Sesudah seorang Muslim mendapatkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa ilmu tentang akidah Islam dan berpegang kepadanya, dia wajib mengajak manusia kepadanya dalam rangka mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 

 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256) اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (257) سورة البقرة

 

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan-kegelapan. Mereka adalah penghuni Neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 256-257).

Dakwah kepada akidah Islam merupakan awal dan prioritas dakwah semua rasul, mereka tidak memulai berdakwah kecuali dengannya, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

 

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ (36) سورة النحل

 

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut’.” (An-Nahl: 36).

Setiap rasul berkata kepada kaumnya saat pertama kali menyeru mereka,

 

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ (50) سورة هود

 

“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian tuhan yang berhak disembah kecuali Dia.” (Hud: 50).

Ucapan ini diserukan oleh Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Syu’aib, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad dan seluruh Rasul Allah ‘alaihim shalawatullahi wa salamuhu.

Siapa yang mengetahui akidah ini dan mengamalkannya, wajib tidak membatasinya untuk dirinya, sebaliknya, dia wajib mengajak manusia kepadanya dengan hikmah dan nasihat yang baik, sebagaimana ia merupakan jalan para rasul dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Dakwah kepada akidah tauhid adalah asas dan titik tolak, tidak ada sesuatu sebelumnya yang diserukan, berupa menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan sebelum akidah ini terwujud dan berdiri tegak, karena akidah merupakan pondasi yang menshahihkan segala amal shalih, dan tanpanya, amal shalih tidak diterima dan pelakunya tidak meraih pahala.

Sudah dimaklumi secara aksiomatis bahwa bangunan apa pun tidak akan berdiri kokoh kecuali sesudah memasang pondasinya dengan kuat, karena itu para rasul memperhatikan akidah sebelum lainnya.

Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus para da’i, beliau berwasiat kepada mereka agar memulai dakwah dengan meluruskan akidah.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke Yaman, beliau bersabda kepadanya,

إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ؛ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -وَفِيْ رِوَايَةٍ‏:‏ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ‏-؛ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ؛ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ؛ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ؛ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Sesungguhnya engkau akan datang kepada suatu kaum dari ahli kitab, maka hendaknya perkara pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah syahadat lailaha illallah” -dalam sebuah riwayat, ‘hingga mereka mentauhidkan Allah-, bila mereka menaatimu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam; bila mereka mematuhimu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat yang dipungut dari orang-orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka; bila mereka mematuhimu, maka berhati-hatilah terhadap harta-harta terbaik mereka dan takutlah kepada doa orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara dia dengan Allah.”         

Dari hadits yang mulia di atas, dan dengan mengkaji dakwah para rasul di dalam al-Qur’an dan juga dari sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dapat diambil manhaj dakwah kepada Allah, bahwa perkara pertama yang diserukan kepada manusia adalah akidah dalam bentuk beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu bagiNya dan meninggalkan beribadah kepada selainNya, sebagaimana terkandung dalam makna lailaha illallah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di Makkah selama 13 tahun sesudah beliau diutus sebagai rasul, di mana beliau mengajak manusia kepada akidah yang shahih, menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala, sebelum beliau memerintahkan shalat, zakat, puasa, haji dan jihad; dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, seperti zina, judi dan khamar.

Ini membuktikan secara jelas kesalahan sebagian jamaah di zaman ini yang bekerja di lahan dakwah, tetapi tidak memperhatikan akidah, sebaliknya mereka hanya fokus pada sisi-sisi akhlak dan perilaku, padahal mereka menyaksikan masyarakat dalam jumlah yang banyak mempraktikkan syirik besar di sekitar bangunan-bangunan yang didirikan di atas kuburan di sebagian negeri Islam, tetapi jamaah-jamaah tersebut tidak mengingkarinya, dan tidak mencegahnya; tidak melalui ucapan langsung atau melalui khutbah dan ceramah; dan tidak juga melalui tulisan dalam buku, kecuali hanya sedikit.

Bahkan tidak tertutup kemungkinan di antara mereka yang terlibat di dalam jamaah-jamaah tersebut, ikut berpartisipasi mempraktikkan syirik dan tasawuf yang menyimpang, mereka sama sekali tidak memperingatkan dan tidak melarang, padahal mendakwahi mereka dengan memperbaiki akidah mereka adalah lebih patut daripada mendakwahi orang-orang atheis kafir yang mengumumkan kekafiran mereka, karena orang-orang atheis lagi kafir itu mengakui kekafiran mereka, menyadari bahwa apa yang mereka pegang bertentangan dengan apa yang dibawa oleh para rasul. Adapun orang-orang yang menyembah kubur, orang-orang sufi yang menyimpang, mereka mengira diri mereka adalah orang-orang Islam, dan bahwa apa yang mereka lakukan adalah ajaran Islam, padahal bukan, mereka tertipu dan menipu orang lain.

Allah c memerintahkan kita agar memulai berdakwah dan berjihad terhadap orang-orang kafir yang dekat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (214) سورة الشعراء

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (wahai Muhammad) yang terdekat.” (Asy-Syu’ara`: 214).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (123) سورة التوبة

“Wahai orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian, dan hendaklah mereka merasakan sikap keras dari kalian, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 123).

Bila barisan kaum Muslimin tidak disterilkan dari penyakit-penyakit tersebut, maka mereka tidak akan sanggup berdiri kokoh di hadapan serangan musuh mereka.

Dikisahkan bahwa seorang laki-laki penyembah kubur melihat seorang laki-laki menyembah berhala di depannya, lalu laki-laki penyembah kubur melarangnya, maka penyembah berhala menjawab, “Kamu menyembah sesuatu yang tidak hadir di depanmu, sementara aku menyembah sesuatu yang ada di depanku. Mana yang lebih aneh?” Maka laki-laki penyembah kubur itu diam.

Memang, keduanya sama-sama musyrik sesat, keduanya menyembah sesuatu yang tidak memiliki manfaat atau mudarat, tetapi penyembah kubur lebih jauh sesatnya dan apa yang dicarinya lebih mustahil.

Karena itu, wajib atas para da’i kepada Allah untuk memfokuskan diri mereka dalam masalah akidah dengan porsi lebih besar, mempelajarinya, mengkajinya dan memahaminya, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, menyeru kepada akidah tersebut orang-orang yang menyimpang darinya dan menyia-nyiakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada NabiNya,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (108) سورة يوسف

 

“Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah berdasarkan hujjah yang nyata (bashirah), Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.’.” (Yusuf: 108).

Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Allah berfirman kepada NabiNya, “Katakanlah” wahai Muhammad, dakwah yang aku serukan “inilah“, jalan yang aku tempuh, yaitu, jalan dakwah kepada mentauhidkan Allah, mengikhlaskan ibadah hanya kepadaNya semata dengan meninggalkan sesembahan-sesembahan dan tuhan-tuhan lainnya, mematuhi perintah dan menjauhi laranganNya, “jalanku” yakni, jalan dakwahku, “aku mengajak kepada Allah” semata, tidak ada sekutu bagiNya, “di atas ilmu yang yakin (bashirah)” dalam hal itu, keyakinan dan ilmu dariku tentangnya, “aku dan orang-orang yang mengikutiku” yaitu, orang-orang yang membenarkanku dan beriman kepadaku, serta mengajak kepadanya. “Mahasuci Allah“, yakni, Allah berfirman kepada NabiNya, Katakanlah dengan menyucikan Allah dan mengagungkanNya dari sekutu dalam kerajaanNya atau sesembahan dalam kekuasaanNya, “dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik” yakni, hendaklah beliau berkata, “Aku anti dari orang yang menyekutukanNya, aku bukan golongan mereka dan mereka bukan golonganku.”

Ayat di atas menunjukkan pentingnya mengetahui akidah Islam dan berdakwah kepadanya, dan bahwa para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang meneladani beliau dalam perkara ini, memiliki dua sifat, yaitu mengetahui akidah Islam dan mengajak (berdakwah) kepadanya. Dan bahwa siapa yang tidak belajar akidah, tidak memperhatikannya, dan tidak berdakwah kepadanya, maka dia bukan termasuk pengikut yang pengikut sejati para rasul, sekalipun tetap mungkin dianggap sebagai pengikut dari sisi penisbatan dan pengakuan belaka.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang makna Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (125) سورة النحل

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantalah mereka dengan cara yang paling baik.” (An-Nahl: 125),

“(Dalam ayat ini) Allah menyebutkan fase-fase dakwah, dan Dia menjadikannya tiga bentuk, sesuai dengan keadaan obyek dakwah, di mana obyek dakwah mungkin orang yang mencari kebenaran, mendahulukan kebenaran di atas selainnya, bila dia mengetahuinya, maka orang ini didakwahi dengan hikmah, tidak membutuhkan nasihat dan perdebatan. Mungkin pula dia adalah orang yang terjebak ke dalam kebatilan, tetapi seandainya dia mengetahui kebenaran, niscaya dia akan mengikutinya dan mendahuluinya, maka orang ini membutuhkan nasihat melalui dorongan dan ancaman. Dan mungkin pula dia adalah orang yang menentang dan menolak, maka dia diajak dialog dengan cara yang paling baik, bila dia kembali, (maka alhamdulillah), dan bila tidak maka diambil langkah yang semestinya…”

Dengan ini jelaslah bagi kita manhaj dakwah dan apa yang patut padanya, dan jelas pula kekeliruan cara yang digunakan oleh sebagian jamaah yang bekerja di lahan dakwah, tetapi menggunakan cara yang menyelisihi cara yang lurus yang Allah dan RasulNya jelaskan.

 

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.