Pertanyaan:

Apakah hukum bertawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?

Jawaban:

Bertawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada beberapa macam:

Pertama, Bertawassul dengan cara beriman kepadanya; maka ini adalah tawassul yang benar, seperti ucapan seseorang:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ آمَنْتُ بِكَ وَبِرَسُوْلِكَ فَاغْفِرْ لِيْ.

Ya Allah, sesungguhnya aku telah beriman kepada Engkau dan kepada NabiMu, maka ampunilah aku.

Ucapan seperti ini tidak apa-apa hukumnya sebab hal ini sudah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam al-Qur`an, FirmanNya,

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا ۚ رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ

Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang me-nyeru kepada iman, (yaitu), ‘Berimanlah kamu kepada Rabbmu; maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Ali Imran: 193).

Juga karena alasan bahwa beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan wasilah (sarana) yang disyariatkan di dalam meminta ampunan dari segala dosa dan menebus semua kejahatan. Jadi, ini adalah tawassul dengan wasilah yang sudah pasti secara syariat.

Kedua, bertawassul melalui doa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni beliau berdoa untuk orang yang minta didoakan; ini hukumnya boleh dan juga sah secara syar’i akan tetapi tidak mungkin dilakukan kecuali semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini, terdapat hadits dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa dia pernah mengatakan,

اَللّٰهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا.

Ya Allah, sesungguhnya kami dulu pernah bertawassul kepadaMu melalui Nabi kami, lantas Engkau berikan kami hujan, dan kami (sekarang) bertawassul kepadaMu melalui paman Nabi kami, maka berikanlah kami curah hujan.[1]

Beliau menyuruh al-Abbas berdiri lalu dia berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberikan curahan hujan. Jadi, bertawassul di masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui doa beliau adalah boleh dan tidak apa-apa.

Ketiga, Bertawassul melalui jah (kehormatan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik semasa hidup beliau ataupun setelah wafatnya; ini semua adalah tawassul bid’ah yang tidak boleh hukumnya sebab jah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya bermanfaat bagi diri beliau sendiri. Berdasarkan hal ini, maka tidak boleh seseorang mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu melalui jah NabiMu agar mengampuniku” atau “menganugerahkan anu kepadaku”, karena wasilah haruslah efektif sebagai wasilah, dan kata وَسِيْلَةٌ berasal dari kata اَلْوَسْلُ yang maknanya adalah sampai kepada sesuatu. Jadi, wasilah ini haruslah menyampaikan kepada sesuatu dan bila tidak demikian, maka bertawassul dengannya tidak ada guna dan manfaatnya.

Berpijak pada hal ini, maka kami tegaskan bahwa bertawassul dengan Rasulullah terbagi lagi menjadi beberapa macam:

Pertama, Bertawassul dengan cara beriman kepada beliau dan mengikutinya; ini hukumnya boleh baik semasa hidup beliau ataupun sesudah wafat.

Kedua, Bertawassul melalui doa beliau, yakni seseorang meminta beliau berdoa untuknya; ini juga boleh tetapi semasa hidup beliau saja, tidak setelah beliau wafat karena setelah wafat beliau hal itu tidak dapat dilakukan.

Ketiga, Bertawassul melalui jah (kehormatan) dan kedudukan beliau di sisi Allah; ini tidak boleh hukumnya, baik semasa hidup beliau ataupun setelah wafat karena ia bukanlah jenis wasilah di mana ia tidak dapat menyampaikan seseorang kepada tujuannya sebab bukan bagian dari amalnya.

Bila ada yang berkata, “Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sisi kuburnya dan aku telah memintanya agar memintakan ampun untukku atau memintakan syafaat bagiku di sisi Allah, apakah hal ini dibolehkan atau tidak?

Kami katakan, “Tidak boleh. Bila dia mengatakan, ‘Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

Sesungguhnya jikalau mereka -ketika menganiaya dirinya- datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 64).

Kami katakan pula, “Benar, Allah telah berfirman demikian akan tetapi di situ Dia berfirman dengan lafazh إِذْ ظَلَمُوْا (ketika menganiaya dirinya). Secara bahasa, status huruf إِذْ (Idz) adalah sebagai ظَرْفٌ (zharf) yang fungsinya untuk menjelaskan hal-hal yang telah lalu bukan untuk hal-hal yang akan datang. Allah tidak berfirman, وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذَا ظَلَمُوْا (dengan menggunakan huruf إذا [idza], pent.) akan tetapi berfirman, إِذْ ظَلَمُوْا.

Jadi, ayat ini berbicara tentang sesuatu yang telah terjadi semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sementara bagaimana Rasulullah memohonkan ampunan setelah wafatnya adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan lagi karena seorang hamba yang sudah meninggal dunia, amalnya akan terputus kecuali dari tiga hal sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya (orang tuanya).[2]

Maka, tidak mungkin bagi seseorang untuk memintakan ampunan bagi siapa pun setelah dia meninggal dunia bahkan untuk dirinya sendiri pun tidak bisa sebab amalannya telah terputus.

Kumpulan Fatwa Tentang Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 277-279.

[1]     Shahih al-Bukhari, Kitab al-Istisqa’, no. 1010.

[2]     Shahih Muslim, Kitab al-Washiyyah, no. 1631.