Sesungguhnya agama Islam  merupakan agama rahmat (kasih sayang) yang tercermin pada maksud dan tujuannya, amal-amal dan muamalatnya. Nabi Islam -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- adalah Nabi kasih sayang. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (al-Anbiya: 107)

Dan ummat islam adalah ummat yang saling berpesan untuk berkasih sayang. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ

“Dan (mereka) saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” (al-Balad : 17)

Wahai hamba-hamba Allah! Sesungguhnya rahmat agama Islam merupakan tanda yang terang benderang bagi penganutnya dan merupakan identitas yang sangat menonjol. Maka, barang siapa (di antara kaum Muslimin) yang keluar dari daerah rahmat ini, sesungguhnya ia hanyalah mencerminkan dirinya sendiri, tidak merepresentasikan Islam.

Karena, Nabi umat Islam merupakan Nabiyu rahmah, dia diutus dengan membawa ajaran yang penuh dengan kasih sayang. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan tentang dirinya,

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesungguhnya aku tidaklah diutus sebagai orang yang senang melaknat. Aku diutus hanyalah sebagai rahmat.” (HR. Muslim, no. 2599)

Wahai hamba-hamba Allah!  اللَّعَّانُ (Orang yang suka melaknat) dia adalah orang yang sibuk dengan tindakan melaknat, di mana lisannya di setiap waktu dan momentum tidak jemu-jemunya untuk melontarkan kata-kata ini. Hal ini, sungguh, sama sekali bukanlah kebiasaan pemeluk Islam sejati, dan bukan pula ajaran yang diserukan oleh rahmat Islam. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda tentang para shiddiqin, di mana mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkatan derajat tertinggi,

لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيْقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا

“Tidak selayaknya bagi Shiddiqin untuk menjadi seorang yang gemar melaknat.” (HR. Muslim, no. 2597)

Dan, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga bersabda tentang keumuman orang-orang yang beriman, yang merupakan orang-orang yang memiliki keutamaan dan kesempurnaan,

 لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Seorang yang beriman itu bukanlah orang yang suka mencerca, bukan pula orang yang suka dan banyak melaknat, bukan pula orang yang suka melakukan perbuatan keji, dan bukan pula orang yang keji ucapannya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 1977)

Dan, ketika seorang insan memiliki sifat ini, suka melaknat, suka mencerca dan gemar melaknat, niscaya ia tidak layak untuk menjadi saksi bagi orang-orang yang beriman dan tidak layak pula menjadi pemberi syafa’at bagi mereka (orang-orang yang beriman) di sisi Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Karena, syahadah (persaksian) pondasinya adalah penyebutan orang-orang yang beriman dengan kebaikan dan kebagusan. Sementara syafa’at itu pondasinya di atas doa bagi mereka berupa kebaikan dan kesudahan yang baik. Oleh karena itu, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

لَا يَكُونُ اللَّعَّانُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Orang-orang yang suka dan gemar melaknat itu tidak akan menjadi para pemberi syafa’at dan tidak pula akan menjadi para saksi pada hari Kiamat.” (HR. Muslim, no. 2598)

Wahai hamba-hamba Allah! Melaknat merupakan doa supaya dijauhkan dari rahmat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, sementara Islam menyeru kepada saling berkasih sayang, saling menyambung hubungan baik, saling mendoakan agar mendapat keselamatan, rahmat dan keberkahan. Dan syiar kaum muslimin kala mereka berjumpa dengan saudara mereka adalah ucapan, “اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ” (Semoga keselamatan, rahmat Allah dan keberkahan-Nya dicurahkan kepadamu)

Sementara manusia-kita berlindung kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-ada banyak orang di antara mereka yang lisannya melontarkan laknat jauh lebih banyak ketimbang mengucapkan ” اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ”

Wahai hamba-hamba Allah! Melaknat urusannya serius, bahayanya sangat besar, dampak dan akibatnya sangat jelek atas pelakunya di dunia dan di akhirat. Dan, tindakan melaknat yang paling berat, paling jelek, paling buruk, dan paling berat nilai kejahatannya adalah melaknat Rabb semesta alam (Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-), atau melaknat agama Islam, atau melaknat Nabi yang mulia -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Dan, laknat seperti ini jika muncul dari seorang muslim niscaya ia telah menjadi murtad dari Islam karenanya. Ia telah keluar dari lingkarannya, tidak lagi termasuk bagian dari pemeluknya. Ia telah menjadi orang kafir, murtad, penentang dan seorang zindiq.  Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak akan menerima amalan fardu dan tidak pula amalan sunahnya. Dan adakah perkara haram yang lebih buruk dan lebih keji dari hal ini?!

Kemudian setelah itu-wahai hamba-hamba Allah-adalah melaknat orang-orang yang beriman, terlebih orang-orang yang terbaik di kalangan mereka, semisal orang-orang yang beriman dari kalangan para sahabat Nabi yang mulia -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengistimewakan mereka (para sahabatnya) dalam hal ini seraya bersabda,

 لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Janganlah kalian mencela para sahabatku. Karena, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata salah seorang di antara kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu (pahalanya) tidak akan mencapai satu mud pun dari infak yang dikeluarkan oleh mereka, tidak pula setengahnya.(HR. al-Bukhori, no. 3673)

Dan perkaranya akan semakin bertambah parah dan besar ketika laknat itu ditujukan kepada para penghulu para sahabat dan orang-orang terbaik di antara mereka, seperti orang yang paling membenarkan (terhadap Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-) dari kalangan Umat ini (yaitu, Abu Bakar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-) dan penggantinya (yang meneruskan estafet kepemimpinan umat ini), yaitu, Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ– dan dua orang khalifah berikutnya (yaitu, Utsman -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ– dan Ali -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-), kemudian sepuluh orang sahabat yang dipersaksikan bakal masuk Surga, dan para istri Nabi yang mulia -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Dan, tidak hanya seorang ulama mengategorikan hal tersebut (yakni, cercaan dan laknat yang ditujukan kepada mereka) merupakan sebuah kekufuran yang memindahkan pelakunya dari agama Islam. Mereka berdalil dengan al-Qur’an, yaitu dengan firman Allh -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

“Karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir.” (al-Fath: 29)

Kemudian-wahai hamba-hamba Allah-sesungguhnya laknat seorang muslim terhadap saudaranya merupakan perkara yang sangat berbahaya. Bahkan, telah shahih dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bahwa beliau bersabda,

 لَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ

“Melaknat orang yang beriman seperti membunuhnya.” (HR. al-Bukhari, no. 6105 dan Muslim, no. 110)

Dalam hadis yang lain, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

 سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Cercaan terhadap seorang muslim merupakan kefasikan dan membunuhnya (tanpa hak yang benar) merupakan kekufuran.” (HR. al-Bukhari, no. 48 dan Muslim, no. 64)

Dan, ketika laknat itu terlontar dari seorang insan terhadap sesuatu yang tidak berhak berupa benda-benda mati, atau binatang, atau manusia, niscaya laknat itu bakal kembali ke pelakunya (pengucapnya).

Abu Dawud di dalam sunannya meriwayatkan dengan sanad yang valid dari Abu Darda -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتْ اللَّعْنَةُ إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ فَإِنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا

Sesungguhnya seorang hamba itu apabila ia melaknat sesuatu niscaya laknat itu akan naik ke langit. Namun, pintu-pintu langit akan ditutup. Kemudian laknat akan turun ke bumi. Namun, pintu-pintu bumi pun bakal ditutup. Kemudian, laknat itu akan bergerak ke kanan dan ke kiri (tak tahu arah kemana akan pergi), lalu apabila laknat itu tidak mendapatkan jalan (yang akan dilaluinya untuk menetap di sebuah tempat) niscaya ia akan kembali kepada yang dilaknat. Jika hal itu (yakni, yang dilaknat) layak mendapatkannya (niscaya laknat itu akan mengenainya). Jika ternyata (yang dilaknat itu) tidak (layak mendapatkannya), niscaya laknat tersebut akan kembali kepada pengucapnya. (HR. Abu Dawud, no. 4907)

Bayangkanlah-wahai hamba-hamba Allah!-berapa banyaknya laknat-laknat itu akan berbalik mengenai seseorang (pengucapnya) ketika lisannya banyak melaknat, selalu saja ia melakukannya!! niscaya laknat-laknat itu akan terus saja datang bertubi-tubi mengenai dirinya, sehingga dirinyalah yang menyebabkan dirinya sendiri terkena laknat.

Wahai hamba-hamba Allah! Dan sesuatu yang terberat dalam hal melaknat terkait dengan manusia adalah laknat seseorang terhadap kedua orang tuanya-kita berlindung kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dari hal tersebut-, baik karena suatu hubungan sebab akibat (semisal, seseorang mencerca ayah orang lain, maka orang yang dicerca itu berbalik mencerca ayah dan ibu orang yang mencerca ayahnya) atau pun sedari awal secara langsung ia melakukan cercaan dan laknat tersebut.

Telah shahih dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bahwa beliau bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ

Allah akan melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya sendiri. (HR. Muslim, no. 1978)

Wahai hamba-hamba Allah! Adapun yang datang di dalam sunah yang shahih dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– berupa laknat dengan sifat-sifat, maka yang wajib adalah berpegang teguh pada sunah terkait hal tersebut sebagaimana adanya, seperti laknat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– terhadap pemakan riba, orang yang memberikan makan riba, pencatatnya, dan dua orang saksinya.

Seperti juga laknat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– terkait dengan khamer, di mana ada sepuluh hal yang dilaknat beliau terkait hal tersebut.

Seperti juga laknat beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– terhadap wanita yang menyambung rambutnya, wanita yang minta disambungkan rambutnya, wanita yang mentato (tubuhnya) dan wanita yang minta ditatokan (tubuhnya), dan para wanita yang merenggangkan gigi-giginya untuk mempercantik diri.

Seperti juga laknat beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – terhadap wanita yang meniru-niru lelaki dan lelaki yang meniru-niru wanita. Dan lain sebagainya berupa laknat dengan menggunakan sifat-sifat, tidak secara tunjuk hidung kepada orangnya.

Dalam kasus-kasus seperti ini-wahai hamba-hamba Allah-seseorang hendaknya mengemukakan masalah ini sebagaimana datang di dalam Sunah Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–. Karena telah datang keterangan dari sunah Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– laknat dengan menggunakan sifat, tidak tunjuk hidung secara langsung kepada orangnya. Oleh karena itu, barang siapa melihat seseorang melakukan sesuatu dari tindakan-tindakan (yang terlaknat) ini, tidak halal baginya untuk melaknat pelakunya dengan tunjuk hidung secara langsung. Karena, boleh jadi orang yang melakukan perbutaan terlaknat tersebut kemudian bertaubat. Atau, boleh jadi ada hal-hal yang menghalangi dirinya berhak dilaknat. Sehingga, boleh jadi laknat itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Dan, para ulama telah membedakan antara laknat yang disampaikan secara umum dengan laknat yang disampaikan secara tunjuk hidung langsung tertuju kepada pelaku perbuatan yang terlaknat, sebagaimana yang ditetapkan di dalam Sunah Nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Karena Nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melaknat 10 orang terkait dengan khamer. Dan, ketika didatangkan seorang lelaki yang berulang kali meminum khamer, lalu salah seorang sahabat mengatakan, “Semoga Allah melaknatnya, alangkah seringnya ia didatangkan kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.” Nabi pun mengatakan,

لَا تَلْعَنُوهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ

“Janganlah kalian melaknatnya demi Allah karena sesungguhnya ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari, no. 6780)

Karenanya, hendaklah kita bertakwa kepada Allah-wahai hamba-hamba Allah-. Dan, hendaknya pula kita waspada dari kemurkaan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan hal-hal yang mewajibkan kita mendapatkan siksaan-Nya.

Ya Allah! Tunjukkanlah kami jalan yang lurus menuju kepada-Mu. Jadikanlah kami sebagai orang-orang yang saling berkasih sayang dengan rahmat Islam. Orang yang mengikuti petunjuk Nabi yang mulia-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Lidungilah kami-Ya Allah!-dari setan yang terkutuk, dan dari keburukan jiwa-jiwa kami dan kejelekan-kejelekan amal-amal kami.

Sesungguhnya ummat Islam, para pemeluk agama yang lurus lagi diberkahi ini, keadaannya tidaklah sama seperti keadaan mereka orang-orang kafir para penghuni Neraka, orang-orang yang keadaannya sebagaimana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- sifati (dalam firman-Nya)

كُلَّمَا دَخَلَتْ أُمَّةٌ لَعَنَتْ أُخْتَهَا

Setiap kali suatu umat masuk, dia melaknat saudaranya.” (al-A’raf: 38)

Maka, bukanlah ini keadaan orang-orang yang beriman. Bahkan, keadaan mereka (orang-orang yang beriman itu) saling berkasih sayang, saling menjalin hubungan (baik) dan saling tolong-menolong dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, sebagaimana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ

“Dan saling berpesan untuk bersabar serta saling berpesan untuk berkasih sayang. (al-Balad: 17)

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Perumpamaan orang-orang yang beriman itu dalam saling cinta kasih mereka, kasih sayang mereka dan simpati mereka seperti satu tubuh; apabila satu anggota tubuh mengadukan rasa sakit niscaya seluruh tubuhnya akan ikut serta merasakannya dengan bergadang (tidak bisa tidur) dan demam. (HR. Muslim, no. 2586)

Sesungguhnya keadaan seorang muslim-wahai hamba-hamba Allah-terhadap saudara-saudaranya adalah menyayangi, berlaku baik dan mendoakan dengan kebaikan dan memintakan ampunan untuk mereka. Tidak melaknat, mencerca dan menghina mereka. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman kepada Nabi-Nya yang mulia-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Dan mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. (Muhammad: 19)

Dan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman tentang keadaan orang-orang yang beriman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا

“Orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) berdoa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami serta saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman.’” (al-Hasyr: 10)

Sungguh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- bakal memberikan pahala yang agung dan keutamaan serta kebaikan yang besar terhadap orang yang mempersembahkan doa dan memohonkan ampunan kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- untuk saudara-saudaranya orang-orang yang beriman.

Renungkanlah satu hadis dari Nabi kalian Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam masalah ini, yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam Musnad asy-Syamiyin dengan sanad hasan, dari hadis Ubadah bin Shamit -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنِ اسْتَغْفَرَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ حَسَنَةً

“Barang siapa memintakan ampunan (kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) untuk orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, niscaya Allah tuliskan untuknya satu kebaikan (pahala) dengan setiap orang yang beriman laki-laki dan perempuan.”

Betapa banyaknya pahala yang bakal Anda raup, wahai saudaraku! Ketika Anda mengatakan dalam doa yang Anda panjatkan,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ

“Ya Allah!, Berilah ampunan untuk kaum muslimin dan muslimat, yang masih hidup dan yang telah mati di antara mereka.”

Dengan ungkapan kata ini, niscaya Anda memperoleh kebaikan (pahala) sejumlah orang-orang yang beriman semenjak zaman Nabi Adam -عَلَيْهِ السَّلَامُ- sampai Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mewarisi bumi beserta semua yang ada di atasnya. Maka, pahala dan kebaikan-kebaikan yang akan diraup itu bukan ribuan, tetapi miliaran, bahkan trilyunan, bahkan bisa jadi lebih dari itu.

Karena itu-wahai hamba-hamba Allah-bertakwalah kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Nasihatilah diri kita dan saudara-saudara kita kaum Muslimin.

Jauhkanlah kedengkian dan kebencian dari hati-hati kita.

Dan sibukanlah lisan kita dengan kata-kata yang baik dan doa-doa nan indah (untuk saudara kita seiman).

Ya Allah! Berikanlah taufik kepada kami untuk dapat melakukan apa-apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai.

Bantulah kami agar dapat melakukan kebaikan dan ketakwaan, wahai Dzat yang Maha Agung lagi Maha Mulia.

Ya Allah! Kabulkanlah permohonan kami.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

 

Sumber:

At-Tahdzir Min al-La’ni Wa as-Sabbi, Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr -حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى-