ikhlas dan mengikuti sunnah dalam setiap amal. Ia menyaksikan pertolongan Allah kepadanya dalam hal itu dan dalam kekuranganya dalam melaksanakan kewajiban terhadap Rabbnya, kemudian dia tidak mengungkit-ngungkit amalnya di hadapan Rabbnya atau di hadapan manusia, atau menimpakan pada amal tersebut ujub atau takabur, atau hal lain yang menjadikan amal-amal yang nampak di hadapan manusia menjadi lebih dekat kepada keburukan daripada kebaikan. (Semoga Allah melindungi kita dari hal yang seperti itu).

Kedelapan, Apabila terlewatkan dari melakuan sebuah ketaatan, akan merasa rugi karenanya melebihi perasaan rugi orang yang tamak apabila kehilangan hartanya. Mengapa merasa rugi? Karena dia mengetahui bahwa itu merupakan sebuah kerugian di Akhirat, maka ia merasakan sakit karena kehilangan kebaikan padanya. Dia juga mengetahui bahwa kerugian di dunia apabila dibandingkan dengan kerugian di Akhirat, tidak ada apa-apanya. Karena harta dan kebahagiaan di dunia, cepat atau lambat akan hilang, namun apa yang terdapat di sisi Allah -عَزَّ وَجَلَّ -tidak akan pernah hilang ataupun musnah. Sebagaimana firman-Nya,

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (Qs. an-Nahl: 96).

Kesembilan, Seorang hamba menjadikan perhatiannya hanya satu, yaitu pada Allah, yakni pada ketaatan kepada-Nya. Dan yang menggerakkan seorang hamba dari dalam dirinya adalah kecintaan kepada Allah dan harapan dapat memandang wajah-Nya yang Maha Mulia. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,

وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى . إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى

“Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Rabbnya Yang Maha Tinggi.” (Qs. al-Lail: 19-20).

Kesepuluh, Ketika kalam Allah (al-Qur’an) dan berbicara tentangnya merupakan hal yang paling dicintai oleh hatinya.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud -semoga Allah meridhainya- ia berkata, “Barangsiapa yang ingin mengetahui apakah dirinya mencintai Allah, hendaklah dia menawarkan dirinya pada al-Qur’an, apabila dia mencintai al-Qur’an maka dia mencintai Allah, karena sesungguhnya al-Qur’an adalah kalam Allah.”

Utsman bin Affan -semoga Allah meridhainya- berkata,

لَوْ طَهُرَتْ قُلُوْبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلَامِ رَبِّكُمْ

“Kalau hati kalian bersih, niscaya tidak akan kenyang membaca kalam Rabb kalian.”

Itulah tanda-tanda hati yang sehat, yang juga merupakan tanda-tanda cinta kepada Allah, hati yang sehat akan dipenuhi oleh rasa cinta kepada Allah yang Maha Mengetaui yang ghaib dan Maha Pengampun atas dosa-dosa. Tidak ada kebaikan bagi hati tanpa tanda-tanda tersebut.

Kebahagiaan di dunia dan akhirat tergantung pada sehat dan baiknya hati, serta kesengsaraan di dunia dan akhirat tergantung pula pada sakit dan kerusakan hati.

Kita memohon kepada Allah dengan karunia dan kemurahan-Nya agar memberi rizki kepada kita berupa hati yang sehat dan selamat dan fithrah yang lurus. Sesungguhnya Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Wallahu A’lam.

(Redaksi)

 

Referensi:

  1. Al-Bahr ar-Ra-iq Fii Zuhdi Wa ar-Raqa-iq, Dr. Ahmad Farid.
  2. At-Tafsir al-Muyassar, Kumpulan pakar tafsir di bawah bimbingan Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz Alusy Syaikh.
  3. Ma’alim at-Tanzil, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi.